05'Kabur

335 14 0
                                    

"Melahirkan anak laki-laki bagi Damian? Apa kau sudah gila, Martin?" Emma menatap ayahnya dengan tatapan tidak percaya, dahi perempuan itu mengerut sementara Martin hanya menghela nafas, dia sudah tahu reaksi putrinya pasti akan seperti ini.

"Aku sama sekali tidak ingin melanjutkan ini semua, setelah keluar dari rumah sakit, aku akan pergi dari kalian berdua, terserah kalian mau melakukan apa, aku sama sekali tidak akan peduli." Emma bersikeras dengan rahang yang mengeras, yang benar saja, melahirkan bayi? Apa orang-orang ini mengira melahirkan itu pekerjaan yang mudah? Emma bisa mati hanya karena melahirkan anak bagi laki-laki yang bahkan Emma tidak kenal sama sekali, Emma semakin membenci Damian maupun Martin, keduanya kelihatan sama brengsek.

Mendengar ucapan lantang dari Emma, Damian ternyata perlahan kembali berdiri dari duduknya, dia berjalan menuju ranjang tempat Emma berbaring lalu menatap perempuan itu dengan tatapan sinis, "siapa kau, sampai bisa memutuskan apapun sendirian?" tanyanya.

"Hidup mu, sekarang adalah milik ku, Emma. Apapun yang kau lakukan, harus atas seizin diriku. Martin pun saat ini sudah tidak punya hak apapun lagi atas dirimu." Damian masih menatap Emma dengan tajam dan sinis, kelihatan sudah muak dengan perangai Emma.

"Apa kau Tuhan?" tanya Emma, suaranya pelan, namun terdengar menantang Damian. "Jika kau Tuhan, tunjukkan kuasamu atas diriku."

"Aku memang bukan Tuhan, tapi aku tuan mu." Damian tersenyum kecil.

Jemari besar milik Damian bergerak mulai meremas pergelangan tangan Emma yang masih dibalut dengan kasa, menyebabkan Emma mulai memekik kesakitan dan memberontak hingga Damian menghentikan kegiatan menyiksanya itu. Kain kasa yang awalnya tampak putih bersih dan kering kini mulai berubah warna menjadi kemerahan dan basah, luka jahitan di tangan Emma tampaknya kembali koyak. Emma masih meringis kesakitan, perempuan itu tidak henti-hentinya menggigit bibirnya sendiri dan meraung guna meredam rasa sakit pada pergelangan tangannya itu.

"Aku bisa melakukan apapun pada mu semau ku, Emma. Tidak akan ada yang melarang ataupun marah." Damian seolah memperlihatkan kekuasaannya pada Emma.

Emma sempat menatap pada Damian yang masih tersenyum sinis, bagai malaikat maut yang sedang bermain-main dan merasa senang setelah melukai Emma hingga menjerit kesakitan, sementara Martin tidak dapat melakukan apapun, seperti yang Damian katakan, tidak akan ada yang marah atau melarang, tidak dengan ayah Emma sekalipun.

"Ikut aku Martin." Damian mulai beranjak, meninggalkan Emma yang masih merasa kesakitan itu.

"Baiklah," Martin mengikuti, namun sebelum dia benar-benar turut beranjak, laki-laki itu menatap pada Emma, "ikuti saja apa yang Damian minta, tidak ada ruginya bagimu, Emma. Hanya setahun, lalu kau bisa hidup dengan mudah selama sisa hidup mu, tidak perlu bekerja, tidak perlu mencari uang untuk operasi nenek mu, tidak perlu memikirkan akan tinggal dimana lagi setelah di usir nanti. Semua akan ditanggung oleh Damian, semuanya tanpa terkecuali, karena setelah melahirkan anak bagi Damian, maka setelah bercerai pun kau tetap saja berstatus ibu kandung bagi anak Damian nantinya."

Emma masih meringis kesakitan saat melihat Martin kini ikut berlalu. Emma kembali sendirian dalam ruangan itu, masih menjerit akibat perban pada tangannya yang sudah merah penuh oleh darah. Emma bisa kehabisan darah jika seperti ini terus menerus. "Persetan dengan hidup tenang, belum melahirkan anaknya saja dia bisa membunuh ku kapan pun dia mau," ringis Emma.

•••

Emma melihat pada jendela dari ruangannya, langit disana sudah gelap, jalanan pun tampaknya sudah sepi, jam pada dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Emma sama sekali tidak dapat tidur, dia juga tidak memiliki siapapun di dalam kamar itu, setelah kepergian Damian dan Martin siang tadi, hanya para medis saja yang memasuki kamar Emma selama beberapa kali. Emma pun sudah mengelilingi kamar tersebut, mencoba mencari hal yang bisa membantunya pergi dari sana.

Emma sebenarnya tidak memiliki banyak tenaga untuk berpergian apalagi dengan selang infus yang masih menempel padanya, belum lagi rasa nyeri yang masih menggerayangi pergelangan tangan Emma bekas cengkraman Damian yang menimbulkan luka koyak pada pergelangan itu. Namun, Emma merasa, akan lebih baik jika dia kabur saja selagi masih berada di rumah sakit, akan lebih mudah untuk Emma kabur dari Damian sekarang dari pada jika harus menunggu sampai keadaan Emma membaik dan tiba kembali di kediaman Damian yang sudah pasti dijaga ketat.

Emma melihat-lihat setiap laci dan sofa, berharap dapat menemukan pakaian yang mungkin bisa menutupi baju pasien yang sedang dia kenakan agar Emma dapat leluasa pergi. Hingga, arah pandang Emma kini mengarah pada sebuah jas yang entah sejak kapan berada pada bawah meja pada sofa disana. Emma dengan segera meraih jas tersebut, perempuan itu menggantikan pakaian pasiennya dengan sebuah jas yang dia pegangi agar tak memperlihatkan pakaian dalam Emma.

Emma dapat mencium aroma tubuh Damian yang kuat dari jas tersebut, aroma tubuh khas milik laki-laki itu masih menempel pada jasnya yang justru membuat Emma merasa seperti sedang dipeluk oleh Damian. Emma tak terlalu menghiraukan aroma itu, dia akhirnya mulai mengintip ke luar kamarnya lewat kaca blur pada pintu. Emma sama sekali tidak melihat adanya penjaga di depan kamar itu.

Emma dengan segenap keberanian yang masih tersisa dalam dirinya akhirnya bergerak mulai mencabut segala jenis selang yang masih terpasang padanya. Suara rintisan Emma terdengar sesaat setelah jarum infus tersebut berhasil terlepas dari tangan Emma.

Emma kemudian mulai membuka pintu tersebut dengan perlahan, tidak ingin membuat suara bising apapun. Hingga pintu tersebut berhasil terbuka sedikit dan kepala Emma mulai menyembul keluar, memperhatikan sekitar. Hanya ada dua orang penjaga di depan kamar Emma, namun, keduanya kelihatan lelah sekali hingga tertidur pulas di sebelah kamar Emma.

Emma, tentu saja menggunakan kesempatan itu untuk kabur dari sana, dia segera bergerak keluar kamar dengan langkah kecil yang tidak terdengar, tanpa menutup pintu kembali, Emma akhirnya mulai melangkah kecil untuk menjauh dari kamar itu.

Dan, disinilah Emma saat ini, berlari menjauhkan diri dari areal rumah sakit. Sesekali Emma memandang ke arah belakang, hendak memastikan tidak ada yang sedang mengikuti dirinya disana.

Emma menghela nafas lega, dia mulai menelankan langkahnya, perempuan itu berjalan melangkah pada jalanan itu dengan langkah yang pelan. Emma sama sekali tidak sadar bahwa kini ada seorang yang sedang memperhatikan dirinya dari jauh, hendak menimbang waktu untuk melakukan sesuatu.

To be continued...

Bayi Laki-laki Bagi Sang Miliuner!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang