Setelah selesai membaca di perpustakaan, aku bersalaman dengan penjaga perpus lalu berjalan di lapangan rumput. Nah, dari belakang, tiba-tiba ada seseorang yang menutup mataku. "Woi, ini siapa yang nutup mataku. Tolongg!!!" teriakku di lapangan itu. "Tenang tenang, ini aku, Husna, hei!" Ternyata itu Husna. Dia emang agak usil denganku. "Ih, kamu bikin malu. Tuh kan ditonton satu sekolah," kataku malu. "Dah, yuk! Sekarang kamu masuk kelas dan kamu harus pake penutup mata ini, ya!"
Aku awalnya bingung. Namun setelah dipikir-pikir, mungkin ada kejutan dari temen-temenku. Ternyata susah juga kalau jalan pakai penutup mata. Gak bisa bayangin kalau aku harus kehilangan nikmat penglihatan. Setelah sampai di kelas, Husna membuka penutup mataku dan, "Ta raaa, welcome back to our class, Nayla!!!" sambut temanku sekelas. Kulihat di kelasku sudah ramai dengan dekorasi balon-balon dan rumbai-rumbai. Di depan kelas ada tulisan besar dari balon bertuliskan "WELCOME BACK NAYLA". Aku terharu sekali. "Terima kasih, ya, kawan-kawan. Doakan semoga aku bisa menjalani ujian hidup ini dengan baik," kataku. Kami makan bersama berkat Haris yang mentraktir satu pizza raksasa di kelas.
***
Setelah aku menikmati pizza tersebut, dimulailah jam pertama, yaitu Olahraga. Ternyata aku mendapatkan informasi kalau Pak Anung, guruku saat itu sedang dinas luar sehingga jam pertama dipastikan kosong. Karena aku kurang berminat dengan pelajaran Olahraga, ditambah lagi Farida, Husna, dan Haris pergi ke perpustakaan, akhirnya aku menyusul mereka.
Tak lama kemudian, aku sampai di perpustakaan. Di tengah perpustakaan itu, terdapat meja oval besar dengan enam kursi. Di sanalah Farida, Husna, dan Haris duduk sambil membaca buku. "Wah, kamu nyusul ke sini, ya, Nay?" kata Haris, "sini duduk dulu." Aku mengiyakan. Di sampingku, ternyata sudah ada buku Dilan 1991. Mungkin ada orang yang membacanya tadi. Kuambil buku itu dan kubaca isinya. Bucin sekali!
Saat aku sedang membaca, tiba-tiba ada suara ibu-ibu dari pintu perpustakaan. "Permisi, mau cari Bu Jum, ada mboten, Bu?" kata ibu-ibu tersebut. "Dengan saya Bu Jum sendiri, Bu. Ada apa, Bu?" kata Bu Jum, penjaga perpustakaan itu. Awalnya, sih, pembicaraan mereka biasa-biasa saja. Sampai ibu-ibu itu berkata, "Bu, mohon maaf mengganggu waktunya. Saya Bu Sari, mamanya Evan kelas XI 3."
Mak deg! Kagetlah aku. Ternyata ibu-ibu itu mamanya Evan. Aduh, jadi keinget lagi, deh. Usut punya usut, Tante Sari, ibunya Evan, ternyata ingin mengembalikan buku kepada pihak sekolah. "Saya ke sini mau mengembalikan buku, Bu. Di sini ada beberapa koleksi buku pribadi almarhum anak saya juga. Mungkin bisa dijaga dengan baik. Soalnya ini amanah dari almarhum Mas Evan juga," lanjut Tante Sari. "Oh, nggih, matur nuwun (Oh, ya, terima kasih). Kami akan menjaga bukunya almarhum Mas Evan dengan baik," kata Bu Jum. Tak mau ketinggalan momen, aku memutuskan untuk bersalaman dengan Tante Sari. "Assalamu'alaikum, Tante," kataku. Tante Sari yang ramah menyapa balik, "Wa'alaikumussalam, ini siapa, ya?" Akupun menjelaskan, "Hehe, saya Nayla Almeera Nur Budiyanto. Teman-teman biasanya panggil saya Nayla, Tante. Saya dari kelas XI 4." Tante Sari menjawab, "Oh, ini tho, Nayla. Dulu sewaktu Evan masih di sini, dia sering cerita tentang kamu. Katanya, kamu anak yang baik, pinter, sopan, dan sabar pula. Dia juga sering cerita kalo kamu suka membaca dan sering megang ranking 10 besar paralel. Iya kan?" Aku mengangguk, lalu kujawab, "Tante, saya turut berduka cita, nggih. Semoga Evan bisa dapat tempat yang terbaik dan tenang di alam sana." Tante Sari tampaknya paham perasaanku yang sedih. Ia lalu mengelus pundakku sambil berkata, "Dik Nayla, kamu jangan sedih, ya. Meskipun kamu kehilangan orang yang kamu sayangi, tetapi kamu harus tetep sabar dan ikhlas. Tante juga sudah ikhlas atas kepergian Dik Evan. Semangat, ya!"
Tak lama, Tante Sari berpamitan padaku dan Bu Jum. "Dik, semangat sekolahnya, ya! Saya pamit dulu," kata Tante Sari dengan halus. Aku tersenyum puas. Setelah itu, aku memutuskan untuk duduk membaca buku kembali. Akan tetapi, belum sempat aku duduk, tiba-tiba Tante Sari kembali lagi. "Eh, sebentar, Dik Nay. Kamu ke sini dulu, ya!" Aku keheranan. Ada apa ini?
Ternyata, Tante Sari memberikan sepucuk surat kepadaku untuk disampaikan kepada Bu Jum. "Dik, ini ada daftar anak-anak yang berhak memiliki secara gratis bukunya Dik Evan, ya. Selamat membaca!" Akupun membuka surat itu. Kurang lebih isinya seperti ini.
Aku bingung harus berkata apa. Ternyata, jauh sebelum Evan meninggal, ia sudah berencana untuk memberikan buku-buku itu kepada orang-orang yang ia sayangi. Yang lebih membuatku kaget, ternyata aku adalah salah satu orang yang berhak mendapatkan buku itu. Setelah membaca surat itu, kuberikan kepada Bu Jum dan pandanganku langsung tertuju pada buku Campbell edisi terbaru yang dahulu pernah diceritakan Evan. Karena itulah, aku menjadi teringat masa-masa Ketika ia masih berada di sini.
***
Sore itu, hari Kamis, 17 November 2022, di kelas X 9, aku masih ingat Evan menceritakan buku itu kepadaku. "Hai, Sayang. Kamu tau gak aku lagi bawa apa?" ujarnya. "Ah, bodo amat mau bawa apa," jawabku. Ternyata, "Ta raaa... Lihat nih, ada buku baru!" Wow! Kaget perasaanku kala itu. "Buku apaan itu? Campbell, ya?" tanyaku. Evan mengangguk, lalu menyeretku ke anak tangga depan Lab Kimia. "I know kamu mesthi pengen buku in ikan?" katanya. Aku menjawab lirih, "Iya." Karena jujur, saat itu aku menginginkan buku Campbell seperti milik Evan, tetapi takut mengatakan ke Ayah. Yah, kalian pasti tau lah ayahku dulu kaya gimana.
"Mmm, kamu berdoa aja, semoga kamu bisa dapetin buku ini secepatnya. I'm sure kehidupanmu bakalan berubah 180 derajat kok. Percayalah!" kata Evan saat itu. Aku tersenyum, lalu menyentuh tangannya dengan mesra. Ah, sudahlah! Lalu kukatakan, "Hehe, makasih, ya, doanya."
***
Sekarang, memang aku mendapatkan buku itu secepatnya. Ya, secepatnya banget karena Evan pergi ke alam lain. Tapi menurutku, semua yang terjadi biarlah terjadi. Anggap saja buku ini sebagai kenang-kenangan dari Evan sewaktu ia masih di dunia.
Kuambillah buku itu, lalu aku berkata kepada Bu Jum, "Bu Jum, buku gede ini saya bawa pulang, ya." Bu Jum mengangguk. Setelah itu, aku kembali ke bangku tempat teman-temanku bersenda gurau sambil membaca. Tampaknya buku besar seharga satu juta lebih yang aku bawa menarik perhatian Farida. "Eh, Nay, itu buku apaan?" tanyanya. Haris langsung ngeh dengan buku ini dan berkata, "Oh, ini buku Campbell edisi terbaru. Harganya satu juta ke atas. Aku pengen beli buku ini tapi belum sempet." Setelah itu, Husna bertanya, "Kamu dapet dari mana, Nay? Apa kamu dapet alokasi spesial dari mamanya Evan?" Aku menjawab, "Ho'oh, tadi Tante Sari habis ke sini nugh. Ya udah, itu bukunya Evan aku ambil aja."
Farida yang suka nyolot langsung ngeroasting, "Eh, bukunya ngeri dong. Bekas orang mati!" Husna menjawab, "Heh! Kamu jangan gitu dong! Kasian Si Nayla. Orang yang udah meninggal juga mana boleh dijadiin candaan. Gak baik, Far!" Aku menanggapi dengan santai, "Udah udah, kalian gak usah ribut. Mendingan kita bareng-bareng baca buku ini."
Nah, sebetulnya aku kurang begitu perhatian dengan semua yang terjadi hari ini. Lalu, tiba-tiba, aku baru mengerti mengapa Allah menakdirkan ini semua kepadaku dan Evan. "Eh, bentar bentar. Kalau orang meninggal seperti Evan aja masih bisa memberikan manfaat dari buku-bukunya, terus kenapa aku yang seharusnya masih hidup malah berpikiran yang enggak-enggak? Harusnya aku lebih prihatin dan berusaha untuk lebih bermanfaat dong!" gumamku.
Aha! Ini dia jawaban dan prinsip hidupku sekarang. Saat ini, aku hanya ingin menjadi bermanfaat untuk diri sendiri, keluarga, dan orang lain di sekitarku. Aku juga harus bersyukur karena dengan kehidupan keduaku ini, peluangku untuk menjadi insan yang bermanfaat semakin besar. Semoga aku bisa semakin memahami makna kehidupan ini ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NAYLA
Short StoryKetika seorang anak SMA kelas 11 yang harus hidup di tengah keluarga berantakan, ditinggal ke dunia lain oleh sang pacar, hingga dijebak oleh teman sendiri, membuat Nayla tak patah arang untuk menjalani kewajibannya sebagai pelajar