Chapter 07

15 10 0
                                    

---

  Flashback off_

  Zelva membuka matanya perlahan, seakan terbebani oleh rasa sakit yang mendalam. Air mata tak berhenti mengalir dari sudut matanya, menetes perlahan di pipinya yang terlihat semakin tirus. Suara alat monitor detak jantung di sebelah tempat tidurnya mengisi kekosongan ruangan yang sunyi.

"Ya Tuhan... Mengapa rasanya begitu menyakitkan?" suaranya nyaris tak terdengar, tertahan oleh getaran emosi yang ia coba kendalikan. Mata sayunya menatap jendela yang memantulkan bayangan dirinya yang rapuh. Sudah tiga hari sejak ia dipindahkan dari HCU, namun luka di hatinya justru semakin terbuka lebar.

"Kenapa harus saat hubunganku dengan Kak Jasmine mulai membaik? Kenapa semua harus terbongkar sekarang?" Zelva mulai menggelengkan kepalanya, seolah tak percaya dengan apa yang ia alami. Tangannya yang bebas dari gips mulai menghantam kepalanya sendiri, seolah ingin menyingkirkan rasa sakit yang kini tak lagi hanya fisik.

Tubuhnya mulai bergetar hebat, napasnya tersengal-sengal seperti ada sesuatu yang berat menekan dadanya. "KENAPA KAU TIDAK BIARKAN AKU PERGI, TUHAN?! KENAPA?!"

Jeritan itu menggema, menggetarkan hati siapapun yang mendengarnya. Perawat-perawat di nurse station seketika terkejut. Dr. Amel yang sedang berbincang santai dengan mereka, langsung berlari menuju ruangan Zelva bersama tim medis.

Sesampainya di ruangan, mereka terperangah. Pemandangan Zelva yang tak terkendali begitu memilukan. Wajahnya basah oleh air mata, rambutnya acak-acakan seperti orang yang sudah tak peduli pada dirinya sendiri. Tangan kirinya masih terbalut gips, bekas operasi yang belum pulih, namun itu tak menghentikan amarah yang menggelegak dalam dirinya.

"JANGAN DEKAT! JANGAN SENTUH SAYA! PERGI!!" teriak Zelva, matanya penuh ketakutan dan kemarahan, seolah semua orang di sekitarnya adalah musuh. Para perawat berusaha mendekat, tapi Zelva makin menggila, meronta-ronta dengan keras, hingga selang infus yang terpasang di tangannya tercabut. Cairan infus mengalir keluar, bercampur dengan darah, membasahi lantai putih bersih di sekitarnya.

"Saya mau pergi! Saya ingin pergi dari sini! Lepaskan saya!!" raung Zelva, suaranya semakin parau.

Dr. Amel, yang kini berada di ambang kebingungan, segera menghubungi Dr. Samuel. Tangannya gemetar saat ia mengirim pesan singkat kepada Alva, memintanya segera datang. Situasi semakin genting. Dengan kondisi tangan yang cedera, mereka tak bisa melakukan restrain fisik secara penuh. Obat penenang oral bukanlah pilihan karena kondisi psikologis Zelva yang begitu tidak stabil.

Beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam berlalu sebelum Samuel dan Alva tiba. Mereka bergegas masuk, wajah mereka diliputi kecemasan. Alva segera menghampiri tunangannya yang tampak begitu jauh dari sosok lembut yang ia kenal.

"Zelva, sayang... Aku di sini. Kamu aman sekarang," bisiknya dengan suara lembut. Dia mencoba memeluk Zelva, berharap dapat meredakan badai di hatinya.

Namun, yang terjadi sebaliknya. Zelva menepis pelukan Alva dengan kasar.

"JANGAN SENTUH SAYA! JANGAN-JANGAN KAMU JUGA SEKONGKOL DENGAN MEREKA!" teriaknya, penuh dengan tuduhan yang tak beralasan.

Matanya menatap Alva dengan kebencian yang tak pernah Alva bayangkan bisa ada di hati tunangannya. Tak ada lagi kelembutan dalam tatapannya, hanya kebekuan dan kemarahan.

Alva terdiam, terpukul. Ia merasa seperti baru saja kehilangan Zelva, meskipun perempuan yang dicintainya itu masih berdiri di hadapannya.

Saat itu juga, Dr. Glory, psikiater yang sudah lama menangani kasus Zelva, memasuki ruangan bersama timnya. Dengan tenang tapi tegas, ia segera mengambil alih kendali karena melihat keadaan Zelva yang begitu gelisah. "Pegang dia dengan hati-hati. Jangan tekan tangannya yang cedera," perintahnya kepada para perawat.

KenopsiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang