Chapter 06

22 7 0
                                    

~~~HAPPY READING, READERS~~~,

♡♡♡

Jangan lupa vote!

Tinggalkan komen dan saran.

Ceritanya memang kurang nyambung, hehe, maklumin ya, guys, karena ini masih yang pertama. Iya kan???

[Chapter 06- Fraktur Emosi]

♣︎♣︎♣︎

.
.
.
.

  Bau obat-obatan yang menyengat memenuhi ruangan, menguasai setiap tarikan napas wanita yang perlahan membuka mata. Cahaya yang masuk terasa terlalu terang, menusuk hingga ia mengerjap, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia nyata yang tiba-tiba terasa begitu asing. Di hadapannya, ruangan putih rumah sakit tampak steril, dingin, seolah tak mengizinkan kehangatan masuk. Mesin-mesin medis berdengung pelan, menjaga kehidupan yang terbaring lemah.

"Eungghh..."

Sebuah lenguhan lirih keluar dari bibir wanita itu, suaranya serak dan lemah. Jasmine, yang duduk di dekat ranjang, langsung tersentak berdiri. Matanya memerah, antara cemas dan lega.

"Ya ampun, Sayang... Syukurlah kamu sadar. Tunggu sebentar ya, Kakak panggilin dokter dulu." Suaranya bergetar, namun ia berusaha tetap tenang. Dengan cepat, Jasmine meraih nurse call dan menekannya, tak ingin membuang waktu.

Tak lama, Samuel memasuki ruangan bersama seorang perawat. Wajahnya serius, matanya langsung tertuju pada wanita yang terbaring di atas ranjang. Namun langkahnya terhenti ketika suara keras tiba-tiba menghantam udara, memecah ketenangan yang ada.

"KELUAR!"

Samuel terhenti di tempat. Tatapannya bertemu dengan mata dingin Zelva. Tidak ada sisa kelembutan atau kelemahan di sana—hanya kemarahan yang terpendam. Suasana berubah drastis, menggelap seiring dengan ketegangan yang menggantung di udara.

"Zelva... kamu sadar?" Samuel tergagap, kaget oleh nada mengintimidasi yang tak pernah ia duga keluar dari mulut adik iparnya.

"KELUAR! DOKTER JASMINE NINDHIATAMA PARAMITA!" Suara itu meledak seperti petir di tengah keheningan. Jasmine membeku, terkejut oleh serangan verbal yang tiba-tiba datang dari adiknya. Mata Zelva menyipit, penuh kebencian yang sulit dijelaskan.

"Anak emas Mama dan Papa!" desis Zelva dengan suara tajam, penuh perasaan terluka. Setiap kata seperti pisau yang mengiris ke dalam, menyayat hati Jasmine. Ia tak mampu berkata apa-apa. Luka yang ditinggalkan terlalu dalam, menyisakan hanya rasa hancur. Dengan berat hati, Jasmine akhirnya meninggalkan ruangan, punggungnya terlihat lebih ringkih dari sebelumnya.

Samuel berusaha menenangkan dirinya, beralih ke mode profesional. "Zelva, aku harus memeriksa kondisimu dulu, ya." Suaranya bergetar halus, tapi ia tetap mendekat, mengenakan stetoskopnya. Saat ia melakukan auskultasi, tatapan Zelva tak lepas darinya, seolah ingin menelanjangi setiap pikirannya. Ada sesuatu yang patah di balik mata itu, bukan hanya kemarahan, tapi juga ketakutan yang dalam.

"TTV-nya mulai stabil, Dok, tapi saturasi oksigennya masih rendah, 90%," lapor perawat yang berdiri di sampingnya. Samuel mengangguk ringan, pikirannya terbagi antara data medis dan kondisi mental adik iparnya.

Saat perawat pergi, ruangan terasa sunyi kembali. Tanpa diduga, Zelva tiba-tiba menggenggam tangan Samuel erat, isak tangis mulai keluar dari bibirnya. "Kak... semalam Ka-kak di mana? Ma-ma... ma-mama mau bu-bunuh aku!" Suaranya pecah dalam kesedihan yang tak tertahan. Tangannya gemetar, memegang lengan Samuel seolah hidupnya tergantung di sana.

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang