»--01--«

2K 128 21
                                    

Happy Reading

Sorry for the typo(s)

🔓

Mark as Laksamana Rama Manggala

Jaemin as Narendra Sekar Prameswara

»--•--«

Rama menggeliat begitu merasakan usapan di perutnya. Ugh, siapa yang berani mengganggu tidur nyenyaknya? Dengan malas-malasan ia membuka kelopak matanya dan setelah melihat siapa yang tersenyum manis, teguran yang sebenarnya sudah ia siapkan di ujung lidah terpaksa ia telan kembali.

"Kakak, selamat pagi." Narendra, atau yang biasa dipanggil Naren, mengecup pipi Rama sekilas lalu masuk ke dalam rengkuhan yang lebih tua. Tubuh Rama terasa hangat dan ia menyukainya, membuatnya enggan jauh-jauh dari pria yang mengisi kekosongan di hatinya ini. Ia semakin merapatkan tubuhnya pada Rama, menghapus jarak di antara mereka berdua.

Rama mendekap pinggang si cantik. "Tumben ke rumah kakak sepagi ini. Mau ngapain?" tanyanya seraya meraih jemari Naren yang bermain-main di dadanya untuk ia genggam.

"Aku kangen kakak." Sudut bibir Naren turun ke bawah, merasa sedih karena akhir-akhir ini Rama disibukkan oleh pekerjaan sehingga mereka sulit menghabiskan waktu berdua. "Kakak kerja terus. Aku dilupain. Kalau aku gak ke sini, memangnya kakak mau datang ke rumahku?"

Rama pun mengeratkan pelukan mereka dan menaruh dagunya di kepala yang lebih muda. Salah satu hal yang tidak pernah berubah sedari kecil adalah ia ingin selalu melindungi seseorang yang dirinya peluk sekarang. "Kalau adek minta pasti kakak ke sana."

Dalam hati Naren mencibir keras mendengar panggilan itu. Perlu digarisbawahi bahwa ia tidak menyukainya. Sampai kapanpun ia tidak mau menjadi adik Rama. Helaan napas berat yang ia hembuskan memantik tanda tanya di kening sang dominan. "Enggaa. Aku baik-baik aja," ucapnya, menjawab pertanyaan kenapa yang dilontarkan Rama.

"Masa aku yang harus ngelamar kakak sih?"

Batin lelaki cantik ini meratapi nasib percintaannya. Salahnya juga kenapa bisa jatuh cinta kepada 'kakak'nya sendiri padahal banyak pria lain di luar sana dan yang pasti mereka juga menyukainya. Toh tampangnya tidak terlalu buruk.

Menyadari adiknya melamun, Rama membelai lembut pipi Naren. "Hari ini ada jadwal pemotretan?"

Naren membalasnya melalui gelengan. "Hari ini aku free. Aku mau sama kakak seharian bisa gak?" pintanya, sadar betul ia memperlihatkan manik sewarna madunya yang berbinar memohon―memanfaatkan kelemahan Rama lantaran sejak dulu pria bermata bulat ini tidak bisa melihatnya menangis. "Kakak bisa 'kaan?"

Rama terkekeh pelan. "Kakak kerja, Dek. Bisanya habis kakak pulang."

"Aku ikut kakak kerja kalau gitu."

"Kenapa gak istirahat aja di sini sampai kakak pulang? Kamu juga cape 'kan?" Rama merapikan surai cokelat Naren dan menyelipkannya ke belakang telinga. "Istirahat aja. Kakak gak mau kamu cape."

Diam-diam Naren tersenyum tipis, entah apa makna di balik senyumnya. Sampai di sini, apakah interaksi mereka mencerminkan hubungan kakak dan adik pada umumnya? Ia rasa tidak. Maka dari itu, ia harus berusaha lebih keras supaya Rama sadar. "Ih orang aku maunya sama kakak. Boleh ya? Aku janji gak akan ganggu kakak."

Ngomong-ngomong, ia sering menemani Rama bekerja. Tidak ada yang ia lakukan selain duduk manis menunggu Rama menyelesaikan pekerjaan daripada memperhatikannya yang sudah jelas lebih menarik. "Oke deh, boleh," sambungnya, menyetujui keinginannya tanpa persetujuan terlebih dahulu. Senyum yang Rama ukir tak elak membuatnya tersenyum. "Kakak mau sarapan apa?"

"Kakak mau beli sandwich di luar."

"Kenapa beli? 'Kan ada akuuuuu! Aku bisa buat sandwich yang rasanya lima kali lipat lebih enak dari yang biasanya kakak beli."

Tawa Rama berderai menyadari raut tidak terima terlukis jelas di paras Naren yang menawan. "Adek gak boleh cape-cape."

"Tapi aku gak cape, Kakaak." Naren terpaksa mengurai pelukan mereka saat Rama bangkit. Dengan cekatan ia menahan lengan Rama. "Mau ke mana?"

"Mandi."

"Aku ikut."

Senyum yang Rama terbitkan tidak pudar tatkala ia mencubit gemas pipi gembil si manis. "Adek gak boleh gitu. Jorok." Ia menarik sudut bibir Naren ke atas agar berhenti melengkung dan melanjutkan, "Kakak janji gak akan lama."

Nayanika Naren memandang kepergian Rama dengan tatapan yang sulit diartikan. Tanpa sungkan hidungnya mengeluarkan dengusan sebal. "Adiknya kakak itu cuma Raja! Aku bukan adiknya kakak jadi jangan panggil aku adek!" gerutunya, mencak-mencak sendiri. Sejujurnya, ia ingin mengeluarkan kemarahan dan kejengkelan yang telah lama dirinya pendam namun selalu ia urungkan.

Tidak masalah. Akan ada saatnya gunung berapi di jiwanya meletus.

»--To be Continued--«

Seperti yang aku bilang waktu itu, aku mau ubah nama karakter mereka. Pusing ternyata cari nama-nama🥲 










What are We? [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang