»--04--«

1K 118 51
                                    

Happy Reading

Sorry for the typo(s)

»--•--«

"Dek, belum mau keluar?"

Narya menghela napas berat karena lagi-lagi yang ia dapatkan adalah kebisuan, yang artinya putra semata wayangnya itu masih betah mengurung diri di dalam kamar. Entah apa yang terjadi seusai menginap di rumah Rama.

"Papi!"

Napas Rama sambar-menyambar, membuktikan ia sangat terburu-buru dan ingin cepat sampai. "Adek gimana? Belum mau keluar?" tanyanya di tengah menstabilkan pernapasannya.

Narya menggeleng. "Kakak sama adek berantem?" Dari kecil alasan Naren merajuk tidak pernah jauh-jauh dari Rama; Rama yang mengabaikannya, tidak mengajaknya bermain, lebih mempedulikan Raja, melupakannya, terlalu sibuk bekerja, dan masih banyak lagi. Jadi, ia sudah tidak heran. "Atau adek ngambek gara-gara permintaannya gak dituruti sama kakak? Kalau iya biarin aja. Gak usah dibujuk."

"Bukan gitu, Pi."

"Gak apa-apa, Kak. Jujur aja. Lain kali kalau adek minta dibeliin ini atau itu, kakak tolak ya? Jangan dimanjain terus adeknya. Nanti sifat manjanya gak hilang-hilang. Papi sama papa lhoo gak enak sama kakak. Bukan siapa-siapa tapi adek ngerepotin kakak terus." Selesai menumpahkan unek-uneknya, Narya menepuk bahu Rama dan melenggang pergi. Kepalanya pening memikirkan tingkah laku Naren yang selalu mencari perlindungan kepada Rama atau keluarga Arjuna.

Rama menelan ludahnya. Untungnya papinya tidak tahu di mobilnya terdapat tujuh tas belanja dan buket bunga. Membujuk Naren tidak bisa hanya membawa diri atau tangan kosong tetapi harus menyertakan hadiah―lebih tepatnya sesajen. Ia pun mengetuk pintu. "Adek, buka pintunya. Ini kakak." Samar-samar gendang telinganya mendengar Naren menyuruhnya pulang. "Kakak mau lihat kamu sebentar baru kakak pulang. Buka pintunya ya?"

Ia menghela napas sewaktu mencoba memutar gagang pintu. "Tas putih yang kamu mau gak ada dan sebagai gantinya kakak beli yang warna hitam. Kalau tetap gak suka, ayo kita belanja. Kamu bebas beli apapun. Kamera yang kamu tunjukkin ke kakak dua hari yang lalu ada di mobil kakak sekarang. Oh iya, gelang yang kemarin lupa kakak beli juga sudah ada."

Ia kembali mengetuk pintu namun tetap tidak ada jawaban. "Oke, kakak hitung mundur. Kalau sampai hitungan ketiga pintunya masih dikunci, kakak dobrak," imbuhnya, berpura-pura menggertak. Belum sempat ia menghitung, pintu putih di depannya ini terbuka dan enggan membuang banyak waktu, ia bergegas masuk ke dalam. "Kenapa ditutup selimut? Kakak bisa gak lihat kamu."

Dari ujung rambut sampai kaki, tubuh Naren memang diselimuti selimut. "Aku lagi jelek makanya kakak gak boleh lihat aku," jawabnya sembari berjalan menuju ranjang meski sedikit kesulitan dan berusaha agar tidak tersandung. Telunjuknya mengusap ujung hidungnya yang agak perih akibat sering digesek tisu sejak semalam.

"Kamu cantik."

"Iya, aku tahu tapi hari ini aku jelek."

Rama menggeleng dan menahan bahu yang lebih muda. Dengan paksaan kecil, ia berhasil melepaskan selimut dari badan Naren kemudian menangkup wajahnya. "Jelek dari mananya, sih? Kamu selalu cantik," pujinya jujur. Mau bagaimanapun Narennya, akan selalu cantik di matanya. Ia mendekatkan wajahnya, hendak memperhatikan sepasang manik Naren yang tampak sembab. "Kamu kenapa?" Dahinya sukses mengernyit ketika yang ditanya terdiam dan termangu. "Adek?"

Naren sendiri sedang perang batin. Otaknya lantang menolak niatnya yang ingin mencium Rama tapi sudut hati terdalamnya mengatakan tidak apa-apa asal mimpinya terwujud. Pandangannya jatuh ke bibir tipis Rama sebelum tepukan di pipinya membuatnya tergemap. Tanpa diundang semburat merah jambu hadir di pipinya yang tersipu. "Aku... Aku baik!"

What are We? [MarkMin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang