PROLOG

109 11 5
                                    

"Aghhhhh,,,," Teriakku girang sembari melompat-lompat yang tentu saja teriakanku itu memekikkan telinga semua orang. 

Termasuk Abiku yang saat ini mengrenyitkan keningnya bersiap mengeluarkan omelan seperti biasanya, namun urung karena Mbah yai mengingatkan agar Abi tidak emosi karena hari ini adalah hari yang sangat spesial untukku. Hari yang sudah lama ku tunggu.

Dan yahhh, aku tak bisa membendung kebahagiaanku.

Bahagia karena mendapat surat pertama dari Ummiku. Benar Ummiku. Ummi yang tidak pernah ku temui bahkan hanya untuk sesaat. Ummi yang mengorbankan nyawanya untuk bisa melahirkanku ke dunia ini.

Dan surat di tanganku ini, adalah surat yang di tulis Ummi untuk terakhir kalinya. Untukku, sesaat sebelum Ummi memasuki ruang operasi. Surat yang ditulis penuh dengan kasih sayang. Hanya untukku.

"Semuanya diem yaa! Inces mau baca surat cinta dulu!" Ucapku dengan senyumku yang merekah dan segera mendudukkan diriku di sofa ruang tamu, semua orang pun ikut duduk dan terlihat menungguku membaca surat ini.

Ku hela nafasku sesaat, dan membuka surat ini perlahan, namun tanganku berhenti bahkan sebelum surat ini benar-benar terbuka.

Sekali lagi ku hela nafasku, rasanya ada sesuatu yang bergemurmu di dadaku.

Aku masih sedikit tak percaya akhirnya aku bisa membaca surat dari Ummiku setelah usiaku genap 18 tahun. Benar, hari ini adalah peringatan hari kelahiranku, sekaligus hari kematian Ummiku.

Karena itulah sejak kemarin malam Abi terlihat sedikit murung. Dan aku tahu hal itu. Karena aku juga merasakan rasa yang sama dengan Abi. Kehilangan.

Aku kembali membuka surat yang sudah terihat usang ini dengan penuh kehati-hatian. Membacanya dengan perlahan, menikmati setiap goresan yang terlihat sangat indah ini.

Untuk putri Ummi yang sangat Ummi cintai.

Fareena Meeza Ar Rayyan.

Reena, Ummi menyiapkan nama indah ini untuk putri Ummi yang bahkan belum pernah Ummi lihat. Jujur saat menulis surat ini tangan Ummi bergetar, Ummi takut tidak akan bisa memandang, memeluk, mengecup, mengenggam, dan menemani tumbuh kembang kamu. 

Kalaupun nanti memang Ummi tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan kamu, cinta dan kasih sayang Ummi akan tetap ada untuk kamu nak.

Jangan salahkan diri kamu, karena kita sama-sama berjuang. Namun Ummi kalah, Ummi tidak bisa melawan garis takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan.

Ummi ingin kamu tumbuh dengan bahagia.Ummi tidak ingin ada air mata yang membasahi pipi putri Ummi. Kalaupun ada air mata, semoga itu adalah air mamta bahagia.

Jadilah Reena yang kuat. Sekuat karang yang diterpa ombak samudra.

Maaf.

Maaf jika Ummi tidak bisa mengenggam tangan kamu, maaf karena Ummi tidak bisa memeluk dan mendengar keluh kesah kamu, maaf karena Ummi tidak bisa menjadi bahu sandaran di saat kamu bersedih.

Namun Ummi akan selalu mendoakan semua yang terbaik untuk kamu. Disini.

Dari

Ummi yang akan selalu mencintai dan menyayangi kamu

Tak terasa air mataku meleleh membanjiri pipiku tanpa ku sadari. Sontak Abi memelukku, memeluk dengan sangat erat dan membelai lembut puncak kepalaku, lalu mengecup keningku dengan air mata yang juga ikut membasahi pipinya.

Aku terisak dalam dekapan Abi untuk beberapa waktu, sementara mbah Yai dan yang lainnya hanya bisa terdiam menyaksikan tangisan kami. Sampai sesuatu terjatuh dari amplop surat yang ada dalam gengamanku.

Aku pun menyeka air mataku dan segera mengambilnya.

Sebuah foto yang sangat asing untukku.

Foto yang menunjukkan seorang anak kecil dengan senyumnya yang indah sembari memegang perut Ummiku yang mulai membuncit.

Akupun menatap Abi dengan tatapanku yang penuh tanda tanya. Namun Abi justru hanya tersenyum menatapku dengan senyuman simpulnya.

Ku tatap foto itu lagi, aku benar-benar tidak pernah melihat wajah anak kecil itu. Atau aku melupakannya.

Atau jangan-jangan?

"Ini kakak Reena ya Bi? Kakak Reena yang tersembunyi?" Tanyaku spontan dan tanpa basa-basi Abi mengelengkan kepalanya.

"Atau kakak Reena yang hilang??" Tanyaku lagi, dan lagi-lagi Abi menggelengkan kepalanya.

"Kakak Reena yang udah mati yaa!" Sahutku lantang dan sontak saja Abi beristighfar sembari mengelus dadanya.

"Bukan Reena. Dia bukan kakak kamu." Jawab Abi yang langsung membuatku manggut-manggut tanda mengerti.

"Terus dia siapa dong Bi?" Tanyaku memastikan.

"Giginya ompong lagi." Tambahku dengan pandanganku yang masih tertuju pada foto ini.

"Coba balik fotonya, siapa tahu ada namanya." Sahut Mbah Yai memberi saran.

Akupun menganggukkan kepalaku dan membalik foto ini.

"Kafathan Shaka Makareem."  Bacaku serius.

"Siapa?" Tanyaku yang belum mengerti. 

Abi kembali tersenyum, "Kafa. Putra sahabat Abi dan Ummi. Kafa adalah seorang yang sangat Ummi Sayangi." Jawab Abi serius.

"Dan dia adalah seseorang yang Ummi percaya untuk menjaga dan membimbing kamu nanti." Tambah Abi yang masih membuatku tak mengerti.

Akupun berpikir sejenak, mencerna setiap kalimat yang keluar dari mulut Abi, "Jadii,,, dia bakal jadi gurunya Reena?" Tanyaku memastikan apa yang terlintas di benakku.

Lagi-lagi Abi tersenyum dengan tatapannya yang lembut lalu membelai lembut puncak kepalaku.

"Calon suamimu." Sahut Mbah Yai yang sontak saja membuat kedua bola mataku membelalak lebar.

Suami? Aku? Punya calon suami?

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang