[Chapter 08- Antara cinta dan luka]
.
.
.
.Flashback on
Dua anak kecil perempuan berlarian riang di tengah derasnya hujan, kaki-kaki mungil mereka memercikkan air di halaman belakang panti asuhan tempat mereka diasuh sejak kecil. Gelak tawa mereka bergema, mengisi udara dengan kebahagiaan yang begitu murni, seolah tak ada beban yang mereka bawa di dunia ini. Tanpa mereka sadari, seorang wanita paruh baya memperhatikan mereka dari kejauhan, tersenyum lembut, namun memilih untuk tak mendekat. Bagi wanita itu, melihat kebahagiaan sederhana di wajah anak-anak tersebut adalah keajaiban tersendiri.
Tiba-tiba, langit bergetar.
Ctarr!
Petir menggelegar memecah keceriaan, membuat kedua bocah itu tersentak ketakutan. Mereka terjatuh dan saling merapat, memeluk erat di bawah guyuran hujan, tubuh kecil mereka gemetar.
“Sayang, ayo kita masuk, ya,” panggil wanita paruh baya itu dengan suara lembut namun tegas. “Hujannya makin deras, nanti kalian bisa sakit. Kita masuk dulu, ya. Nanti mandi, ibu siapin pakaian dan buatkan susu hangat, kalian mau, kan?”
Sejenak, bocah-bocah itu terpaku, tapi segera setelah mendengar tawaran susu hangat, wajah mereka cerah kembali. “Mauuu, Ibu!!” seru mereka serempak, berlari kecil menuju kamar untuk bersiap mandi.
Setelah selesai, mereka keluar dengan pakaian bersih yang sudah disiapkan, terlihat begitu mandiri untuk usia mereka yang masih begitu muda, hanya empat tahun. Tawa ceria mengalir lagi, seakan tidak ada luka di hati mereka. Mereka tak menyadari kenyataan pahit yang membuat mereka harus tinggal di tempat ini—tempat yang penuh kasih, namun tetap bukan rumah sejati.
"Sayang, habis ini ikut ibu ya, ada yang ingin bertemu denganmu,” ujar wanita itu pada salah satu bocah yang masih memegang gelas susunya, matanya berbinar penuh ketenangan.
“Kok aku nggak diajak, Bu?” protes bocah lainnya dengan suara cadelnya yang menggemaskan.
“Iya, Sayang, nanti ya. Lia bobo dulu di kamar. Besok gantian, ibu ajak Lia,” jawab wanita itu lembut sambil mengecup puncak kepala Lia, lalu bergegas keluar kamar.
***
Sore itu, wanita paruh baya itu duduk di ruang tamu panti, berhadapan dengan seorang wanita anggun bernama Irene. Di samping Irene duduk seorang pria, wajahnya menampilkan kehangatan yang terasa asing bagi bocah perempuan kecil yang ada di sebelah nya
“Maaf, Irene, aku agak terlambat. Aku harus menenangkan Lia dulu,” ucap wanita itu sambil melirik bocah kecil di sebelahnya yang mendekap erat lengannya.
“Tidak apa-apa, Rat. Oh, perkenalkan, ini suamiku,” Irene mulai memperkenalkan, namun suaranya tiba-tiba melunak saat pandangannya jatuh pada bocah kecil di samping wanita itu. “Ah, betapa cantiknya kamu, Sayang.” Irene mencoba mengelus pipi si bocah, tapi tangan kecil itu dengan cepat menepisnya.
"Va, ngga boleh gitu, Sayang," bisik sang ibu lembut, berusaha menenangkan si bocah yang kini semakin mendekapnya erat.
Irene tersenyum kaku namun tetap mencoba mendekati. “Sayang, kamu mau ikut tante nggak? Nanti kita beli mainan banyak sekali…”
Bocah itu menatap Irene tajam, mata polosnya mengerjap. “Aku nggak kenal sama tante. Kata ibu nggak boleh ngomong sama orang asing,” jawabnya dengan polos namun menyentak hati Irene.
“Sayang, kemarin katanya pengen dipeluk sama papah, kan? Itu papah, Sayang, dan ini Mama Irene.” Suara ibunya penuh kelembutan, berusaha memberi pemahaman pada si kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenopsia
Random"Tempat-tempat yang pernah hidup kini sepi, menyisakan hanya kenangan dan keheningan yang menggema." ~~~{Zelva Anindhita Paramita}~~~ ×××××××××××××××××× "Kehilangan mungkin menyakitkan, tetapi cinta yang telah kita bagi ak...