»--05--«

1.1K 120 48
                                    

Happy Reading

Sorry for the typo(s)

⚠️

»--•--«

Rama menggigit bibirnya menyadari penampilan Naren malam ini. "Ganti bajunya, Dek. Pakai piyama aja." Jelas ia keberatan karena Naren mengenakan piyama kemeja yang tak mampu menutupi pahanya. Ia menelan ludahnya saat Naren menggeleng dan justru berputar-putar di depan cermin. "Terus buat apa kamu beli piyama? Masa cuma kakak yang pakai?"

Adiknya yang centil itu gemar membeli baju tidur untuk mereka. Piyama abu-abu tua yang sekarang ia kenakan pun cukup lucu dengan bordiran kepala Pochacco di dada kirinya. Piyama ini mempunyai pasangan yang tak lain adalah milik Naren. Perbedaannya hanya terletak di warna.

"Buat dipakai kakak." Naren berputar sekali lagi sebelum tersenyum manis. Tidak tahu kenapa ia senang sekali. "AC kamar kakak kurang dingin dan kakak tahu sendiri aku gak suka panas."

"Iyaa, besok kakak beli yang baru." Rama membenarkan kacamata yang membingkai manik bulatnya seraya berdehem kaku. "Memangnya kamu gak malu dilihat sama kakak? Baju kamu itu terlalu terbuka, Dek," ujarnya, tetap berusaha supaya Naren mau berganti baju yang lebih tertutup.

Sudut mata Naren mengerut. "Kenapa harus malu? Lagipula cuma kakak yang lihat," balasnya, santai dan pura-pura bodoh. Padahal hati kecilnya sudah berteriak bahwa memang itu tujuan yang sebenarnya. Meski demikian, ia ragu Rama berani melakukan hal-hal yang tidak pantas padanya. Ah, entahlah. Ia tidak mau terlalu keras memikirkannya dan memilih membiarkan bagaimana malam ini berlalu.

Dengan seulas senyum ia menghampiri kakaknya yang duduk bersandar di atas ranjang sembari memangku laptop. "Kerjaan kakak belum selesai?" tanyanya kemudian duduk di sebelah Rama.

"Mm. Kalau ngantuk kamu bobo duluan ya."

"Belum ngantuk kok. Aku mau nemenin kakak sampai selesai." Setelah mengambil ponselnya, Naren menyandarkan kepalanya di bahu yang lebih tua. Nyaman sekali rasanya ditambah aroma tubuh Rama yang segar merebak ke indera penciumannya. Sepuluh menit ia lewati dalam hening sehingga bosan mulai melanda. "Aku pinjam hp kakak boleh?"

"Iya."

Naren pun bergegas mengambil ponsel Rama. Bibir serupa lotus miliknya sukses mengerucut dan keningnya mengernyit tidak suka. Ia sadar dirinya tidak berhak kesal atau melarang namun lumayan sulit menyangkal rasa cemburu yang bertonggok di hatinya tanpa diundang. "Aruna siapa, Kak?"

"Relasi."

"Relasi kok tanya sudah makan atau belum, habis makan malam ada waktu atau engga, dan besok bisa ketemu jam berapa?" Naren mencebik dan alih-alih berhenti menelusuri pesan-pesan di ponsel Rama, ia tetap meneruskannya kendati gerutuan tidak pernah absen terucap dari mulutnya.

Tenang saja. Toh Rama tidak peka sehingga pria jelek ini tidak akan mengerti.

"Erisha juga relasi?"

"Mm."

"Aku juga sering tanya begitu dan apa aku juga relasi kakak?"

Sudut bibir sang dominan tertarik ke atas, tidak habis pikir kenapa pertanyaan tersebut bisa-bisanya singgah di otak adiknya. "Bukanlah. Kamu itu adiknya kakak." Sesaat ia berhenti mengetik lalu mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut kepala Naren. "Mereka tanya seperti itu buat bahas kerjaan, Adek. Jadi, gak usah berpikir yang macam-macam," tuturnya, menyingkirkan prasangka yang barangkali berkeliaran di benak si manis.

"Mereka cantik."

"Kamu juga cantik dan selalu cantik."

Semburat kemerahan terlukis di pipi gembil seseorang yang baru saja dipuji cantik. Semestinya ia tidak perlu tersipu malu karena Rama sering memujinya. Tetapi tidak dapat dipungkiri jantungnya berdebar sangat kencang ketika Rama menatapnya seteduh senja dengan senyum kecil yang terpatri. Aduh, sepertinya jantungnya sudah terjun bebas ke perut sebab napasnya tertahan di tenggorokan.

What are We? [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang