Keesokan harinya, setelah malam kelam itu, aku Kembali bersekolah seperti biasa. Hari ini, Mas Yanto pulang ke kampung halamannya di Tawangmangu untuk membantu acara hajatan saudaranya. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk berangkat bersama Husna dalam satu mobil karena Husna dan aku tinggal dalam satu kompleks yang sama.
Klakson mobil terdengar keras dari depan rumahku. Aku penasaran dan kulihat dari jendela kamarku. Ternyata di depan rumah, ada Husna yang turun dari mobil itu. Aku segera turun ke bawah, bersalaman dengan Bunda, dan membuka pintu untuk berangkat sekolah.
"Bunda, Nayla berangkat dulu, ya," ucapku dengan senyuman. Bunda melambaikan tangannya dan aku masuk ke mobil Husna. Ternyata Husna tidak memiliki sopir pribadi, tetapi Husna memiliki ayah dan ibu yang sangat harmonis. Mereka berdua mengantar Husna setiap hari. Indahnya... Ah, kapan keluargaku bisa seperti ini?
Aku melihat tidak ada jarak di antara ayah, ibu, dan Husna. Mereka tampak bercanda riang di dalam mobil. Tiba-tiba, ayah Husna nyeletuk, "Eh, kamu Dek Nayla, ya?" Aku menjawab, "Iya." Ayah Husna ternyata bertanya apakah Husna sudah memiliki pacar di sekolah. "Husna belum punya pacar, Om. Mau fokus sekolah katanya," kataku. Ayah dan ibu Husna tertawa terbahak-bahak. Husna menyanggahnya dengan malu, "Ih, Ayah gituan banget! Aku pengen fokus belajar, Ayah!"
Aku yang penasaran kemudian bertanya pada Husna mengapa ia tidak berpacaran. Jawabannya sungguh simple, tetapi menyentuh, "Karena aku masih punya Ayah dan Ibu yang masih sangat menyayangiku. Setiap hari aku diantar sekolah bersama, menikmati waktu bersama, tidak memiliki jarak, bahkan setiap curhat orang tuaku selalu mendengarkan dengan baik. Tidak jarang, Ayah dan Ibu juga ngasih solusi buat setiap masalahku, Nay." Aku terdiam. Kualihkan pandanganku ke KRL Solo-Jogja yang melintas di PJL Pasar Nongko.
Aku merenungi nasibku sekarang yang miris. Mengapa ayah dan ibuku sendiri tidak seperti ayah dan ibu Husna? Saking sayangnya mereka kepada Husna sampai membuat Husna tidak mau memiliki pacar. Di dalam mobil itu, perlahan air mataku menetes. Husna bertanya, "Kamu kenapa, Nay?" Lalu kujawab, "Eh, gak apa-apa kok. Nanti aja di sekolah kuceritain."
***
Sesampainya di sekolah, aku mengajak Husna ke kamar mandi. "Hus, ke toilet yuk!" kataku. Husna mengangguk. Di kamar mandi itu, aku bercermin dan bercerita pada Husna. Aku bercerita, "Husna, kamu tau nggak? Aku iri banget sama kamu." Husna keheranan, "Lho, emang kenapa?" Lalu kujelaskan, "Orang tuamu bener-bener take care banget sama kamu. Mereka sayangg banget sama kamu. Tiap hari bareng, curhat bareng, dikasih solusi kalau ada masalah. Aku gak bisa gitu, Hus. Aku anak broken home." Aku Kembali menangis. Entah mengapa hatiku ini sangat rapuh dan mustahil untuk diperbaiki kembali. "Husna, kalau caranya gini..." aku melanjutkan, "aku lebih baik mati aja. Toh, buat apa aku hidup hanya untuk ayah yang jahat kepadaku. Percuma prestasiku banyak, tapi punya bapak yang gak ada akhlak."
Husna sepertinya merasa bersalah dengan apa yang diceritakan tadi. "Eh, aku maaf, Nay. Aku gak nyangka perkataanku bisa bikin kamu sakit hati," kata Husna. "It's okay, Hus. Perkataanmu emang bener. Mungkin ayahku aja yang belum sadar. Dah lah, kek nya gua gantung diri aja atau minum racun sepertinya lebih baik," balasku. "Kamu yakin mau bunuh diri? Kamu yakin sama amal kamu selama ini? Kamu gak kasihan kah sama orang-orang yang rela bertahan demi kamu. Evan contohnya. Aku tahu betul dia gak kuat karena sering dibanding-bandingin sama kakaknya. Dia rela bertahan demi orang yang dia sayangi, lho, Nay. Dan orang itu kamu. Terus prestasi yang udah kamu raih selama ini gimana? Sia-sia perjuangan kamu kalau kamu mati dengan cara bunuh diri. Bukannya dipuji, malah kamu semakin dicaci," Husna kemudian menelan ludahnya dan melanjutkan pembicaraannya, "Kamu malah dibully kalau kamu bundir, Nay. Mental kamu harus bener-bener dikuatin. Ayo, Nay! I'm sure you can stay with this condition. You're strong!"
"Yaudah, sekarang naik ke atas, yuk!" kataku. Husna mengangguk. Ah, untung perasaanku udah stabil sekarang.
***
"Anak-anak, hari ini kita akan mencoba review materi untuk PAS Semester 1 di kelas 11. Akan saya kasih Batasan materi, tetapi ada syaratnya. Batasan materi akan saya beri jika ada siswa yang bisa menjawab dengan tepat dan cepat dari pertanyaan yang saya berikan," kata Bu Yuli. "Pertanyaan pertama, menurut kalian, kan di Indonesia ini memiliki sebuah konstitusi yang bernama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD ini punya pasal yang bisa diubah-ubah sesuai tuntutan zaman. Lalu, mengapa Pembukaan UUD tidak boleh diubah? Silakan ada yang bisa menjawab?" Lalu tidak lama, Farida mengacungkan jarinya sambil berkata, "Saya, Bu! Farida Alfitri Kusumaputri nomor absen 17. Pembukaan UUD tidak boleh diubah karena di dalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Itu artinya, jika kita mengubah Pembukaan UUD sama seperti mengubah pandangan hidup bangsa kita." Bu Yuli sepertinya tidak yakin dan melempar pertanyaan ini kembali dan mengatakan kalau jawaban Farida kurang tepat. Aku tahu jawabannya, "Saya, Bu! Nayla Almeera Nur Budiyanto nomor absen 26. Selain karena di dalamnya terkandung nilai-nilai Pancasila, Pembukaan UUD juga mengandung cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia sehingga jika kita mengubah Pembukaan sama seperti mengubah cita-cita bangsa. Seperti itu, Bu." Tepuk tangan meriah bergemuruh untukku dan Farida. Otomatis, aku dan Farida mendapatkan nilai plus dari Bu Yuli.
Kemudian, Bu Yuli melanjutkan pertanyaannya, "Nah, pertanyaan selanjutnya adalah sebutkan jenis-jenis konstitusi yang ada di Indonesia beserta contohnya!" Tidak terduga, pertanyaan ini akan dijawab oleh Dea, salah satu pesaingku juga. Ia menjawab, "Saya, Bu! Marissa Dealova Felicia Putri nomor absen 25. Konstitusi sendiri memiliki dua jenis, yaitu konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Konstitusi tertulis contohnya seperti UUD 1945, lalu konstitusi tidak tertulis contohnya adalah konvensi. Mungkin itu saja, Bu." Bu Yuli kembali melempar pertanyaan, "Mmm, sebenarnya sudah betul jawaban Dea. Cuma kurang lengkap di bagian konvensi. Kalau contoh konvensi seperti apa, anak-anak? Bisa berikan contoh lain.". Kali ini dijawab oleh Husna. "Saya, Bu. Husna Fatimah Setiawan Putri nomor absen 15. Contoh konvensi itu seperti adat istiadat dan norma hukum, lalu..." tidak lama hal itu disanggah oleh Haris, "Izin interupsi, Bu. Jawaban Husna masih kurang tepat. Seharusnya konvensi itu contohnya seperti kebiasaan kenegaraan yang dilakukan oleh pemerintah secara terstruktur, tetapi tidak tertulis. Contohnya yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus pada saat Rapat Paripurna DPR."
"Wih, semuanya keren. Apalagi empat serangkai di depan ini. Mmmm, saya harapkan kalian terus bersama sebagai sahabat yang memiliki intelektualitas dan karakter yang baik, ya. Anak-anak, saya harapkan ada empat serangkai lain, seperti Farida, Husna, Haris, dan Nayla. Mungkin untuk sebagian batasan materi yang lain saya kasih mala mini di grup, nggih," puji Bu Yuli pada kami. Entah kebetulan atau bagaimana aku bisa menemukan circle pertemanan seperti ini.
***
Waktu istirahat telah tiba. Biasanya, aku, Husna, dan Farida berkumpul di kelas untuk membahas sesuatu yang random. Haris biasanya memilih keluar ke kantin untuk makan bersama teman-temannya. Hari itu, kami membahas kenangan sewaktu SMP. "Eh, gais. Masa SMP kalian gimana?" kata Farida memulai. "Mmmm, aku sih indah-indah aja, ya. Dulu aku biasanya sering colud ke Paddock Banyuanyar hahahaha. Btw, Paddock itu nama tongkrongan, Far. Kamu harusnya lebih tau soalnya kamu juga sering keluar ke barat kan?" Kata Husna. Dulu, Husna satu SMP denganku, juga sebagai teman sebangkuku. Husna ini anaknya selain cerdas, kadang dia suka membolos sekolah. Anehnya, setiap ulangan ia mendapatkan nilai 100.
"Wah, asik, ya. Ah, dulu SMP-ku di Karanganyar Kota sih. Jarang ada tongkrongan. Biasanya kalau gak ke Kemuning, aku ke arah Colomadu, sih," kata Farida. "KAMU YAKIN SENDIRIAN DARI BEJEN KE COLOMADU?!" Aku kaget. Farida mengangguk yakin. "Lha kalau masa SMP kamu gimana, Nay? Apakah juga ada cerita kek?" kata Farida. "Sayangnya enggak," jawabku. "Aku lahir dari orang tua yang yaa kek gitulah. Rusak rumah tangganya. Gak cuma itu, aku juga dikekang sama orang tuaku, bahkan sekedar membolos di kantin sekolah aja gak boleh," kataku. "Lha ayahmu kan gatau. Toh juga gak ada yang ngeh kalo yang colud itu kamu, Nay," kata Husna. "Iya, secara teoritis emang gak tahu. Masalahnya, nih, Ayah punya intel di sekolah. Kamu tau Ghifari gak, Hus? Dia kan anaknya wakil direktur perusahaan ayahku juga. Ayahku bisa tau informasi selama aku di sekolah, yaa dari Ghifari. Mulai dari ranking, nilai, sampai kebiasaan dan private habit-ku di sekolah sampai diusik sama dia. Ah, dasar Ghifari. Jahat banget!" kataku. "Buatku, masa SMP malah masa-masa suram. Entah di rumah, entah di sekolah. Rasanya kaya burung dalam sangkar," ujarku. Yah, begitulah kehidupan keluargaku. Secara teoritis, enak-enak aja. Bisa sekolah di SMP swasta ternama di Solo, apa-apa tercukupi, fasilitas juga mumpuni, tapi di sisi lain aku harus menerima pil pahit kalau Ayah setega itu dengan anaknya. Mati aja dah gw.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAYLA
Cerita PendekKetika seorang anak SMA kelas 11 yang harus hidup di tengah keluarga berantakan, ditinggal ke dunia lain oleh sang pacar, hingga dijebak oleh teman sendiri, membuat Nayla tak patah arang untuk menjalani kewajibannya sebagai pelajar