Bab 5

327 62 5
                                    

Bab 5


Taqabbalallahu minna wa minkum shiyamana wa shiyamakum. Taqabbal Yaa Kareem.
Minal Aidin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan batin.
Selamat Hari Raya Idhul Fitri 1445 H.

Jajaran novel yang tersusun rapi dan terawat menjadi pusat perhatiannya sejak keluar dari kamar Lala satu jam lalu. Rak buku mendominasi dua dinding di ruangan terbuka yang sejak dulu menjadi tempat favorit kedua saudara perempuannya selalu membawa kenangan manis dan juga pahit. Gigih bisa melihat bayangan dua gadis yang sibuk dengan bukunya masing-masing. Berbisik dan tertawa bersama. Membuatnya jengkel karena tak lama kemudian mereka akan menganggunya. Meminta pendapat Gigih atau bahkan memintanya untuk memilih salah satu.

Helaan napas panjang Gigih tak membuat sesak yang muncul di dadanya berkurang. Terlebih lagi ketika melihat buku bersampul hijau terang dengan gambar burung manyar di sana. Pikirannya seketika tertuju pada perempuan yang kembali mengisi angan-angannya. Sejak pertemuan tak disengaja di kampus siang itu, Gigih merasa berhutang dengan Mas Teto—meski itu hanya tokoh fiksi—karena kedekatan keduanya dimulai sejak ia melihat Yanti dengan novel yang memiliki kenangan tersendiri baginya.

Masih segar di ingatan Gigih ketika melihat mata membelalak Yanti saat ia menyebut nama Mas Teto. Entah apa yang membuatnya memutuskan menyebut tokoh kesukaan kedua saudara perempuannya saat itu. Namun, ketika melihat Yanti, ia tahu harus melakukan sesuatu. Ia tak ingin kesempatan itu berlalu begitu saja. Bahkan keputusan impulsifnya mengikuti langkah Yanti memasuki kelas menjadi moment berharga yang selalu dikenangnya hingga saat ini.

"Mas! Ngapain malam-malam ngelamun sambil bawa buku?!" Gigih terkejut ketika melihat Fitra menyandar di depannya. Bersedekap dan memandangnya dengan penuh selidik.

"Lah, mulai kapan kamu di situ?!" Gigih terkejut melihat adik perempuannya sudah ada di rumah sebelum jam sebelas malam. Semenjak diangkat menjadi pegawai tetap salah satu bank pemerintah, Fitra selalu pulang hampir tengah malam. "Tumben?"

"Kesel, Mas." Keluh Fitra. "Jadi tambah pengen resign aja kalau terus-terusan gini." Sudah lebih dari tiga kali Gigih mendengar keinginan adiknya. "Kalau aku beneran resign, gimana, Mas?"

"Mas enggak akan ngelarang kamu untuk resign. Itu semua pilihanmu. Mas cuma bisa bilang, jangan ambil keputusan saat emosi. Tenangin pikiran dulu." Tidak semua orang memiliki pekerjaan yang sesuai dengan keinginan hati, seperti dirinya. Ia bisa mengerti perasaan adiknya, dan akan mendukung apapun keputusannya. "Kalau mantab resign, ya, resign. Enggak ada yang memaksamu untuk bekerja, kan?" Semenjak bapaknya meninggal, Gigih mengambil alih semuanya. Ia menjaga, mendidik dan memastikan kedua saurada dan ibunya mendapatkan yang terbaik. Ketika Lala datang, tugasnya pun bertambah, tapi Gigih tak pernah mengeluh.

"Aku pikir lagi ntar, Mas." Lelah yang tercetak jelas di wajah Fitra membuatnya mengangguk dan meminta adiknya masuk kamar. "Kangen Mbak? Kok tiba-tiba pegang buku itu?" tanya Fitra sesaat sebelum membuka pintu kamarnya. Gigih mengedikkan pundak ketika meletakkan kembali novel yang membarinya banyak kenangan tanpa menjawab pertanyaan Fitra.

"Tidur, sana!" perintah Gigih sesaat sebelum menutup pintu kamarnya.

***

Setelah mengantar Lala ke sekolah, Gigih menuju rumah yang mereka gunakan untuk kantor. Bangunan satu lantai terletak di antara rumahnya dan Wisnu tersebut membuatnya sering menghabiskan waktu di sana selain di lapangan. Pagi ini, ia menjadi orang pertama yang datang.

Gigih menyelesaikan beberapa pekerjaan yang seharusnya selesai minggu lalu ketika melihat Wisnu melewati ambang pintu dan menuju ruangannya. Antara mereka berdua, hanya Wisnu yang memiliki ruangan, karena Gigih lebih banyak menghabiskan waktu di lapangan. Kecuali hari ini, karena ia memiliki janji penting di siang hari.

Ia kembali mengingat pertemuannya beberapa hari lalu, dan sejak saat itu, semua kenangannya bersama Yanti muncul ke permukaan. "Lah, malah ngelamun!" tegur Wisnu membuat ingatan hari itu menghilang. "Ojo ngguya ngguyu enggak jelas, Gih!"

"Kamu ngomong apa tadi?" tanya Gigih setelah Wisnu berhenti mengumpat karena entah berapa lama ia tidak mendengarkan setiap kata yang diucapkannya.

"Aku pengen tahu kapan bisa lihat rumah mantan gebetanmu itu?" Gigih dan Wisnu memiliki pembagian pekerjaan yang jelas selama ini. Konsentrasi pekerjaannya pada pelaksanaan, sedangkan desain menjadi tugas Wisnu.

Pertemanan keduanya tidak dimulai karena menempuh pendidikan di jurusan yang sama. Semua berawal di belakang kantin ketika Gigih mendapati Wisnu mematung setelah mendengar sesorang menolaknya. Setelah siang itu, mereka berdua menjadi akrab. Ketika Wisnu memutuskan untuk resign dan mengajaknya untuk memulai usaha bersama, Gigih tidak memerlukan waktu lama untuk berjata iya.

"Ntar sore aku ke sana lagi, untuk ngecek sekali lagi sebelum ngajak kamu."

"Kenapa enggak aku ikut aja ntar sekalian, Gih! Dari pada bolak balik, kan?!" Gigih menggeleng keras mendengarnya. Ia tak ingin siapapun ada di antara dirinya dan Yanti nanti sore, karena tujuannya melihat rumah itu kembali bukan hanya untuk pekerjaan. "Kamu pengen berdua sama Yanti, bukan karena pengen ngelihat rumahnya?!" tebak Wisnu tepat.

Gigih menyesap kopi yang masih terasa panas di depannya, menikmati pahit dan manis yang tersimpan hingga ia mendapatkan jawaban untuk diucapkannya. "Kali ini aku ngelihat rumahnya sendiri. Aku bakalan ukur semuanya dengan benar. Kamu bikin desain berdasarkan dataku, dan setelah Yanti oke dengan semuanya, kita berdua bisa lihat rumahnya sama-sama."

Ia dan Wisnu memiliki banyak persamaan, dan hal itu membuat hubungan pertemanan mereka berdua tak memerlukan banyak kata. Seperti saat ini. Setelah menepuk pelan pundaknya, Wisnu berdiri. "Aku enggak ngerti rencanamu sama dia. Jangan sampai ngerusak kerjaan! Tak antemi awakmu!" ancam Wisnu sebelum meninggalkannya sendiri

"Ya ampun, Nu!" teriak Gigih setelah meredakan tawa. " "Aku masih bisa bedain kerjaan sama urusan hati. Enggak percaya banget, se!"

"Enggak, lah! Aku kenal kamu, Gih." Wisnu meninggalkannya, tapi langkah pria itu kembali terhenti di ambang pintu. "Kamu udah pernah bikin dia sakit, Gih. Pikir ulang semuanya."

Tanpa perlu orang lain untuk mengingatkan kesalahannya di masa lalu, Gigih masih mengingat semuanya. Bertemu kembali dengan perempuan yang masih menggenggam hatinya membuat Gigih menyadari sesuatu. Ia masih berada di tempat, tanpa mampu untuk melangkah dan meninggalkannya.

"Aku enggak bakalan tanya untuk kedua kalinya, Gih." Gigih terkejut mendapati Wisnu kembali. "Kamu masih sayang sama dia? Pikir baik-baik sebelum kamu jawab!" perinah Wisnu ketika ia membuka mulut. "Karena jawaban itu bukan hanya tentang kamu, ada Lala di sana. Dia butuh bahagia, Gih. Setelah semua kekacauan yang ibunya bawa, gadis itu perlu hubungan yang stabil."

Mendengar Wisnu menyebut Lita, hatinya kembali kacau karena untuk sesaat, ia melupakan Lala. Ia hanya memikirkan tentang hati dan perasaannya, tapi kini Gigih kembali harus berpikir dua kali sebelum melangkah. Ia tak ingin mempertaruhkan kebahagiaan Lala, anaknya berhak bahagia, meski ia harus mengorbankan diri sendiri.

Namun, pertemuannya beberapa saat lalu seolah menjadi peranda baginya. Sebuah tanda bahwa ia perlu kembali melangkah dan memulai kehidupannya. Kehadiran Yanti memberinya harapan, seperti pesan sang ibu sesaat sebelum ajal menjemputnya lebih dari lima tahun lalu. Jangan memusatkan kehidupanmu disekeliling Lala. Dia anakmu, karena Lita memilih untuk tidak menjadi orang tua bagi anaknya sendiri. Saat ketemu perempuan yang baik, bisa menerima semua kekuranganmu, minta dia untuk berjalan bersamamu. Jika dia jodoh yang Tuhan kirim untukmu, dia bukan hanya menjadi pelengkap kehidupanmu, tapi juga Lala.


Aku pukul kamu


Happy reading guys 

Enggak Sengaja Jatuh Cinta, lagi!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang