Bab 0.6

320 87 9
                                    


Siang itu, Yanti langsung disibukkan dengan persiapan makan siang ketika ia dan ketiga temannya memasuki bumi perkemahan. Tanpa memberinya kesempatan untuk sekedar meregangkan tangan dan kaki atau menikmati pemandangan sekitar, ia harus membantu PJ konsumsi yang selalu bersikap ketus padanya. Ia tak tahu apa yang membuat perempuan dua tingkat di atasnya tersebut selalu menatapnya tajam. Namun, ia bisa menduga semua itu berhubungan dengan pasukan hura-hura atau Gigih yang beberapa kali menunggunya di depan gedung himpunan saat rapat.

"Ti ... tempat nasi jangan taruh di situ!" teriak perempuan yang menatapnya tajam. "Gitu aja enggak bisa, sih!" omelan yang membuatnya bingung semakin membuatnya merasa jengkel. Tanpa mengetahui apa dan siapa yang tak mengikuti arahan, perempuan bernawa Windy itu langsung membentaknya.

"Bukan aku yang taruh situ, lagian itu bukan tugasku!" katanya tak mau disalahkan. "Aku aja baru datang!" Tanpa memberi kesempatan pada Windy untuk kembali memarahinya, Yanti melenggang menuju tenda panitia. Semenjak kejadian itu, Windy semakin sering membuatnya jengkel. Setiap hal yang dikerjakan selalu salah di mata perempuan berambut panjang tersebut.

Kemarahan dan omelan Windy semakin parah ketika persiapan jerit malam—tanpa ada hantu yang akan membuat peserta ketakutan—dimulai sejak pukul sepuluh malam. Lirikan dan dengusan Windy semakin terdengar jelas ketika Wahyu meminta untuk berada di pos lima bersama dirinya.

"Yu, kamu ngerti enggak kenapa Windy kayaknya enggak seneng banget sama aku?" tanyanya ketika mereka bertiga berjalan menuju pos lima yang berada di lereng yang sedikit terjal. "Mulai hari pertama, kayaknya dia ada dendam kesumat sama aku."

Wahyu yang mendengar pertanyaan itu tak segera menjawabnya, bahkan lelaki yang saat ini berkalung sarung hitam itu melirik Wahyu. "Yu, jawab! Lapo lirik-lirikkan karo Fauzan? Naksir?"

"Denger-denger sih ... Windy itu pernah naksir Gigih, tapi di tolak." Langkah kakinya segera terhenti dan sayangnya batu yang menjadi pijakannya tidak cukup stabil hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh terjengkang. "Ya ampun, gitu aja ampe limbung, Ti."

Layaknya teman yang selalu tertawa ketika melihatnya kesusahan, Fauzan dan Wahyu tertawa terbahak-bahak meski keduanya dengan sigap menahan lengannya. "Aku baru ngerti," katanya setelah ketiganya kembali berjalan. "Kenapa sih aku selalu ketemu cewek-cewek pecemburu dan enggak jelas gitu?!" Seperti yang ia duga, tak ada seorangpun yang bersimpati padanya, karena kedua lelaki di belakangnya menutup mulut berusaha menahan tawa yang setiap saat bisa membuat semua orang mendengarnya.

"Mbencekno! Ini kenapa aku males deket-deket sama cewek. Mereka baperan, enggak jelas, kadang irasional."

"Kata seorang cewek." Wahyu mengacak-acak rambutnya, membuatnya semakin jengkel. "Udah, diterima aja. Kaum kalian emang kadang enggak rasional dan suka berasumsi, emosian dan baperan."

Tak menjawab perkataan Wahyu, Yanti terus berjalan meski pikirannya penuh dengan Gigih. Pria yang belum memberinya kabar kembali tersebut tak pernah hilang darinya. "Aku nunggu waktunya untuk pulang. Aku kangen kasurku," kata Yanti setelah ketiganya berada di titik yang ditentukan. "Aku kangen novel-novelku."

"Ngomong ae kangen Gigih, Ti," kata Fauzan yang mengarahkan senter ke wajahnya, membuatnya semakin meradang. Belum sempat ia membalas sindiran itu, mereka mendengar langkah kaki dan tak lama kemudian kelompok pertama datang menyerahkan token yang harus diserahkan. Seharusnya mereka memberikan tugas, tapi mereka bertiga setuju semua dalam keadaan lelah dan lebih baik jika mereka istirahat hingga waktunya kembali menuju pos berikutnya.

Hingga kelompok terakhir, tak ada satu tugas ataupun hukuman yang mereka bertiga berikan. Menjadikan malam itu berjalan mulus, penuh dengan cerita, canda dan juga tawa antara mereka bertiga dan setiap kelompok yang meninggalkan mereka bertiga dengan kelegaan di setiap wajah.

Enggak Sengaja Jatuh Cinta, lagi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang