Ilha menatap langit sore yang membentang di hadapannya. Aeseol duduk tepat disampingnya. Mereka menempuh perjalanan dua jam penuh, dalam diam, diam yang entah bagaimana memberi ketenangan pada Ilha.
Ilha tau ada yang ingin disampaikan Aeseol, ada yang ingin dikatakan Aeseol, sesuatu yang begitu penting dan Aeseol sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya. Ilha tau apa yang akan dikatakan Aeseol, apapun itu, akan mengubah jalan hidupnya, karena itulah Ilha menunggu. Apapun keputusan Aeseol, Ilha harus menerimanya bukan.
Ilha mengalinghkan pandangannya pada Aeseol yang duduk tenang di sampingnya, memandang teduh langit dan laut yang terbentang di depan matanya.
Ilha berharap ia bisa menghentikan waktu, sehingga tak ada lagi hal di dunia ini yang bisa memisahkan mereka. Sehingga selamanya, ia akan berada di sisi Aeseol, memandang teduh wajah gadis mungil itu. Tapi, waktu terus bergerak, detiknya melaju satu persatu, mengikis ruang bagi Aeseol dan Ilha untuk tetap bersama.
Langit yang tadinya biru memudar dan berganti perlajan menjadi jingga. Jingga yang tak lagi menyilaukan mata dan Ilha tau seiring dengan langit yang berganti warna waktunya dengan Aeseol semakin menipis, menyempit dan perlahan habis.
"Kaka tau ga? Alasan aku main anggar?" tanya Aeseol
Ilha diam, nada suara Aeseol dan caranya memilih kata yang terkesan formal, membuat Ilha menyadari bahwa ia sedang serius. Setengah hati Ilha membenci ini, seakan tak ada yang salah, bersikap seakan tak pernah ada permasalahan, di balik kesopanan dan keformalan.
Namun, sebagian hati Ilha tau bahwa ini adalah bagian dari diri Aeseol, bahwa beginilah cara Aeseol melindungi dirinya, dengan membuat jarak tak terlihat.
"Kenapa?" tanya Ilha
"Karena aku ingin melindungi diri dari ayah, ayah yang selalu memukliku, dan aku berhasil. Ia berhenti memukuliku begitu aku berhasil meraih juara dalam lomba anggar. Saat itu kupikir, aku akhirnya bisa bernafas dengan tenang."
Ilha diam, tidak mencoba menjawab Aeseol. Ia tau, Aeseol tidak butuh jawaban saat ini.
"Sampai suatu saat, tanpa sadar, aku memukuli teman sekelasku."
Aeseol tertawa, getir, setelah mengatakannya. Seakan, ia sedang tidak bicara tentang dirinya. Seakan, ia sedang menceritakan tentang orang lain.
"Dia anak yang sombong, egois, selelau memaksakan kehendak. Dia sering menghina dan bersikap kasar pada anak-anak yang lemah. Anak-anak yang tidak punya orang tua. Ia tau tak akan ada yang melindungi mereka, maka ia bertindak sesuka hatinya pada mereka dan aku membenci itu."
Ilha tertegun, hatinya menciut, menyadari kemiripan cerita Aeseol dengan hidupnya.
"Suatu hari dia terus mengejek salah satu anak di kelas kami. Anak itu mengenakan sepatu bekas yang sudah lusuh. Kemudian, dia megambil paksa sepatu anak itu, melemparkanya ke luar kelas seakan itu adalah sampah yang tak berguna, mekipun ia tau jelas, anak itu tak akan punya uang untuk membeli sepatu baru."
Ilha bisa melihat kemarahan di mata Aeseol, meskipun Aeseol sedang memandang laut dan Ilha hanya bisa melihat dari samping. Pancaran kemarahan itu memancar dari sudut mata Aeseol.
"Seakan tak puas, anak itu masih menganggunya, mengejeknya, menertawakannya, memaksanya mengambil sepatu bekas miliknya, sebagai ganti sepatu yang ia buang. Saat itulah, aku kehilangan kendali."
Kilatan kemarahn di mata Aeseol perlahan menghilang, pudar beganti dengan kilatan lain. Ilha mengenal perasaan itu, perasaan yang sering hadir dalam dirinya, namun selalu ia pendam, penyesalan.
"Aku begitu dipenuhi kemarahan, tanpa sadar aku mengambil sapu di kelas, mematahkan kepalanya dan memukuli anak itu menggunakan tongkat. Saat tersadar, tanganku sudah dipenuhi darah."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sun and The Fire Keeper
FanfictionAeseol tak pernah peduli dengan keadaan sekitar. Ia hanya ingin bersekolah, lulus dan melanjutkan hidup. Ia tak memiliki teman dan tak merasa membutuhkanya, hingga suatu hari ia bertabrakan dengan Ilha. Ilha, kakak kelasnya, pria yang ditakuti hampi...