03'Tubuh Kosong

727 18 0
                                    

"Nona Emma tidak mau membukakan pintu kamarnya untuk kami, tuan. Nona juga sama sekali tidak menyentuh makanan dan minuman yang kami bawakan." Seorang wanita dengan pakaian seragam khas pelayan itu berdiri menghadap tuannya dengan kepala yang ditundukkan, merasa takut karena perintah tuannya tidak terpenuhi.

Damian memicingkan matanya menatap makanan utuh yang sudah dingin dan sama sekali tidak tersentuh itu. Laki-laki itu berdecak sebab Emma tampaknya mulai membuatnya merasa kesal dengan kelakuan perempuan itu. Emma sudah berdiam diri selama belasan jam tanpa makan dan minum, Damian bahkan sudah mengalah dengan membiarkan Emma menghabiskan waktunya sendirian di kamar milik Damian dan menguasai kamar itu sebab perempuan itu mengamuk jika Damian berada di sekitarnya. Damian akan jauh lebih kesulitan, jika Emma jatuh sakit nantinya. Damian sama sekali tidak memerlukan wanita kurus yang mudah jatuh sakit, jika Emma terus melakukan mogok makan, maka sudah jelas dia akan jatuh sakit sebentar lagi.

"Saya yang akan mengantarkannya." Damian akhirnya berucap lalu mulai berdiri dari duduknya.

"Baik tuan," beberapa pelayan disana kini mulai mengikuti langkah Damian dari belakang. Laki-laki itu berjalan lalu mengambil sebuah kunci cadangan kamarnya dari dalam sebuah laci di sekitarnya saat itu.

Damian tanpa banyak basa basi akhirnya mulai membuka pintu kamar tersebut, suara pintu kamar yang terbuka itu tampaknya membuat seseorang di dalam kamar tampak terkejut dengan kehadiran Damian. Emma duduk di atas kasur dengan wajah pucat. Setelah tatapan mereka bertemu, Emma kembali menundukkan kepalanya untuk memutuskan pandangan mereka, tidak ingin menghiraukan lagi kehadiran Damian di sekitarnya.

Damian bergerak mengambil sebuah piring berisi makanan tersebut dari tangan seorang pelayan. Laki-laki itu akhirnya mulai mendekat ke arah Emma, lalu meletakkan piring tersebut tepat di sebelah Emma. "Makan, jangan menyusahkan siapa pun disini," suara Damian terdengar pelan namun penuh penekanan.

"Kalau tidak mau disusahkan, antar saja aku pulang. Aku masih punya nenek yang harus dirawat, aku juga sama sekali tidak punya waktu untuk meladeni permainan mu dan Martin." Emma berdesis kecil, suara perempuan itu halus sekali, hanya dapat di dengar sebatas Emma dan Damian saja.

Damian menggelengkan kepalanya, "tidak akan," ujarnya dengan final. "Saya sudah membayar mahal untuk mu, jadi saya tidak akan dengan mudah kembali memberikan mu pada Martin."

"Permasalahannya tidak semudah itu, Emma. Apa kau pikir aku gila mengantarkan mu kembali pada Martin, lalu kalian tidak akan melunasi hutang kalian, bukan?"

"Maka bunuh saja aku, karena aku sama sekali tidak sudi dijual lagi oleh Martin dan dipakai oleh mu," Emma mengeraskan rahangnya, perempuan itu benar-benar sudah kacau, wajahnya terlihat sayu dan matanya kelihatan sembab juga memerah seperti baru saja menangis histeris.

"Setelah aku mati, lalu kau bisa bersetubuh dengan mayat ku sepuas mu nanti, dia tidak akan memberontak kan?" Emma tersenyum. Senyuman kecil yang terasa menyebalkan bagi Damian karena kata-kata perempuan itu benar-benar mengganggu Damian, bukan seperti itu yang Damian inginkan.

Damian menatap Emma dengan tatapan cemooh miliknya, "bunuh saja diri mu sendiri, untuk apa juga saya harus mengotori tangan saya dengan darah mu. Saya juga tidak perduli kau akan sakit atau mati nantinya karena tidak makan satu harian." Setelah mengatakan hal itu, Damian berbalik, hendak meninggalkan Emma kembali sendirian di kamar itu.

PRANG!!! Suara sebuah piring yang sengaja di banting terdengar menggema memenuhi kamar, kemudian suara histeris dari beberapa pelayan di dalam kamar itu kini mulai terdengar sahut-sahutan.

"Nona! Jangan lakukan itu!" teriak mereka secara bersamaan.

Damian dengan segera membalikkan tubuhnya, menatap balik pada Emma yang menjadi penyebab dari suara pecahan kaca tersebut. Mata Damian benar-benar terbelangak saat mendapati Emma yang tadinya duduk dengan letih pada kasur kini sudah terduduk di lantai dengan pecahan kaca piring yang berserakan di sekitarnya. Namun, bukan itulah masalah sebenarnya. Disana, Damian melihat Emma menggoreskan sebuah pecahan besar piring tersebut pada pergelangan tangannya, darah segar dengan segera memenuhi lantai putih di bawah sana.

Ruangan putih bersih itu kini telah kotor oleh darah, Emma yang memang sudah lemas bahkan sebelum kehilangan banyak darah itu dengan segera kehilangan kesadarannya. Damian melangkah dengan cepat kembali mendapati Emma, laki-laki itu berjongkok lalu mencoba menyadarkan Emma kembali. "Sialan!" geram laki-laki itu namun tetap bergerak sigap mengangkat tubuh kurus Emma dan segera membawanya keluar dari kamar itu.

Hari di luar sana sudah benar-benar gelap, suara riuh yang Damian ciptakan seolah membuat gusar rumah itu, seluruh penjaga juga pelayan tampak mencari tahu apa yang sedang terjadi setelah melihat Damian melangkah cepat memasuki sebuah mobil lalu pergi dengan kecepatan yang luar biasa menembus jalanan malam itu, meninggalkan para pekerja di rumahnya dengan perasaan bingung yang masih belum terjawab.

Damian sesekali mengalihkan perhatiannya dari jalanan kepada Emma yang duduk di sebelahnya, salah satu tangan Damian masih berusaha menyadarkan Emma. Damian tahu, jika Emma sempat tidak sadarkan diri, mungkin ini akan semakin rumit, sering Damian berusaha untuk tetap menjaga Emma agar tidak sampai kehilangan kesadarannya.

Sesampainya di rumah sakit, Damian dengan cepat kembali mengangkat tubuh Emma lalu membawanya ke ruangan Unit Gawat Darurat. Setelah menempatkan Emma pada bangsal, Damian akhirnya membiarkan para perawat disana mengambil alih Emma lalu segera membawa Emma ke sebuah ruangan lain untuk mendapatkan perawatan dengan segera. Damian duduk di sebuah kursi panjang, deru nafasnya terdengar naik turun, pakaian laki-laki itu terasa lengket oleh darah, baunya pun mulai terasa anyir.

Damian meremas rambutnya, menunduk seraya mencoba mencari cara agar dapat memperbaiki seluruhnya dengan segera. Damian sama sekali tidak mengira bahwa Emma adalah orang yang sangat nekat. Damian tidak sungguh-sungguh saat menyuruh perempuan itu untuk mengakhiri hidupnya sendiri, namun Emma malah melakukan hal itu hanya sepersekian detik setelahnya. Ada yang salah dengan pola pikir perempuan itu.

"Ck! Sial! Sial! Aku hanya butuh rahimnya, mengapa dia harus punya kepribadian seperti ini?!" geram Damian pada dirinya sendiri, merasa kesal.

"Kurang ajar, dia ingin membunuh dirinya dan membuat semua uang ku hangus di tangan Martin." Damian mulai berspekulasi, "lihat saja, siapa yang akan menang Emma, sepertinya kau salah mencari lawan main. Aku tetap punya kuasa di atas mu, Emma. Tunggu saja sampai kau akhirnya bertekuk lutut di hadapan ku dan meminta bantuan ku."

Damian bergerak meraih kembali ponsel miliknya, lalu laki-laki itu mencoba menghubungi seseorang. Suara dering panggilan perlahan terhenti pertanda bahwa telepon tersebut sudah terhubung.

"Lihat putri mu, dia mencoba bunuh diri, datanglah dan bicara sendiri padanya setelah dia sadar nanti, coba jelaskan padanya sampai dia mengerti dan tidak selalu bersikap seperti orang bodoh! Jika kau tidak datang, maka kau harus mengambil sendiri mayat Emma dari rumah sakit ini." tanpa membiarkan orang di sebrang teleponnya berbicara, Damian dengan segera mengakhiri telepon. Rasa pusing dan amarah semakin menggebu pada diri Damian.

To be continued...

Bayi Laki-laki Bagi Sang Miliuner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang