13. Menuju Esok

71 10 0
                                    

Ilha menendang batu yang ada di hadapanya, sudah stau jam lamanya ia berdiri di depan rumah Aeseol. Ia sengaja menghindari Aeseol di sekolah, namun melihat apa yang dilakukan Kitae membuatnya merasa resah maka Ilha memutuskan untuk mengikuti Aeseol saat pulang sekolah.

Ia tidak mencoba sembunyi dari Aeseol, namun tetap menjaga jarak mereka. Ia tau Aeseol masih belum siap bertemu denganya, namun melihat Aeseol berjalan pelan dengan kepala tertunduk dan melihat punggung Aeseol menghilang di balik pintu yang menutup, membuatnya merasa kosong.

Ilha berdiam di depan rumah Aeseol, kekosongan dalam hatinya menahannya, menahan langkah kakinya untuk melangkah.

Tubuhnya sudah tak lagi terluka, hanya tersisa beberapa bekas lebam. Ia sudah tak lagi merasakan sakit. Namun, seluruh hatinya menciut, seluruh darah yang mengaliri tubuhnya mendingin. Ia merasa rapuh, dan dengan satu sentuhan lembut saja akan bisa menghancurkanya.

Melihat Aeseol berjalan lunglai, melihat Aeseol kembali kehilangan semangat juangnya, melihat Aeseol menderita membuat Ilha merasa seluruh energi di dalam tubuhnya terkuras habis. Inikah yang dirasakan Aeseol, ketika melihat ia dipenuhi luka dan lebang, ketika melihat ia kesakitan?

Ilha tak ingin memenuhi kepalanya dengan khayalan semu. Apa yang ia rasakan adalah perasaannya sendiri, ia tak ingin memaksakan perasaan itu pada Aeseol.

Ilha masih memainkan batu dengan ujung kakinya ketika ia mendengar suara pintu terbuka. Ilha mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah pintu.

Aeseol membuka pintu dan berjalan ke arah Ilha. Tubuh Ilha yang tadinya lemas landung mendapat asupan energi. Ia berdiri tegas dan menyambut Aeseol dengan senyuman.

Aeseol memandangnya jengkel, namun Ilha mengenal tatapan itu. Kejengkelan itu hanyalah topeng, Ilha tau tanpa Aeseol perlu membuka topeng itu apa arti sebenarnya dari tatapan mata itu.

Aeseol sudah berganti baju tak lagi mengenakan seragam sekolah. Ia mengenakan sebuah hoodie orange dan celana panjang berwarna ungu. Sangat cerah, lebih cerah dari cahaya mentari yang sedang bersinar meredup.

Aeseol berdecak kemudian mengggelenkan kepalanya ke arah jalan di depan Ilha. Ilha menangkap tanda itu, Aeseol berjalan dan Ilha mengikutinya.

Mereka berjalan menyusuri jalan komplek, beriringan, Ilha yang menjulang tinggi dan Aeseol yang tak sampai sebahunya. Ilha dengan seragam sekolahnya dan Aeseol dengan hoodie orangenya.

Keduanya berjalan, pelan, menikmati tiap langkah yang diambil, tidak terburu-buru, tidak saling mengejar, hanya saling berdampingan.

Beberapa kali Ilha melirik ke arah Aeseol, mendapati gadis mungil itu memandang jauh ke depan, ke hamparan langit yang membentang di atas mereka. mata itu tenang, menatap langit tanpa rasa takut dan beban.

Saat itulah Ilha merasa bahwa ia telah kembali hidup, bahwa ia bisa kembali bernafas.

Beberapa kali tangan mereka bergesekan, kulit mereka menyentuh satu sama lain, hanya sepersekian detik, namun sentuhan itu membawa kehangatan dan menjalar ke seluruh tubuh Ilha. Darahnya yang tadinya terasa dingin, mulai menghangat, seakan jiwanya baru saja dihembuskan masuk ke dalam tubuhnya.

Ilha sekuat tenaga menahan keinginan untuk menggenggam tangan itu karena sekali ia menggenggamnya, ia tidak akan pernah mau melepaskanya lagi.

Mereka sampai ke sebuah warung kelontong, Aeseol membuak lemari ice cream dan mengambil dua ice cream cokelat, kemudian masuk ke dalam warung.

Ilha menunggu dengan sabar Aeseol kembali di depan lemari ice cream.

Aeseol keluar dari warung, memberikan salah satu ice cream kepada Ilha, yang tentu langsung diambil Ilha, kemudian membuka bungkusan ice cream miliknya, membuang bungkusnya ke tong sampah dan memakan ice cream itu. Setelah asik dengan ice creamnya Aeseol kembali berjalan.

Ilha mengikuti yang dilakukan Aeseol, kemudian berjalan cepat mengikuti Aeseol. Begitu berhasil menyusul Aeseol, ilha menyesuaikan langkah kakinya seirama dengan langkah kaki Aeseol. Keduanya kembali berjalan, sambil memakan ice cream, pelan, melangkah ke mana kaki mereka membawanya.

Ilha dan Aeseol sampai ke sebuah taman dengan danau kecil di tengahnya. Aeseol berjalan mendekati danau dan Ilha masih mengikutinya. Aeseol duduk di atas rumput di dekat danau, bernaung sebuah pohon rindang di atas kepala mereka. hari masih sore, dan cahaya mentari masih cukup bersinar menyilaukan mata.

Ilha tentu tanpa perlu diminta mengikuti ke mana Aeseol pergi, duduk tepat di samping Aeseol. Ice cream mereka sudah habis dan kini keduanya sibuk memandang jauh ke depan, ke langit.

"Ka Ilha..." panggil Aeseol.

Illha tertegun, jantungnya berdebar cepat begitu mendengar Aeseol memanggilnya kak. Kepalanya dengan cepat menoleh ke arah Aeseol, menyaksikan wajah cantik Aeseol dari samping, iay dari samping karena Aeseol sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Ia masih sibuk menatap jauh ke langit.

"Jangan lakuin itu lagi." Ucapnya lemah, masih menolak menatap Ilha.

"Ngelakuin apa?" tanya Ilha sedikit bingung, atau otaknya hanya sedang tak dapat berkerja saat ini.

"Apapun itu yang bisa melukai kakak, apapun itu yang berkaitan dengan hidupku." ucapnya, suaranya lembut tak lagi dipenuhi kemarahan.

"Mendadak banget jadi sesopan ini seol?" kata Ilha tak tau bagaimana harus bereaksi pada perubahan mendadak ini.

"You don't like it?" tanya Aeseol, akhirnya menolehkan kepalanya menatap Ilha.

Ilha tersenyum, mendapati tak ada sedikitpun raut ketakutan di dalam mata Aeseol, kemudian ia menggeleng, "No, I like you no matter what." Katanya, "Tapi gua tetep paling suka ketika lo jadi diri lo sendiri."

"Just be you, Seol." Tambahanya lagi, sambil tersenyum cerah.

Garis bibir Aeseol naik, sedikit, hanya sedikit, namun Ilha melihat itu jelas. Kemudian, ia kembali memandang langit jauh di depanya.

"Aeseol-ah....." kali ini Ilha yang memanggil Aeseol.

"Emm..."

"Can I hold your hand?" tanya Ilha, tataoan matanya tertuju tepat pada tangan Aeseol.

Aeseol diam, tidak menjawab, tak tau harus menjawab apa atau bagaimana.

"Why?" tanyanya akhirnya setelah terdiam untuk beberpa detik.

"When our skin touche I feel so alive. So maybe, if I hold your hand, it will regain my energy." Jawab Ilha, mencoba sejujur mungkin, seterbuka mungkin, setranparan mungkin.

Aeseol masih memandang langit, satu tanganya mengepal kuat, jantungnya berderu cepat, tapi kemudian ia mengulurkan tanganya ke arah Ilha. Ilha meraih tangan itu, menggenggamnya kuat, erat, merasakan kehangatan menjalar memenuhi seluruh nadinya.

Ilha mengaitkan kedua tangan mereka, keduanya saling menggenggam erattangan masing-masing, melupakan sejenak apa yang terjadi kemarin, menyiapkantenaga untuk apapun yang mungkin terjadi esok.


The Sun and The Fire KeeperTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang