04'Perjanjian

371 23 0
                                    

Emma perlahan mulai membuka matanya, pandangan perempuan itu mulai menengadah memenuhi ruangan dengan nuansa putih tersebut, indra penciumannya perlahan mulai menangkap bau obat-obatan yang mulai tercium. Seseorang dengan pakaian hitam yang sedari tadi menunggu kesadaran Emma itu mulai memencet sebuah bell yang berada di dekat Emma hingga tidak lama beberapa orang dengan pakaian putih yang Emma yakini adalah tenaga medis mulai memeriksa keadaan Emma serta menanyakan beberapa pertanyaan pada Emma.

Para medis dan pria dengan pakaian hitam itu saling bercakap untuk beberapa saat sebelum mereka semua meninggalkan Emma kembali sendirian di ruangan itu.

Emma masih tidak dapat melakukan apapun, dia sama sekali tidak memiliki tenaga, seluruh tubuhnya terasa kebas dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Emma hanya dapat merasakan nyeri pada pergelangan tangan kirinya yang kini penuh dengan balutan kasa. Emma ingat dia menggoreskan sebilah pecahan kaca dan melihat rembesan darah kental mulai membasahi tangannya kemudian semuanya menggelap dan Emma mendengar suara Damian yang selalu terdengar di telinganya. Emma mengambil kesimpulan bahwa dia gagal mati dan malah terkapar sendirian di dalam ruangan rumah sakit ini lengkap dengan seorang penjaga yang berdiri tepat di depan pintunya karena Emma bisa melihat siluet tubuh seseorang di balik pintu itu.

Tak beberapa lama kemudian, pintu itu kembali terbuka, seorang laki-laki dengan tubuh tinggi mulai melangkah masuk ke ruangan itu, diikuti oleh seorang pria dengan tubuh bongsor dan rambut yang sudah mulai memutih. Emma menghela nafas saat melihat Damian dan Martin, ayahnya. Perempuan itu hanya dapat memejamkan mata untuk beberapa saat guna meredam segala rasa kesal dan kesedihannya. Emma tidak tahan melihat wajah Martin berlama-lama apalagi dengan kondisi tubuh seperti ini, dia tidak dapat melakukan banyak hal selain menatap balik pada ayahnya itu.

"Kau sudah siuman? Sudah dapat mendengar dengan baik?" Damian mendekati Emma lalu berbicara pada perempuan itu dengan suaranya yang ditekan dengan jari yang menunjuk ke arah telinganya, mencoba menyudutkan Emma.

"Dengarkan apa kata ayahmu," Damian menunjuk ke arah Martin yang berdiri di sekitar mereka berdua, kemudian laki-laki itu segera menyingkirkan dirinya, membiarkan ayah dan anak itu untuk saling berbicara satu sama lain.

Damian memilih duduk pada sofa di ruangan tersebut, memperhatikan orang tua yang kini mulai mendekati ranjang tempat Emma sedang berbaring. Martin terlihat menatap putrinya dengan menunduk, sementara Emma berusaha membuang pandangan. Damian yakin sekali bahwa hubungan ayah dan anak itu tidak baik, lagi pula ayah mana yang akan dengan mudah menukarkan putrinya dengan hutang.

Sementara saat itu, Emma masih tidak ingin menatap pada Martin, dia terlalu malas, terlalu sakit hati. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya Emma dijual seperti binatang oleh ayahnya sendiri. Sudah terjadi beberapa kali, dan Emma selalu memiliki cara untuk lolos walaupun nyawanya sendiri selalu menjadi taruhan. Emma lelah, itu sebabnya dia berani mengambil keputusan untuk membunuh dirinya sendiri malam itu. Sebab Emma sebenarnya sudah tidak ingin lagi kabur, jika besok atau kapan pun itu akan tetap dijual lagi dan lagi oleh ayahnya sendiri.

Martin memang gila, Emma lelah tinggal dan diperbudak oleh orang gila.

"Emma," suara laki-laki tua itu mulai terdengar, Emma semakin memejamkan matanya dengan kuat, menahan air mata yang bisa dengan mudah runtuh jika dia membuka matanya. Hanya dengan mendengar suara ayahnya yang memanggil namanya, Emma sudah merasakan seolah hatinya digores oleh sebilah pisau.

"Dengarkan, Emma," Martin mulai memegangi salah satu tangan Emma yang terbebas dari selang infus dan balutan kasa. "Damian orang yang baik, dia menawarkan bantuan pada keluarga kita-"

"Bantuan untuk keluarga kita?" Emma menyela, "Dia hanya melunasi hutang-hutang judi mu itu Martin, dan kau sebut itu bantuan? Apa kau benar-benar sudah hilang akal?" cela Emma dengan suara yang mulai serak sebab deru nafasnya yang mulai memburu.

"Bukan seperti itu," ujar Martin, masih menundukkan kepalanya.

"Lantas seperti apa?" tanya Emma dengan cepat. "Kau menjual anak mu sendiri seperti binatang hanya untuk melunasi hutang-hutang mu, kenapa kau tidak mati saja agar aku bisa hidup dengan tenang?" Mata Emma mulai merah dan tergenang oleh air mata namun raut marah pada wajah perempuan itu sama sekali tidak luntur.

"Apa Kau pikir aku senang dijual kesana kemari. Apa kau pikir aku menikmati semua laki-laki tua yang kau jodohkan dengan ku itu agar hutang mu pada mereka juga lunas? Apa kau kira aku boneka yang bisa dengan mudah kau gunakan hanya karena aku darah daging mu?" Emma menyelesaikan ucapannya dengan bersusah payah menahan isaknya, dadanya benar-benar sakit. Bagaimana pun, Emma adalah seorang anak, hatinya sangat hancur tatkala kembali menerima fakta bahwa dirinya dijual untuk melunasi hutang, dengan begitu tidak ada harga dirinya. Emma bahkan tak lagi punya hak atas dirinya sendiri, mati pun tak bisa.

"Tapi Damian masih muda," bela Martin, ucapan laki-laki itu malah semakin membuat Emma merasa lelah.

"Dia tidak ada bedanya," desis Emma dengan cepat menyela. "Mereka semua tidak ada bedanya, Martin. Aku sudah lelah dengan ini, tolong keluarkan aku dari semua ini, jelaskan pada laki-laki itu bahwa kau sendiri yang akan melunasi hutang-hutang mu tanpa campur tangan ku."

"Kumohon," pinta Emma dengan suara bergetar.

"Tidak bisa, Emma." Martin berujar lemah, "Aku tidak bisa melunasi hutang-hutang ku padanya, jika tanpa dirimu."

"Kenapa?!" Bentak Emma.

"Dengarkan aku baik-baik Emma," ujar Martin dengan lembut, "Damian orang yang baik-"

Emma menatap para Damian yang memperhatikan dirinya dan Martin setelah mendengar ucapan Martin. Damian, orang baik? Apa Martin tidak dapat lihat bahwa Damian terlihat seperti orang jahat? Tidak ada semburat kebaikan sama sekali yang terpancar dari wajahnya itu.

"Jika dia orang baik, dia tidak akan terlibat apapun dengan mu, Martin. Kalian berdua jelas orang jahat."

"Damian menawarkan diri untuk melunasi hutang-hutang ku, lalu menanggung seluruh kebutuhan hidup mu seumur hidup, padahal kau hanya perlu tinggal dengannya selama satu tahun saja. Apa kau merasa hal itu jahat?" tanya Martin.

Emma terdiam, menanggung hidup Emma selama seumur hidup, dan hanya tinggal dengannya selama satu tahun? Apa maksudnya itu.

"Selama satu tahun saja sampai kau melahirkan anak laki-laki baginya. Dia hanya menginginkan seorang bayi dari mu, Emma. Berikan saja, hidup kita terjamin selamanya, hidup nenek mu juga terjamin."

"Melahirkan bayi laki-laki untuk Damian?" ulang Emma dengan suara yang mulai mengecil, kepalanya benar-benar memening sesaat setelah mendengar hal itu.

Emma menatap kembali ke arah Damian yang kini menatap Emma dengan mata tajamnya, laki-laki itu mendengar seluruh perkataan Emma dan Martin, tentang Emma yang ternyata sudah pernah dijual pada orang lain, dan tentang Emma yang mengatakan bahwa Damian adalah orang yang jahat. Damian mendengar semuanya.

To be continued...

Bayi Laki-laki Bagi Sang Miliuner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang