10. Not a Drama

255 15 0
                                    

Malam yang penuh hangat, dimana semua keluarga sedang melakukan makan malam bersama. Termasuk didalam kediaman Nicholas. Semua keluarga Nicholas sedang makan bersama dengan hening tanpa ada niatan ingin membuka suara. Hanya ada detingan alat makan yang menjadi penghalau keheningan mereka.

"Jadi, apa keputusan kamu?!" Tanya Pria paruh baya kepada anaknya yang tengah menatap dirinya. Siapa lagi kalau bukan Gamaliel Nicholas.

"Aku sudah bilang bukan, bahwa aku tidak ingin meneruskan perusahaan milikmu!" Jawaban yang selalu Gamaliel berikan, yang terus menolak paksaan sang ayah.

"Kenapa? Kalau bukan kamu, siapa lagi? Kau anak aku satu-satunya kalau kau lupa." Peringat sang ayah, akan kalimat penolakan yang selalu diberikan anaknya.

"Ada Samuel Nicholas!" Peringat balik Gamaliel akan ucapan sang ayah, mengenai anak lain dari ayahnya ini.

"Dia anak tiriku! Kau anak kandungku! Kau yang seharusnya meneruskan perusahaanku!" Balas sang ayah, akan alasan yang selalu diberikan anaknya.

"Tapi aku tidak mau!" Kekeh Gamaliel yang tetap terhadap pendiriannya. Bahwa dirinya ini tidak akan pernah mau meneruskan perusahaan kotor milik ayahnya ini.

"Gamaliel Nicholas!" Sentak sang ayah, yang langsung memukul meja makan, karena sang anak yang terus menolak dirinya.

"Aku. Tidak. Mau." Tolak Gamaliel sekali lagi, dengan penuh penekanan disetiap kata. Menandakan kalau dirinya ini sudah bulat akan keputusan yang telah ia ambil.

"Sayang." Peringat sang istri kepada sang suaminya ini, agar suaminya tidak meledak didepan anak mereka.

Sang kepala keluarga langsung menggeram kesal, mengontrol emosinya agar tidak meledak didepan anaknya. "Oke, kalau kau tidak mau meneruskan perusahaan milikku. Kau harus menikah dengan wanita pilihanku." Ujarnya memberikan pilihan kepada sang anak.

Gamaliel langsung mengusapkan wajahnya penuh frustasi, lalu menghembuskan nafasnya kasar. "Kau gila?! Ini bukan jaman dahulu yang seenaknya menjodohkan anak! Aku tidak mau!" Tolaknya, akan ide gila yang di berikan ayahnya.

"Kenapa? Apakah karena wanita kampus kamu?" Tanya sang ayah, yang langsung menampilkan seringaian di sudut bibirnya, menatap sang anak yang tengah memegang alat makannya dengan sangat kuat.

Gamaliel yang mendengarnya pun langsung mencengkram pisau dan garpu yang ia pegang. Mengatur emosi serta memikirkan cara agar sang ayah tidak tau mengenai wanita mungilnya, Guinevere Kavandra. Wanita yang menemani dirinya belakangan ini. "Apa maksud kamu? Wanita kampus mana?! Kau tidak usah belajar gila!" Ujarnya, yang saat ini menaikan salah satu alisnya, membalas ucapan sang ayah.

Sang ayah malah tersenyum, menaikan kedua alisnya lalu menyuruh salah satu maid mengambil sesuatu. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia langsung melemparkan amplop berwarna coklat dihadapan sang anak. "Guinevere Kavandra, apakah itu belum cukup?" Ucapnya, yang langsung tersenyum kemenangan menatap sang anak.

Sementara Gamaliel langsung mengumpati sang ayah dalam hatinya. Mengapa ayahnya selalu tau apa yang ia lakukan?! Namun ia tidak boleh lengah, ia harus memikirkan cara agar sang ayah tidak menyakiti perempuannya, lagi.

"Apakah kau tidak jera? Kau tau apa akibatnya apabila kau mendekati seorang perempuan tanpa sepengetahuan dan izin dariku." Ujar sang ayah, yang tidak ada lelahnya untuk memperingati sang anak, akan sebab dan akibat yang anaknya ambil, tanpa persetujuan darinya.

"Kau pikir aku perduli? Ia hanya teman kampusku yang bodoh. Aku tidak memiliki perasaan terhadapnya. Aku bersamanya karena sering dikelompokkan oleh dosenku untuk mengejarkan tugas." Kalimat kejujuran yang Gamaliel berikan akan status antara dirinya dan teman mungilnya itu.

OUR MISSION - JENRINA, JAEMINJEONG, RENNING, HAESELLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang