12

258 22 2
                                    

Makan malam sudah berlangsung sejak tadi. Tapi Vanya masih tetap berada di dalam kamar, memutuskan memperbaiki suasana hati sekaligus menghindari Fika sebentar. Lagi pun Ia tak mau masalah tadi menjadi topik utama di meja makan yang nanti pasti akan merusak suasana.

Selama beristirahat  ponselnya tak sedetikpun ia pegang, karena terus berusaha menutup mata walaupun agak sulit sebab tubuhnya sedikit hangat sejak tadi. Netranya menatap langit-langit kamar sendu. Biasanya saat seperti ini Dava akan menemaninya, tapi sekarang kabar pria itupun tidak ia ketahui. Sejenak nafasnya menghela pelan.

Kala tubuhnya berhasil rileks dan hendak menuju alam mimpi, pintu kamar terbuka pelan.

"Vanya" Panggilan itu menyetaknya.

Dengan cepat ia menoleh. Sesaat kemudian senyum kecil sukses terpatri sebab yang datang adalah suaminya. Pria itu mendekat dengan kedua tangan membawa nampan makanan.

"Makan dulu" Tanpa menyahut ia bangkit duduk. Sejenak menatap lamat wajah Dava yang terlihat biasa saja. Apa pria ini tidak tau alasan dirinya seperti ini lagi?

"Kita menginap malam ini"

Vanya sedikit mengerut "Besok kau ke kantor dan jarak rumah ini ke sana lumayan jauh, kan?"

Dava menghela "Tidak usah memikirkan hal itu. Makanlah"

Vanya bisa melihat, pria di depannya ini terlampau membatasi interaksi. Di lihat dari bagaimana dia berbicara, bisa ia rasakan suaminya enggan padanya.

"Sekretaris mu?"

Dava sontak menatap tepat di netranya. Dengan wajah datarnya pria itu menjawab bahwa sekretarisnya sudah pulang.

"Kenapa kau membawanya makan malam bersama kita?"

"Dia ada masalah dan tidak mau pulang. Jadi aku mengajaknya kesini" Jelas Dava

"Serumit itukah masalahnya sampai kau peduli?" Nada Vanya sedikit berubah. Entahlah, feeling nya mengatakan wanita itu menyukai suaminya dan perhatian Dava membuatnya sedikit terusik juga.

"Wajib ku jawab?" Tubuhnya tersentak, Dava bangkit sedikit kasar "Kau terlalu penasaran padaku, sampai lupa pada batasanmu"

Vanya terkejut menatap wajah tampan yang kini menatapnya dari atas. Rahang Dava mengetat, di ikuti lehernya yang memerah.

"Kau sudah mengatakannya saat itu. Jaga batasan, kita ini hanya orang asing. Jadi, tolong hargai juga privasiku jika ingin aku menghargaimu juga"

Senjata makan tuan

Di banding sikap, ternyata lebih sakit lagi ketika berhadapan dengan ucapan Dava.

"Kau berhasil merubahnya Vanya"

°°°

Selesai menghabiskan makan malam di kamar, Vanya memilih bergabung dengan yang lain di ruang keluarga. Tadi setelah berbicara, Dava pergi meninggalkannya, entah kemana dia tidak tahu. Namun agaknya tak apa,  menjernihkan pikiran masing-masing lewat keadaan ini bukanlah hal buruk.

Kembali ke ruang keluarga. Sejak tadi percakapan begitu luwes terjalin di sini, membawa Vanya ke lingkup canggung karena belum terbiasa. Ia terus diam mendengarkan walaupun yang menjadi topik pembicaraan sekarang adalah dirinya.

"

Apa saat hamil kau sering sensitif?" Fika mengulang pertanyaan yang sempat ia tadi Annette hiraukan.

"Tidak" Bisa Vanya rasakan Annette mulai tak suka topik ini. Sejenak ia menatap wanita itu.

"Livi juga seperti itu saat hamil, dia tidak terlalu kesulitan. Bahkan  terlihat selalu bahagia selama mengandung" Nana, ibu dari Livi masuk dalam percakapan. Yang di sebut namanya hanya tersenyum kecil.

Surreptitious Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang