Aku dan Sekolahku

6 0 0
                                    

Meskipun aku hidup di keluarga yang (maaf) kurang harmonis, tetapi setidaknya aku masih bisa bersyukur masih bisa bersekolah di salah satu SMA negeri favorit di Solo. Aku bersekolah di SMA Negeri 1 Surakarta, salah satu sekolah favorit selain SMA 3 dan SMA 4. Dulu, aku mendaftar melalui jalur prestasi dan lolos di peringkat 10 besar.

Sekolahku terletak di Jalan Monginsidi No. 40, Surakarta. Tidak terlalu luas karena terletak di Kecamatan Banjarsari yang sudah penuh oleh rumah. Lapangannya hanya satu di bagian depan (itupun terkadang tidak bisa digunakan karena dipakai sebagai tempat parkir). Kelebihannya, kelas-kelasnya full AC dengan kursi empuk khas kursi hajatan di gedung-gedung mewah. Kursi ini yang tidak ditemui di sekolah-sekolah negeri lain. Selain itu, aulanya juga memiliki AC yang sangat dingin. Makanya terkadang aku bisa tertidur pulas kalau sedang istirahat di Aula. Kantinnya ada tiga, yaitu kantin IPA (kantin Trio), kantin IPS, dan kantin Bandara Tanpa AC (aku menyebutnya karena harga makanannya sangat mahal). Kantin-kantin ini punya ciri khas makanannya masing-masing. Hanya saja, kantin di SMA-ku masih kalah jauh dengan sekolah lain yang sudah melayani pembayaran elektronik.

Aku sendiri duduk di kelas XI 4, berada di dekat Masjid An-Nur bagian atas. Kelasku dilengkapi dengan dua AC jadul, tetapi masih dingin. Wali kelasku bernama Bu Yuli, guru mapel PPKn di SMA-ku. Orangnya ramah, murah senyum, meski ketika pelajaran suka berdebat dengan muridnya. Di kalangan teman-temanku, aku dipandang sebagai anak yang berprestasi. Di akhir semester 3, aku pernah menduduki peringkat satu di kelas dan peringkat dua paralel satu angkatan.

Aku memiliki empat orang sahabat yang sangat dekat denganku. Mereka adalah Farida, Husna, dan Haris. Mereka punya karakter masing-masing. Ya, kalian pasti akan tahu setelah ini. Mereka juga memiliki keahlian di mata pelajaran yang berbeda-beda. Aku sepertinya dilahirkan untuk ahli di mata pelajaran Biologi dan Kimia. Farida dijuluki sebagai Si Paling Sejarah. Ia memang selalu mendapatkan nilai tertinggi saat ulangan Sejarah. Bahkan ia tahu seluk beluk dunia dan Indonesia beserta fakta-fakta tersembunyi di dalamnya. Farida juga menjadi salah satu lawan bicara debat yang berat untuk Bu Yuli di kelas. Berikutnya, Husna, Si Paling Matematika. Ia begitu jago mengubah angka-angka menyeramkan di pelajaran itu menjadi suatu angka-angka yang menyenangkan. Husna juga dikenal sebagai pengajar Matematika yang ulung untuk teman-temannya. Yang terakhir, Haris, Si Paling Fisika dan Informatika. Hobinya berutak-atik di dunia koding dan pemrograman. Ia juga suka bereksperimen di mata pelajaran Fisika. Sama seperti Farida, Haris juga dikenal sebagai Sang Pemenang Debat Bu Yuli.

Di kelasku, empat serangkai itu dijuluki sebagai Negeri Empat Menara karena kelebihan yang kami miliki. Meski begitu, kami tetap berusaha rendah hati dan tidak jumawa atas pencapaian-pencapaian kami. Terkadang, kami juga membuka forum untuk belajar bersama di kelas dengan aku dan Haris sebagai adminnya.

Masa SMA tidak lepas dari istilah pacaran. Di SMA-ku memang banyak couple-couple yang siap meramaikan mata kalian. Aku juga tak mau kalah. Aku memiliki seseorang yang sangat kucintai bernama Evan. Ia adalah salah satu starboy di angkatanku. Evan kukenal sebagai anak basket, penyayang, dan terkadang bucin. Evan inilah yang menduduki peringkat satu paralel di angkatanku. Jadi, selain sebagai pacar, terkadang Evan juga berubah peran menjadi rivalku. Haha, lucu bukan?

Kami selalu belajar bersama, menghabiskan waktu bukan untuk sekedar menikmati indahnya masa SMA, melainkan juga menghabiskan waktu bersama untuk menikmati indahnya masa depan yang kuimpikan. Kami berdua sama-sama ingin menjadi dokter. Yang membedakan, Evan justru tertarik dengan dunia dokter gigi. Katanya, "Dokter gigi itu bikin aku bisa jaga gigiku sendiri. Biar gigiku bisa mengkilau agar bisa selalu tersenyum manis di depanmu." Ah, keren banget!

Aku ingin menjadi dokter anak. Alasannya pernah kusampaikan ke Evan. Aku membalas perkataannya, "Aku ingin jadi dokter anak." Evan heran dan bertanya, "Kenapa?" Aku menjawab, "Biar aku bisa jaga kesehatan anak-anak kita. Ahahahahahaha." Evan nyengir dan membalas, "Kamu kejauhan kayanya, deh. Haha."

Ya, begitulah indahnya kehidupanku di sekolah. Sisi terang inilah yang membuat hidupku masih memiliki harga walau nilainya paling cuma 40 persen. Di sekolah inilah, aku merasa memiliki rumah kedua yang sangat nyaman untuk ditinggali, bahkan melebihi keluarga sebagai rumah pertamaku.

Nah, kembali lagi ke Negeri Empat Menara. Empat serangkai yang terdiri atas Farida, Husna, Haris, dan aku dipandang oleh guru-guru di Smansa sebagai circle pertemanan yang sehat. Kami beberapa kali ditawari lomba-lomba yang bisa menjadi bonus untuk SNBP. Entah lomba poster, lomba olimpiade, atau lomba berbasis public speaking. Kami juga memiliki spesialisasi untuk lomba-lomba itu. Aku dan Husna ahli dalam hal poster, sedangkan Haris ahli dalam olimpiade. Atas kepiawaiannya dalam berdebat, Farida selalu juara dalam lomba debat atau speech competition. Terkadang, kami juga merangkap keahlian. Aku misalnya, selain berbakat dalam lomba poster, aku juga sering mengikuti lomba olimpiade.

Menurutku, masa SMA adalah masa-masa yang indah dan esensial jika kalian bisa berprestasi dan mengharumkan nama baik sekolah, orang tua, dan orang-orang yang kalian sayangi. Tapi tampaknya, aku cukup berprestasi untuk membanggakan teman-temanku, guru-guruku, dan Bunda saja. Tidak untuk Ayah.

NAYLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang