»--07--«

1K 109 92
                                    

Happy Reading 

Sorry for the typo(s)

»--•--«

Rama menarik selimut untuk menutupi kepalanya dari sinar matahari yang menerobos paksa kamarnya melalui tirai. Pagi telah menyapa namun ia enggan beranjak dari tempat tidurnya yang hangat. Seusai menghela napas berat, ia duduk bersandar seraya menyibakkan surainya ke belakang.

Mata bulatnya memandang sisi ranjangnya yang kosong. Tidak dapat disangkal ia merindukan kehadiran Naren di sisinya mengingat tujuh hari yang dijanjikan adiknya sudah terlewati. Semenjak sendiri, lelapnya yang damai menjadi kurang nyenyak. Entahlah, ia hanya merasa kosong dan kesepian.

Sapaan selamat pagi, seulas senyum, dan pelukan erat tidak pernah lagi ia dapatkan. Ia rindu iris madu yang menatapnya sehangat arunika, rindu bibir bak delima yang tersenyum berbisik di dekat rungunya, pun rindu daksa molek nan hangat yang biasanya ia dekap erat.

Lagi dan lagi, pria berpiyama hitam ini menghembuskan napas dalam-dalam. Suara batin yang ia tepis kembali menyelinap tanpa rasa takut, meracuni benaknya yang senantiasa ia reka agar tetap tenang dan jernih―tidak terjebak dalam prasangka ciptaannya sendiri.

Wajar bukan jika Naren pulang ke rumah orang tuanya? Ia tidak berhak menahan lelaki cantik itu supaya tetap tinggal. Kuasanya tidak dapat dibandingkan dengan hak yang dimiliki oleh keluarga Prameswara. Memangnya dirinya siapa berani-beraninya melarang seorang anak pulang ke rumah orang tuanya sendiri?

Hidungnya mengais udara sebanyak-banyaknya, mencari-cari wangi Naren yang barangkali tertinggal meski nyatanya nihil. Ia mengusap kasar wajah kantuknya begitu merasakan jarak di antara mereka kian kentara dari hari ke hari. Jangan berpikir ia tidak menaruh rasa curiga menyadari Naren hanya bisa dihubungi di pagi atau siang hari. Kala di ujung hari dan sang surya berpamitan, Naren sulit diajak bertukar sapa.

Sebenarnya apa yang terjadi?

Tunduk dan kalah oleh rindunya, Rama bergegas meraih ponselnya di atas nakas kemudian menghubungi seseorang yang menjadi alasan gundah melanda dada dan mengacak-acak logikanya. Jarinya mengetuk-ngetuk selimut di sela menunggu dering menyebalkan berakhir, sedikit tidak sabar dan mengutuk waktu yang berjalan lambat. "Adek? Kamu sudah bangun belum?" tanyanya dengan suara yang tidak dapat menyembunyikan rasa senang.

Bukan suara lembut yang telinganya tangkap, melainkan erangan manja yang selalu ia dengar setiap tidur Naren terusik. Ia sontak mematung mendengar suara pria dewasa yang menenangkan adiknya supaya kembali menyambung mimpi. Jantungnya berdetak kacau, tercengang dan menolak percaya. "Adek?" panggilnya, lebih lirih hingga tak disadari oleh lawan bicaranya.

"Tidur lagi, Sayang. Mas gak akan ke mana-mana sampai kamu bangun."

Sebelum pria tak dikenal itu menanggapi, Rama segera mengakhiri panggilan mereka. Ia lantas tertawa, entah menertawakan apa padahal tidak ada yang lucu. Ibarat sebuah bunga, ia menjaga Naren semenjak tunasnya bersemi. Ia tidak pernah mengizinkan lebah atau kupu-kupu manapun hinggap dan memujanya barang sejenak. Pun tidak pernah ia biarkan sembarang orang menyentuhnya.

Sekarang ia mengerti kenapa Naren menjauh. Sudah mempunyai kekasih rupanya.

Senyum yang ia ukir getir maknanya. "Seharusnya adek jujur aja sama kakak. Gak perlu bohong atau sembunyi-sembunyi seperti ini." Ia tahu hari di mana Naren menemukan kebahagiaannya sendiri akan tiba, tetapi kenapa segelintir hatinya tidak rela? 


»--•--«


What are We? [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang