Happy Reading
Sorry for the typo(s)
»--•--«
"Hey?"
Narendra buru-buru mengusap air matanya yang menganak sungai di pipi gembilnya. Iris madunya yang berkaca-kaca menatap bayangan seseorang yang berdiri di depannya lalu kepalanya mendongak takut-takut.
"Kamu kenapa?" Rama mengangguk paham saat anak kecil berbaju kuning cerah ini menunduk dan enggan menjawab. "Mau es krim gak?" tanyanya, berusaha menghibur.
Dari kejauhan, ia melihat anak kecil duduk di sendirian di playground perumahan mereka. Awalnya ia tidak peduli dan mengayuh sepedanya secepat mungkin, tetapi semakin didekati ia sadar ada yang tidak beres. Ia menuruti kata hatinya dan tahu-tahu ia berdiri di depan si lucu.
"Kata papi nda boleh."
"Kenapa? Oh, kalau ditawarin jajan sama orang asing harus ditolak, ya?" Lagi-lagi Rama mengangguk. Ia mengerti karena ayah dan bubunya juga mengajarkan hal serupa. Tangan kanannya pun terjulur dengan senyum manis yang mengembang. "Nama aku Rama. Kalau kamu?"
Naren mengamati uluran tangan Rama tanpa berniat menyambutnya. Bola matanya memandang Rama dan tangannya bergantian. "Panggilnya kakak?" gumamnya yang dibalas anggukan. Dengan ragu-ragu ia menjabat tangan yang lebih besar darinya. "Nalen."
"Nalen?"
"Bukaan. Pakai huluf el."
"Nalen 'kan pakai huruf l."
Merasa yang lebih tua tidak mengerti, Naren menulis huruf r di telapak tangannya. "Nalen," ulangnya. Keningnya dihiasi lipatan samar mendengar tawa padahal apa yang ia lakukan sudah benar, yakni mengoreksi.
"Maksudnya Naren?" Rama tersenyum geli, cukup terhibur dengan kesalahpahaman di antara mereka. Seharusnya ia ingat Naren mungkin seumuran Raja yang juga belum bisa melafalkan huruf r. "Kenapa di sini sendirian?" Sepertinya ia salah bertanya lantaran pipi gembul itu kembali menggembung. "Ada yang nakal?"
"Papi yang nakal! Ade nda mau bobo siang telus papi malah!"
"Alasannya?"
"Mau main." Helaan napas kecewa keluar dari hidung Naren. Omong-omong, ia belum lama pindah ke sini dan ingin mencari teman baru. Tetapi kenapa sepi sekali? Ia menaikkan alis kirinya ketika Rama menjelaskan sebagian besar anak kecil di perumahan ini selalu tidur siang. "Benelan?"
"Iya. Kalau kakak bohong harusnya sekarang ramai 'kan?"
Satu hal yang baru Rama sadari adalah keluarga Naren yang menempati rumah di samping rumahnya. Pantas saja sejak empat hari yang lalu ia sering mendengar cekikikan anak kecil di halaman belakang. "Mau kakak antar pulang?"
"Ade mau tunggu papa jemput aja."
"Kapan?"
Bahu Narendra terangkat santai. "Papa pulang keljanya sole."
Beberapa detik Rama bingung harus bereaksi apa. Ia sontak menepuk dahinya sendiri, teringat titah Kiran yang menyuruhnya membeli garam dan saus tiram. Bingung menyerangnya mengenai apakah ia harus mengajak Naren atau tidak. Jika tidak, ia juga cemas meninggalkan anak sekecil Naren sendirian. "Ikut kakak, yuk?"
"Ke mana?"
"Minimarket. Beli jajan." Melihat Naren yang merogoh saku baju dan melengkungkan bibir ke bawah membuat Rama menahan senyum. "Kakak yang jajanin. Mau?" Kepalanya mengangguk-angguk untuk menyingkirkan keraguan yang tersurat dalam nayanika itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What are We? [MarkMin]
FanfictionSaling mengenal sejak kecil dan melewati banyak hal bersama tidak membuat Rama menaruh perasaan lebih kepada Narendra, si cantik yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Benarkah atau justru dirinya yang tidak mengerti perasaannya sendiri?