Mas Raden : Mantu

186 34 9
                                    




Raden melirik kearah Janu yang sedang sibuk dengan ipad pemberiannya. pemuda itu terlihat sangat serius dengan alis yang mengkerut dan bibir yang mengerucut. sebenarnya bukan hal yang baru melihat Janu memasang ekspresi seperti itu mengingat sudah hampir satu bulan Janu bekerja dengannya.

Raden akui, Janu merupakan orang yang cepat tanggap dan mampu memahami sesuatu dengan cepat. mungkin kalau Janu dimasukkan kedalam sebuah universitas terkenal, ia akan mendapat gelar dengan mudah menggunakan otak pintarnya.

ah, jangankan gelar sarjana, pemuda berlesung pipi itu bahkan dengan mudah mendapatkan hatinya yang beku itu.

satu bulan bukanlah waktu yang cepat untuknya dan Janu yang terhitung sebagai 'orang lain' awalnya. dan satu bulan dianggap kurang meyakinkannya jika apa yang ia rasakan adalah rasa lebih dari sekedar peduli antar sesama.

apakah semua yang ia rasakan selama ini pada Janu hanyalah rasa kagum belaka? melihat betapa cerdas dan cekatan Janu dalam mengerjakan tugasnya. bahkan training yang Raden perkirakan akan berjalan sampai tiga bulan pun sudah selesai dalam dua minggu berkat kecepatan Janu dalam belajar dan memahami hal baru.

"hah.." desah Raden lelah.

"ada apa mas? capek? saya pijat, ya?"

Raden yang baru saja mengurut dahinya pun menoleh kearah Janu dan mengangguk kecil, "tolong pijat bagian kepala ya Janu. kepala saya berat" keluh Raden sembari memejamkan matanya.

Janu pun tidak menunggu lama segera mendekat kearah bossnya dan membungkuk di depannya. ia mengarahkan jemari lentiknya untuk mengurut dahi Raden yang lumayan hangat.

"mas ngga enak badan, ya? Janu buatin wedang jahe ya?—"

"ga-gausah. kamu disini aja, duduk sini" potong Raden sembari menepuk paha kokohnya. dan hal itu sontak saja membuat wajah Janu memerah.

"m-mas serius? Janu berat lho ma—"

sreett

bruk!

"jangan kamu kira badan mas kerempeng begini gabisa pangku kamu" gumam Raden sembari memeluk pinggang asistennya itu dan mendusalkan wajahnya di ceruk leher Janu.

Janu yang 'ketempelan' orang kaya itu pun hanya bisa pasrah dan duduk diam sembari mengelus lengan Raden yang melingkar di pinggangnya. ia rasa, Raden benar-benar sakit. hembusan nafas dari Raden terasa hangat dan suhu tubuhnya mulai naik.

"mas, makan dulu ya. sebentar lagi jam makan siang, habis itu minum obat terus pulang. biar nanti Janu sama mbak Rani yang ngurus lainnya"

"hnggg, gamau. gausah, kamu pulang juga. kita di kostan kamu" racau Raden dengan rengekan kecil.

Janu ternganga melihat kelakuan Raden yang jauh berbeda dari biasanya. entahlah, Janu rasanya ingin sekali mencubit pipi Raden yang sempat menggembung kesal tadi. pemuda tampan itu terlihat sangat menggemaskan saat sakit seperti ini.

"yaudah kalau begitu, Janu hubungi mbak Rani dulu. biar siapin mobil, ya?"

setelahnya hanya anggukan yang Janu terima disertai dengan pelukan yang dipererat.


--



Janu tersenyum tipis ketika melihat ibu Raden yang datang ke kostannya setelah ia melaporkan apa yang terjadi pada anak semata wayangnya itu.

"ya ampun, udah mami bilangin gausah lembur-lembur. ngeyel terus! jadi ngerepotin nak Janu 'kan?!" omel wanita cantik itu di samping anaknya yang masih tertidur tenang dengan kompres kain di kepalanya.

"duh, maaf banget ya nak Janu. mas Raden jadi ngerepotin kamu"

Janu yang mendengan itu seketika menggeleng keras dan mengibaskan tangannya di depan, "ah engga kok bu, engga ngerepotin"

"tetep aja, kamu harus urus dia ini itu. saya juga tau kalau Raden lagi sakit manjanya minta ampun, haduhh"

keluhan dari ibu Raden mengingatkan kembali pada kejadian yang sempat terjadi sebelum ia membawa masuk Raden ke kostannya. pipi Janu seketika merona parah saat mengingat hal itu.

bagaimana tidak?

bisa-bisanya Raden mengecupi pipi chubbynya dan berujar bahwa ia suka pada Janu. untung saja kostan tidak ramai dan ia dibantu Rani untuk memasukkan Raden kedalam kostnya

"dasar anak nakal. udah gede bukannya—eh? nak Janu kenapa? sakit juga? ketularan mas Raden?"

Janu tersadar dari lamunannya.

"e-eh engga bu!"

ibu dari Raden itu memicing kemudian tersenyum menggoda, "kamu pacaran sama mas Raden ya?"

kedua mata bulat Janu langsung membola kaget.

"lhoh? bu saya—"

"euh, mami berisik deh"

rintihan kecil dari Raden menghentikan obrolan antara wanita cantik dan pemuda lucu tadi. Raden memfokuskan pandangannya, lalu mengedarkan pandangannya dan menyentuh dahinya.

"akhirnya bangun juga. kamu tuh ya, ngerepotin Janu terus. belum jadi istri juga udah ngerepotin terus"

Raden mengerutkan dahinya bingung, "maksud?"

Janu menggeleng keras sembari menyilangkan tangannya pada Raden. Raden yang tersadar akan apa yang terjadi pun berdeham kemudian mendudukkan diri.

"ah, Janu ya. ya 'kan.. latihan dulu ma. nanti biar kalo udah jadi suami-istri ga kaget" ujar Raden yang mengundang dua ekspresi berbeda dari dua manusia di dekatnya itu. maminya yang memekik senang dan Janu yang jawdrop dengan wajah yang merona malu.

"tuhkan! aduh, udahlah ini fix mami bentar lagi punya mantu"

Raden terkekeh kecil lalu melirik kearah Janu yang gugup.

sedangkan Janu sendiri tengah mencoba untuk menahan senyumannya dan menepuk-nepuk pipinya yang masih betah merona.

"pantesan kamu nolak pilihan papi kemarin, ternyata udah punya"

Raden menggaruk kepalanya, "ya gitu deh. mami udah tau kan sekarang kenapa mas gamau dijodohin?"

ibu dari Raden itu mengangguk dan memasang senyum lebarnya.

"yaudah kalau gitu, kalian pacaran dulu. eh, kamu udah sembuh kan, mas?"

"udahlah mi, kan diobatin pacar"

Janu yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan akhirnya menatap Raden dengan kesal dan dibalas dengan tawa geli.








tbc.

uwuwuwuw. btw aku lupa kasi visualisasi Maharani juga Hanna ya kemarinn.

Maharani itu mbak moonbyul, terus Hanna itu mbak hwasa gaisss 😁

btw, lanjut ga nieehh

Mas Raden 'renjae' Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang