Chapter 09

14 7 1
                                    

[Chapter 09- Menggenggam harapan]

.
.
.
.

  Detak jantung Zelva berdengung keras di telinga Amel saat ia menunggu di luar ruang resusitasi. Tim medis bergerak cepat, berbicara dengan sigap dan tegas, mengawasi setiap perubahan yang terjadi pada tubuh sahabatnya. Amel merasakan jantungnya berdebar tidak karuan, seolah setiap detak dari monitor jantung Zelva juga menjadi detak jantungnya sendiri.

Ia tidak bisa menahan bayangan buruk tentang apa yang mungkin terjadi jika Zelva tidak berhasil. Setiap menit terasa seperti seabad, dan Amel merasakan beban berat di dadanya. Di sisi lain, Ratih tak henti-hentinya berdoa, matanya menatap pintu yang tertutup, berharap bisa mendengar suara anaknya kembali.

“Mel,” Ratih akhirnya memecah keheningan, suaranya bergetar. “Ka-kalau ada yang terjadi padanya… i-ibu nggak tahu harus melakukan apa.”

Amel memandang Ratih, merasakan kepedihan yang mendalam dalam kata-katanya. “Bu, kita harus tetap berharap. Zelva sudah melewati banyak hal. Dia kuat. Dia bisa melakukan ini,” katanya, meskipun hatinya penuh keraguan.

Tak lama kemudian, pintu ruang resusitasi terbuka, dan seorang dokter keluar. Amel dan Ratih langsung berdiri, hati mereka berdebar penuh harapan dan ketakutan. Dokter itu mengenakan masker, tetapi ekspresi wajahnya bisa terbaca, ada nada serius dalam suaranya.

“Zelva dalam kondisi kritis,” kata dokter itu. “Kami telah melakukan intubasi untuk membantunya bernapas. Kami perlu memantau lebih lanjut, dan kami akan melakukan serangkaian tes untuk menentukan penyebab sesaknya.”

Amel mengangguk, berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan. “Apa dia akan baik-baik saja?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.

“Sekarang kami perlu menstabilkannya. Kami akan melakukan yang terbaik, tetapi kita harus bersiap untuk segala kemungkinan,” jawab dokter itu, menjelaskan tanpa memberi harapan yang terlalu tinggi.

Ratih meremas tangannya, air mata kembali mengalir di pipinya. “Tolong, Tuhan… jangan ambil putriku,” bisiknya pelan, merasakan betapa hancurnya hidupnya jika harus kehilangan Zelva.

Amel merasakan kepedihan dalam hati Ratih dan berusaha memberikan dukungan. “Ibu, kita harus tetap kuat. Kita harus percaya bahwa tim medis akan melakukan yang terbaik. Kita di sini untuk Zelva.”

Setelah beberapa saat menunggu, tim medis kembali bergerak ke dalam ruang resusitasi, meninggalkan Ratih dan Amel di luar, berjuang melawan ketidakpastian. Waktu berlalu begitu lambat, dan setiap detik yang berlalu membuat perasaan cemas semakin menumpuk.

Kemudian, setelah beberapa jam yang terasa seperti selamanya, pintu kembali terbuka. Dokter yang sama keluar, dan kali ini wajahnya sedikit lebih tenang. “Kami berhasil menstabilkan kondisi Zelva. Dia masih dalam pemantauan ketat, tetapi sekarang dia lebih baik. Anda bisa menunggu di ruangan menunggu.”

Mendengar berita itu, Ratih merasakan beban berat sedikit terangkat dari bahunya. “Terima kasih… terima kasih banyak,” ujarnya, suaranya terisak penuh rasa syukur.

Amel merangkul Ratih, memberikan kekuatan di tengah momen penuh harapan yang rapuh ini. “Kita akan bertahan, Bu. Kita akan ada untuk Zelva. Dia butuh kita sekarang lebih dari sebelumnya,” katanya.

Mereka berdua berjalan ke ruang tunggu, di mana suasana masih terasa tegang. Amel terus berpikir tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam pikirannya, ada tekad untuk memperjuangkan Zelva dan memastikan bahwa ia mendapatkan semua dukungan yang ia butuhkan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang