Happy Reading
Sorry for the typo(s)
»--•--«
"Ke rumah sakit aja ya, Mas?"
Naren menghela napas lelah sebab lagi-lagi bujuk rayunya menuai kegagalan. Siapa yang tidak terkejut kepulangannya disambut oleh pemandangan bos mesumnya terbaring sakit? Ia pikir orang pongah seperti Harsa ditakuti oleh penyakit, namun ternyata bisa tumbang juga. "Aku gak jadi pulang deh," putusnya.
Harsa membuka sedikit matanya. "Kenapa?" tanyanya bingung. Padahal ia tidak keberatan apabila Naren pulang ke rumah orang tuanya. "Pulang aja. Mas gak mau pandangan papa atau papi kamu berubah sama mas."
"Kamu 'kan lagi sakit, Mas." Naren tidak mungkin meninggalkan Harsa seorang diri di tengah kondisinya yang tidak berdaya. Terlebih Harsa merawatnya sewaktu dirinya kurang sehat sehingga ia ingin balas budi. Ia tidak mau menyisakan utang yang belum terbayar supaya tidak menjadi beban. "Sudah minum obat?"
Alih-alih menjawab, Harsa justru menyinggung perkara yang sangat Naren hindari untuk sementara waktu. "Hebat juga ya. Gara-gara gak sengaja ketemu, kamu jadi lebih perhatian sama mas."
"Maksudnya?"
"Yang kemarin siapa? Pacar kamu?"
Dahi Naren mengerut, merasa lawan bicaranya telah melewati batas. Baiklah, seandainya Harsa cepat membaca situasi, itu diluar kendalinya. Tetapi untuk bertanya perihal siapa atau bahkan lebih, ia rasa tidak pantas. "Mas gak berhak tahu."
"Mas harus tahu. Kalau itu pacar, tunangan atau suami kamu, kesepakatan kita batal. Mas gak mau jadi perusak hubungan orang." Merasa akan bersin, Harsa segera menutup mulut dan hidungnya. "Dan kalau memang gak ada ikatan apapun, kamu tetap di sini. Sekarang mas tanya dia siapa?"
Serta-merta Naren menunduk dan merenung, menimbang-nimbang harus memberitahu atau tidak. Ia pikir itu tidak perlu lantaran dirinya enggan Harsa merambah ke hidupnya lebih jauh dari sekadar atasan. Seusai beberapa menit membisu, ia menjawab pelan. "Kakak aku."
Benar bukan? Rama hanyalah kakaknya, bukan pasangannya.
Harsa mengangguk-angguk. Meski tidak sepenuhnya yakin, ia memilih menyetujuinya dulu sebelum mencari informasi sendiri. Ia lantas meraih tangan kanan si cantik untuk digenggam. "Maafin mas, ya? Harusnya mas juga minta izin sama dia buat bawa kamu ke sini. Kakakmu mungkin tersinggung karena mas cuma minta izin sama papi," jelasnya yang membuat Naren mengernyit tak paham.
"Mungkin―Maas jangan dicium ih!" Naren mengusap punggung tangannya pasca dicium bibir panas yang lebih tua. Jika lupa pelakunya sedang sakit, telah dipastikan ia memukul kepalanya sekencang mungkin. "Kenapa ketawa?!"
"Nah, ini baru kamu yang sukanya marah-marah." Harsa memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri lalu membenarkan letak selimut yang tak benar-benar menyelimutinya. "Temenin mas bobo dong, Na. Dingin banget."
"Gak mau ah. Nanti aku ketularan."
"Kamu pikir mas sakit gara-gara ketularan siapa?"
"Yang jelas bukan aku. Mas sakit 'kan baru kemarin sedangkan aku sudah sembuh."
Cengiran sang dominan terlihat. "Ketularan Bayu, sih, sebenarnya."
"Gak heran soalnya mas sama Bayu sering berdua. Kalau kalian pacaran aku juga gak akan kaget." Naren menahan senyum saat Harsa menatapnya sengit. Jangan mengira ia takut atau merasa tidak enak, ia justru semakin gencar menyudutkan Harsa. "Kenapa? Aku lihat-lihat mas sama Bayu cocok."
"Mas sukanya sama yang cantik seperti kamu. Besok cari sekretaris baru deh biar kamu gak lihat mas sama dia lagi."
"Dipecat maksudnya?" Tanpa sungkan Naren menjewer telinga Harsa sampai empunya mengaduh sakit. "Gak usah. Aku suka kok lihat Bayu. Tinggi, ganteng, terus juga sopan."
KAMU SEDANG MEMBACA
What are We? [MarkMin]
FanfictionSaling mengenal sejak kecil dan melewati banyak hal bersama tidak membuat Rama menaruh perasaan lebih kepada Narendra, si cantik yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri. Benarkah atau justru dirinya yang tidak mengerti perasaannya sendiri?