[Chapter 01— Prolog]
.
.
.
.Ting...
Gema notifikasi yang tiba-tiba menggema membuyarkan lamunannya. Seorang wanita muda, dengan tatapan penuh harap, mengarahkan pandangannya pada layar ponsel yang redup. Ia menanti pesan balasan yang tak kunjung datang. Pikirannya dipenuhi tanda tanya, namun yang menjawabnya hanyalah hening malam yang semakin larut.
Waktu kian merangkak menuju tengah malam, dan rasa cemas di dadanya semakin menguat, perlahan menimbulkan desakan untuk bertindak. Dia merasa bahwa dirinya tidak bisa lagi sekadar menunggu.
Dengan langkah cepat dan gelisah, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah kos, tempat orang yang selama ini dekat dengannya tinggal. Setiap langkahnya diiringi oleh perasaan tak tenang yang menyusup diam-diam, seakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kecemasan biasa. Ketika tiba di gerbang kos, ia langsung menemui ibu kos untuk meminta kunci cadangan. Ia tahu, atau lebih tepatnya merasa yakin, bahwa kamar itu pasti terkunci. Ada firasat yang terus berbisik bahwa malam ini akan berbeda, malam yang akan mengubah segalanya.
Dengan berbekal kunci cadangan, ia berjalan perlahan melewati lorong sempit dan sunyi, menuju kamar bernomor 004. Setiap langkah yang ia tapaki terasa semakin berat, meski udara di lorong itu sejuk dan tenang. Sesampainya di depan pintu kamar, ia memasukkan kunci dengan hati-hati. Suara klik dari dalam kunci terdengar samar di tengah keheningan. Dengan satu tarikan napas panjang, ia memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan, berharap menemukan sesuatu yang dapat menenangkan kekhawatirannya.
Brakk!
Pintu terbuka, dan saat itu juga pandangannya terhenti pada sesuatu yang membuatnya tercekat. Di tengah ruangan, dalam keremangan yang hanya diterangi sinar redup dari jendela, sebuah kursi terjungkal tergeletak tak jauh darinya. Keringat dingin mulai merayap di tengkuknya, dan dengan tangan gemetar, ia meraba dinding untuk mencari saklar lampu. Begitu lampu menyala, sebuah pemandangan tak terduga memenuhi retina matanya.
Di sana, di tengah ruangan, tubuh seseorang tergantung dengan posisi kaku dan pucat. Kakinya bergoyang perlahan karena pergerakan pintu yang baru saja terbuka. Seketika, jeritan pilu keluar dari mulutnya, menggema di lorong kos yang sunyi, menarik perhatian beberapa penghuni kos lain yang masih terjaga. Dalam sekejap, lorong kos yang sebelumnya sunyi kini mulai dipenuhi orang-orang yang kebingungan, wajah mereka menyiratkan keheranan yang bercampur ketakutan.
Dengan sigap, wanita muda itu bergegas mendekat, mencoba menahan tubuh yang tergantung itu. Ia meraih tangan dan bahu, berusaha menahan agar tali di leher tidak semakin menjerat. Orang-orang di sekitarnya segera ikut membantu, melepaskan ikatan yang membelit erat leher sosok yang kini sudah sangat pucat. Napasnya tersengal, namun tekadnya bulat—ia tidak ingin menyerah, tidak sebelum ia memastikan bahwa semua yang bisa dilakukan sudah dilakukan.
Setelah tubuh itu berhasil diturunkan, ia langsung memulai resusitasi jantung paru. Setiap tekanan yang ia lakukan di dada terasa seperti perjuangan yang berat, tetapi harapan dalam hatinya belum padam. Ia terus melakukan resusitasi, berusaha mengembalikan nyawa yang terasa semakin jauh dari genggamannya.
“Cepat, panggil ambulans!” serunya panik, matanya memohon bantuan dari siapa pun yang ada di situ.
Salah satu penghuni kos langsung mengeluarkan ponselnya, menelepon nomor darurat dengan tangan gemetar. Mereka semua terdiam, terpaku, hanya suara wanita muda itu yang terdengar, mengiringi upayanya yang gigih meskipun peluh sudah mengalir di keningnya.
Beberapa menit yang mencekam berlalu, hingga suara sirine ambulans terdengar semakin mendekat, memecah keheningan malam yang membeku. Bagi mereka yang mendengar, suara sirine itu terasa menusuk telinga, namun bagi wanita itu, itu adalah suara yang membawa secercah harapan, satu-satunya hal yang ia pegang di tengah situasi yang penuh ketidakpastian ini.
Tim medis tiba dengan langkah cepat, melewati kerumunan penghuni kos yang berdiri di pintu dengan wajah tegang. Mereka segera mengambil alih, melanjutkan resusitasi dengan peralatan yang lebih lengkap, sementara wanita muda itu mundur, terdiam dengan tangan gemetar yang masih mengingat sentuhan dingin kulit yang tadi ia sentuh. Semua mata tertuju pada tubuh yang terbaring, saat tim medis bersiap membawa sosok itu ke rumah sakit.
Di malam yang dingin itu, lorong rumah kos dipenuhi dengan tatapan khawatir, menyaksikan tubuh yang tergantung di antara hidup dan mati, dan seorang wanita yang kini hanya bisa berdoa bahwa semuanya belum terlambat.
———
.
.
.TBC
Ini baru prolog aja dulu, nggak sih?
Ini permulaan yang berantakan ya, Readers. Info dong kalau kalian menemukan typo atau kesalahan penulisan, ya!Jangan lupa vote, tinggalkan komen, dan saran.
Sampai ketemu di part selanjutnya, gaisss!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenopsia
Random"Tempat-tempat yang pernah hidup kini sepi, menyisakan hanya kenangan dan keheningan yang menggema." ~~~{Zelva Anindhita Paramita}~~~ ×××××××××××××××××× "Kehilangan mungkin menyakitkan, tetapi cinta yang telah kita bagi ak...