REDUCE THE TEARS
Hujan gerimis beberapa hari ini mengguyur Silom road, satu distrik yang menjadi jantung ekonomi kota Bangkok. Tetapi itu tidak menyurutkan tekad penghuninya untuk beraktivitas, jalan kota penuh akan mobil yang melaju, trotoar pun tak luput dari pejalan kaki yang memadati. Zee salah satunya, pria 31 tahun yang baru saja memperoleh kepopulerannya sebagai penulis. Terburu-buru ia membelah para pejalan kaki yang menghalangi langkahnya, dengan jas hujan menutup hingga kepalanya, dan tas punggung yang menggantung di satu lengannya. Istrinya telah menyiapkan payung untuknya tadi sehingga air hujan tidak akan membasahi wajahnya, tetapi ia terlalu terburu-buru untuk keluar rumah.
Kepalanya mendongak, matanya susah payah melawan tetesan gerimis yang menyerangnya, mencari satu nama coffeeshop yang harusnya sudah ia masuki 15 menit yang lalu. Raut wajahnya berubah cerah saat ia menemukan cafe yang ia maksud, bergegas ia berlari agar tak lebih terlambat. Melepas jas hujannya dengan terburu dan menggantungnya di luar pintu cafe. Mata Zee mengedar dan tangannya melambai saat seseorang memanggilnya.
"Hey Zee, aku disini..."
Zee tersenyum dan menghampiri Joong, manajer sekaligus produser penerbit novelnya. Beruntung ia memiliki atasan sahabatnya sendiri, sehingga ia sering mendapat kompromi di setiap keterlambatannya, terutama saat ia dikejar oleh deadline novel-novelnya. Bukan hanya itu, Joong juga telah banyak membantunya mengembangkan ide-ide pokok tulisannya. Bekerja dengan Joong membuat beban hidupnya sedikit berkurang, setidaknya sedikit memberi ia celah untuk bernapas lega.
"Kau membutuhkan ini, Kawan," ucap Joong sambil melemparkan saputangan miliknya, bermaksud agar Zee menyeka sisa-sisa air hujan yang membasahi wajahnya.
Zee menerimanya dengan tersenyum, mengisyaratkan rasa terimakasih melalui sorot matanya kemudian menyeka wajahnya dengan saputangan Joong.
"Kau membutuhkan sesuatu yang hangat? Atau sarapan?" tawar Joong.
"Hot Cocoa saja, aku sudah sarapan di rumah," jawab Zee. Joong mengangguk dan memanggil pelayan untuk memenuhi pesanan Zee.
Selanjutnya ia hanya diam menyaksikan Zee sibuk mengeluarkan naskah-naskahnya dan notebook dari dalam tasnya. Matanya memicing saat ia menemukan hal yang aneh pada wajah Zee. Tangannya reflek menyentuh wajah Zee, tepatnya di rahang di bawah telinga kanannya. Lebam ungu tercetak jelas di sana. Zee mematung saat ia merasakan sentuhan Joong di wajahnya, tetapi kemudian buru-buru menjauhkan wajahnya dan menghindari tatapan mata Joong yang pasti sedang mengejarnya saat ini.
"Ia melakukan ini lagi?" tanya Joong dengan nada datar, tidak ada aura ceria penuh kehangatan seperti sesaat tadi.
"Hmm tidak ada orang lain lagi," jawab Zee pura-pura sibuk dengan notebooknya.
"Dan kali ini apa karena kesalahanmu?"
Zee mendongak mendengar pertanyaan sarkastis Joong.
"Meskipun aku tidak bersalah, tetapi semua ini berawal dari kesalahanku, Joong."
"Tapi itu sudah setahun yang lalu, Zee."
Zee merapatkan mulutnya, ingin menjawab tetapi pembicaraannya dengan Joong nantinya pasti akan berputar disini-sini saja.
"Membuatku semakin curiga, Nunew menikah denganmu hanya untuk menyiksamu. Hanya ingin kau membayar 1 kesalahanmu dengan menganiayamu."
"Joong hentikan."
"Kali ini apa kesalahanmu hingga membuatnya harus meninju mukamu seperti ini? Sebulan yang lalu ia menusuk pinggulmu dengan pisau hanya karena ia menemukan surat pembaca wanitamu di kotak posmu. Seminggu kemudian ia menjambak rambutmu hingga rontok saat aku memerintahkan editor wanitamu datang ke rumahmu. Aku juga tidak melupakan seminggu lalu saat aku melarikanmu ke rumah sakit karena pendarahan di telingamu setelah ia menendang kepalamu, sekarang apalagi?" Joong sudah tidak bisa menutupi kesedihannya menyaksikan keadaan fisik Zee yang sudah tidak sesegar dan setegap dulu.