ALEX
"Flat Spot"○●○
MEREKA BERKATA BAHWA kesedihan merupakan hasil dari tali hubungan kemanusiaan yang memakan mereka kembali.
Dan selama itu aku selalu menerapkan prinsip tersebut dalam kehidupan mendungku.
Di pemakaman privat, aku melihat dua peti mati dengan foto yang menampilkan wajah dua orang familiar denganku. Foto mereka terpajang sejajar satu sama lain. Aku bahkan tidak tahu bahwa foto tersebut ada di dunia.
Tidak ada hal yang dapat aku rasakan semenjak peristiwa ini terjadi. Dua hari semenjak pesan dari Valentino kepadaku di kamar Olivia; dua hari aku tidak dapat tidur nyaman karena perkara hati yang janggal.
Seharusnya aku baik-baik saja, 'kan? Aku tidak pernah mengenal mereka di luar intensitas peran mereka di ranah publik. Semua hal yang mereka lakukan dapat aku cari di internet. Tapi, faktanya hal tersebut tidak terjadi kepadaku.
Apakah ini karma terhadap perasaanku yang telah menghiraukan permohonan maaf mereka? Tapi bukankah itu hal yang normal dilakukan? Tidak memaafkan orang yang menyakitiku?
Entah apa yang harus aku rasakan. Bahkan hatiku terasa seperti terpecah belah. Ini bukan lagi perkara otak dan jantung; ini merupakan hal yang memakan banyak emosiku.
Di satu sisi aku menemukan sebuah penyesalan dalam hidup. Tidak ada rekoneksi, tidak ada menjalin kembali hubungan. Setiap tahun umur bertambah, setiap tahun aku berlari menjauh dari mereka. Agak sukar dimasukkan nalar saat menyadari jika seluruh bagian diriku merupakan bagian dari diri mereka. Darah yang menghidupiku selama ini merupakan paduan darah yang mereka ciptakan.
Itu membuatku marah, karena aku tidak ingin menjadi mereka. Aku bukan mereka. Aku harap aku dapat menyedot darahku keluar dan menghilangkan jejak terakhir mereka dalam kehidupanku, tapi hidup tidak penuh magis seperti itu.
Semua amarah dan emosi terluap akibat perbuatan mereka kepadaku memenuhi sisi jantung lainnya. Sakit dada, pengucilan, kesendirian, dan puluhan lain masa kelamku menunjukkan gambar mereka di balik mata.
Aku menyesal dan sedih. Aku juga marah dan ingin berteriak.
"Alex." Olivia meremas tanganku.
Aku berkedip enggan, melirik pemakaman dingin yang menciptakan melankoli sambil meneliti semua orang yang melingkari dua tanah menggunung baru di tengah mereka.
"Kau baik-baik saja? Aku tidak melihatmu makan semenjak tadi pagi." Olivia, kekasihku, bertanya dengan suara lembutnya ke arahku.
Aku menahan kening yang rasanya ingin aku sobek, berusaha untuk menunjukkan emosi senetral yang aku bisa.
Hal tersebut tidak membuat Olivia terkesan, wanitaku tersebut menggandeng tanganku menjauh dari kerumunan, menyandarkanku pada satu pohon tua yang tidak jauh berada dari pemakaman.
"Kita akan kembali ke Carnegie Hill sebentar lagi. Aku bisa berkata pada supirmu untuk menambahkan waktunya agar kau dapat menghabiskan waktu lebih lama di sini." Olivia menepis salju tipis yang memenuhi jas hitamku, tangannya mengelus punggungku lembut, menciptakan cap hangat pada beberapa titik di punggung.
Gelengan kepala lemah aku utarakan. "Tidak apa, kita bisa pergi dari sini sekarang."
Olivia mengangguk. "I'll talk to the others." Ia tersenyum kecil, berjalan menjauh dariku untuk kembali ke pemakaman yang masih dihadiri beberapa kerabat dekat dan saudara-saudaraku.
Aku tidak cocok berada di antara mereka. Hidupku tidak bersama dengan mereka.
Camilla, kakak perempuanku itu punya pengalaman berbeda terhadap orang tua kami ketimbang diriku. Ia menghabiskan dua hari menangis sambil mengurung dirinya di dalam kamar rumah Carnegie Hill seharian penuh. Ia jadi orang kedua yang tahu setelah Valentino memberitahunya. Ia harus pulang dari Yunani, membawa sebuah kegagalan bisnis partnership untuk meluapkan aplikasi sosial medianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Accelerate Faster [END]
RomanceBalet adalah napasnya. Setelah keluarganya keluar dari inflasi, Olivia Roberts kembali berusaha untuk mendaki anak tangga di New York Ballet Theater setelah mendapatkan kesempatan untuk melakukan trial principal di perusahaannya. Balapan adalah hidu...