Menjadi (Tak Sengaja) Curang

1 0 0
                                    

Tiga hari sudah sejak hari ulang tahunku, kini saatnya aku mengukur kemampuanku dalam menerima pembelajaran di sekolah. Yap, pada hari Senin, 20 November 2023 aku harus melaksanakan Penilaian Sumatif Akhir Semester atau PSAS. Beruntung, aku sudah menyiapkan materinya jauh-jauh hari sehingga ketika mendekati PSAS, aku tinggal membaca ulang materinya.

Pagi itu, sekolah masih sepi. Mungkin, murid-murid masih belajar di rumah mereka. Kesempatan ini aku manfaatkan untuk belajar dengan tenang mengingat anak auditori seperti aku harus menjaga kondusivitas belajar. Aku memang tidak bisa belajar di tempat ramai. Selang lima menit, datanglah Husna yang sudah bersiap membawa buku Sejarah dan iPad-nya. "Yang kamu baca di iPad itu, apa, Hus?" tanyaku. "Masih nanya, ya Sejarah lah!" ketusnya. Aku tertawa lalu mengajaknya duduk bersama di pelataran kelas.

Di situlah, kami bermain tebak-tebakan materi Sejarah. "Mmm, aku yang mulai dulu, ya," kata Husna, "sebutkan minimal tiga penyimpangan kebijakan tanam paksa yang diterapkan oleh Van Den Bosch!" Kubalas dengan yakin, "Ah, pokoknya tiga itu, yang pertama, tanah yang menjadi kriteria justru melebihi 1/5 untuk cadangan jika hasil kurang menguntungkan. Kedua, rakyat yang tidak memiliki tanah kan diwajibkan untuk bekerja di perkebunan milik Belanda tuh selama 66 hari. Pada kenyataannya, mereka disuruh bekerja lebih dari 66 hari. Parahnya lagi, kan kalo gagal panen jadi tanggung jawab pemerintah. Eh pada akhirnya, jadi tanggung jawab petani juga. Setauku itu sih." Husna membalas, "Dan berikutnya, kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak tidak dikembalikan dan tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak, padahal harusnya gak boleh."

"Kerja bagus!" balas Farida dari belakang. Ah, bikin kaget aja! Farida memang ahli Sejarah sehingga ia bisa mengerti betul apa yang benar dan apa yang salah dari tebak-tebakan kami. "Wah, kok yo ndelalah men (kok kebetulan aja). Sini ikut tebak-tebakan, Far," ajakku. Farida mengangguk. Sekarang, giliran Farida yang memberikan pertanyaan. Ia bertanya, "Nah, kalo tadi kan materinya tentang tanam paksa. Sekarang aku mau tebakin kamu soal perang perlawanan bangsa Indonesia melawan Hindia Belanda, nih. Aku mau tanya. Mengapa Perang Jawa disebut sebagai perang terbesar dan paling menghabiskan anggaran Hindia Belanda saat itu?" Husna dengan cepat membalas, "Oh, itu karena Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro memakan waktu yang cukup lama, yaitu lima tahun, dari tahun 1825-1830. Yaa, kalo dibandingin Perang Paderi juga sebelas dua belas sih. Cuma yang jadi masalah adalah karena pasukan Diponegoro itu kuat banget, Belanda akhirnya membangun strategi benteng stelsel di wilayah yang berhasil dikuasainya, seperti Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulonprogo, dan Magelang. Nah, sekarang aku mau tanya ke kamu, Nay. Benteng stelsel itu sebenarnya apa, sih?" Lalu kubalas, "Waduh, aku lupa i. Anu keknya, benteng stelsel itu yang supit urang itu bukan?" Farida dengan tegas menyanggah, "Bukan itu, Nay. Itu beda lagi." Husna membalas, "Iya, perasaan bukan itu deh." Aku mencoba mengingat-ingat lagi materinya, "Ah, aku inget. Benteng stelsel itu yang bangun benteng-benteng di wilayah kekuasaan Belanda, terus dihubungin sama jembatan-jembatan bukan?" Farida menjawab, "Nah, ini baru bener!"

Setelah cukup lama, 30 menit kemudian, Haris datang. "Sorry, gais aku telat parah. Tadi jalannya macet banget karena ada kecelakaan!" katanya. Kami mengangguk. "Kamu udah siap belum, Ris?" tanyaku. "Udah, sih. Bismillah bisa jawab soalnya. Aku pergi shalat Dhuha dulu, ya," balas Haris. "Oke! Eh, kita juga shalat Dhuha yuk di atas!" ajak Husna. Kami sepakat dan ikut bersamanya.

***

Akhirnya, ujian yang kutunggu tiba juga. Tepat pukul 07.30, kami sudah memulai tesnya. Soal-soalnya ternyata tak sesulit yang aku kira. Mudah dan masih bisa dimengerti. Hanya saja, soal nomor 26 sedikit janggal dan akhirnya dianulir oleh guru.

Pukul 09.30, kami selesai tes untuk jam pertama. Setelah itu, kami beristirahat sejenak hingga satu jam. Lalu, Dea menghampiriku dan mengatakan, "Eh, Nay, kenapa papan ujianmu gak kamu taruh di kelas aja? Toh, habis ini juga ujian lagi." Dari sini, sebenarnya aku mulai curiga. Tumben nih, Dea begitu perhatian sama aku. "Owh, oke," kataku. Lalu, kutaruh papan itu di meja. Tak berselang lama, temanku bernama Thania yang baru saja keluar mengatakan pada pengawas, "Eh, Bu Dwi, tunggu dulu! Saya mau ambil wadah minum!" Bu Dwi akhirnya menuruti permintaan Thania. Tak berselang lama, Thania keluar dan berterima kasih kepada Bu Dwi.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang