Happy Reading
Sorry for typo(s)
»--•--«
"Mas, mau makan apa?"
Naren berjalan di depan sedangkan Harsa di belakangnya sambil mendorong troli. Tanpa perlu bertanya lebih dulu, ia memasukkan berbagai bahan makanan ke dalam keranjang.
"Makan kamu boleh?" Harsa terkekeh saat dihadiahi lirikan garang. Kemeja putih yang digulung hingga siku dan kacamata yang ia pakai mengundang perhatian serta kerlingan memuja dari setiap mata yang memandang. "Hari ini mas yang masak deh."
"Bisa masak memangnya?"
"Bisa dong! Kamu gak percaya?"
"Engga soalnya mas sering bohong."
Naren memasukkan satu botol kecap inggris dan saus tomat. Selesai membaca ulang daftar belanja, ia pun tersenyum simpul. "Sudah selesai! Silakan dibayar, Mas," titahnya, mempersilahkan.
Di tengah berjalan menuju kasir, Harsa berkata, "Tapi beneran malam ini mas aja yang masak." Sorot matanya menjadi serius dan kepalanya mengangguk-angguk, meyakinkan bahwa kemampuan memasaknya tidak bisa dianggap remeh. "Kalau enak kamu bayar pakai cium, ya?"
Naren mendengus. "Cepat antri aja deh, Mas. Aku mau pulaang." Percuma menanggapi godaan kelas teri milik Harsa yang tiada habisnya. "Eh, aku lupa belum ambil selai! Sebentar!" Ia lantas memacu kakinya ke tempat di mana berbagai varian selai berada dan siapa sangka dirinya justru bertemu kakaknya.
"Adek?"
Ah, terlambat padahal ia hendak melarikan diri.
Melupakan troli begitu saja, Rama bergegas menghampiri adiknya. "Adek ngapain di sini?" Mendapati keterdiaman dan keengganan, ia menghela napas berat dan menjauhkan tangannya yang sempat memegang lengan Naren. "Kakak minta maaf dan kakak pikir kita harus bicara."
Pikiran Naren buyar seketika. Niatnya yang ingin mengambil selai cokelat berganti menjadi selai blueberry. "Gak perlu. Aku gak mau berurusan sama kakak lagi," balasnya dingin. Rama kira ia tidak lelah mencintai sendirian dan mengejarnya selama bertahun-tahun. Apabila dia berpikir ia akan luluh, maka itu salah besar. Hubungan kakak-adik mereka yang tidak jelas akan dibawa ke mana layaknya layang-layang putus telah berakhir.
Demi Tuhan, Rama memerangi batinnya sendiri yang terus mendesaknya memeluk Naren. Ia ingin tetapi sadar tidak bisa. "Kakak tahu adek marah tapi dengar penjelasan kakak dulu, oke?" Ulu hatinya tercubit dan palu godam bak menimpa dadanya menyadari terdapat percikan bosan di nayanika yang ia kagumi.
"Penjelasan apa lagi? Seharusnya dari awal kakak bilang kakak muak sama aku biar aku juga cepat pergi." Selain dirinya sendiri, tidak ada yang tahu bahwa Naren berusaha keras agar tidak meninggikan suaranya. "Sekarang kakak bebas 'kan? Harusnya kakak senang tapi kenapa masih minta aku buat dengar pembelaan kakak? Buat apa?" tanyanya tak habis pikir, agak menyesal menyukai pria yang kepribadiannya laksana air di atas daun talas.
"Adek―"
"Jangan panggil aku adek! Aku bukan adik kakak!" Didorong rasa sedih dan kecewa, bola mata lelaki seindah sandyakala ini berair. "Jangan cegah pegawai papa buat ambil barang-barang aku di rumah kakak karena aku gak mau lihat kakak lagi!" sentaknya tertahan. Gunung berapi di dalam jiwanya meletus dan lahar panasnya meluluhlantakkan semuanya.
"Rama?"
Bersamaan dengan suara seorang gadis, Harsa menampakkan batang hidungnya. Ia pikir Naren kebingungan menemukan selai cokelat namun ternyata ada hal lain yang menahannya. Ia mengembalikan selai blueberry ke rak kemudian menggandeng Naren pergi, enggan ikut campur.
KAMU SEDANG MEMBACA
What are We? [MarkMin]
Hayran KurguSaling mengenal sejak kecil dan melewati banyak hal bersama tidak membuat Rama menaruh perasaan lebih kepada Narendra, si cantik yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Benarkah atau justru dirinya yang tidak mengerti perasaannya sendiri?