Chapter 02

71 13 0
                                    

~~~HAPPY READING, READERS~~~

---

?????

?

Jangan lupa vote.

Tinggalkan komen dan saran.

[Chapter 02- Coronary Artery Disease]

.
.
.
.

_Author PoV_

17.00

  Di sebuah restoran yang ramai oleh canda tawa dan suara piring yang beradu, dua sosok duduk berhadapan, terpisah oleh meja kecil di antara mereka. Di balik senyum tipis yang disembunyikan, ada sesuatu yang tak terucap—sesuatu yang tergantung di udara di antara mereka.

"Zel, kenapa kamu ngelakuin itu lagi?" Alva, seorang dokter bedah yang terbiasa mengendalikan rasa takut di ruang operasi, kali ini suaranya terdengar rapuh. Tangan besarnya yang kuat namun lembut, menggenggam pergelangan tangan wanita di hadapannya.

  Zelva menunduk, menghindari tatapan mata yang penuh kekhawatiran. "Maaf, Al..." suaranya pelan, hampir seperti bisikan yang tenggelam dalam kebisingan restoran.

  "Zelva, jangan gitu lagi." Alva menarik napas panjang, berusaha meredam gelombang emosinya. "Aku nggak bisa lihat kamu sakit lagi. Semua ini udah cukup—semua rasa sakit yang kamu tahan. Aku nggak mau kamu kesiksa lebih dari ini." Suaranya terdengar putus asa, genggaman tangannya makin erat seakan takut kehilangan.

  Zelva tersenyum kecil, walau matanya masih menyiratkan lelah. "Alva, aku kuat kok. Aku di sini sekarang, kan? Bersama kamu." Ia mendongak, tatapannya bertemu dengan mata pria yang kini menjadi tunangannya. "Aku nggak apa-apa."

  Alva memejamkan mata sesaat, berusaha menenangkan pikirannya yang berputar. "Zel... kamu ingat nggak, waktu kita kelas XII? Kamu nolongin Bu Indri pas upacara?"

  Zelva tersenyum lebih lebar, mengenang masa itu. "Itu pertama kalinya kamu mulai tertarik sama aku, kan?" candanya, mencoba mencairkan suasana yang semakin berat.

  Alva mengangguk. "Itu pertama kali aku lihat kamu beda dari yang lain. Kamu ngelakuin hal yang belum pernah dipelajari, tapi kamu melakukannya dengan berani. Itulah yang bikin aku kagum sama kamu."

♣︎♣︎♣︎

Flashback on
 
Zelva PoV

  Senin pagi, hari yang paling dibenci oleh hampir semua murid di sekolah ini—termasuk aku. Tapi entah kenapa, hari ini aku merasa berbeda, lebih tenang. Mungkin karena semalam aku tidur nyenyak setelah puas membaca buku-buku kakakku.

  Seperti biasa, kelas XII-I IPA kacau setiap Senin pagi.

  "Ih, sumpah deh, hari Senin tuh musuh utama gue. Pengen cabut aja dari upacara!" keluh salah satu teman sekelas.

  "Robek aja benderanya, biar nggak jadi upacara!" sahut yang lain sambil tertawa.

  Aku hanya menggelengkan kepala dan tersenyum. "Udah, jalani aja. Setelah upacara, kita dapat waktu istirahat lebih lama kok," ucapku ringan, berharap sedikit optimisme bisa menular.

  Namun, tanggapan yang kudapat adalah tawa dan cercaan bercanda. "Zelll, lo kenapa sih? Sakit? Demam?!" tanya Ratih, sahabatku, sambil meletakkan tangannya di dahiku. Aku menepisnya sambil terkekeh.

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang