01

51 10 2
                                    

Aku memainkan jari jemariku sembari menatap foto yang ada di hadapanku.

Yang benar saja, aku harus menikah dengan dia? anak ompong ini?

Yahh mungkin sekarang dia sudah tidak ompong, tapi kan tetap saja usianya jauh lebih tua dariku. Jika dilihat dari foto ini sihh sepertinya saat itu usianya kisaran lima sampai enam tahun. Artinya usia kami berbeda enam tahun. Jadi mungkin saat ini usianya sudah dua puluh empat tahun.

"Bisa gila aku kalau sampai harus nikah sama om-om." gerutuku dalam hati, meskipun sepertinya laki-laki ini tampan sih, tapikan tetap saja dia itu om-om.

Aku menghela nafasku, meletakkan foto ini ke atas nakas dan segera melangkahkan kakiku menuju Aula untuk menghadiri haul ponpes yang sudah lama diurus oleh keluargaku, lebih tepatnya ponpes yang didirikan oleh buyut-buyutku. 

Daripada kepalaku pusing memikirkan perjodohan yang sudah diatur ummiku bahkan sebelum aku lahir itu lebih baik aku mengikuti acara yang sudah pasti dihadiri banyak pemuda-pemuda tampan itu kan.

Sekalian cuci mata hehehe, apalagi sepertinya Gus Bara juga akan menghadiri acara haul ini.

Karena bisa dibilang keluargaku cukup berpenaruh di sini, tak hanya mengurus ponpes ini, keluargaku juga memiliki bisnis kuiner dan juga fashion muslim yang sudah cukup di kenal di kalangan masyarakat luas. Sehinga keluargaku juga memiliki beberapa relasi dengan pengusaha-pengusaha muda yang selalu akan menghadiri undangan keluargaku.

"Ning Reena!" Panggil seseorang yang tentu saja membuat langkah kakiku terhenti.

Tanpa aba-aba aku menoleh, menatap Dini (Salah satu santriwati di ponpes ini yang mengabdikan dirinya untuk keluargaku dan ponpes ini.) yang terlihat tergesa-gesa.

"Ada apa Din?" Tanyaku memastikan.

"Njenengan dipadosi Gus Bara Ning." Jawab Dini setelah ia mengatur nafasnya.

"Di mana?" Tanyaku dengan senyum yang mengembang di wajahku.

"Ten taman samping Aula ning." 

"Siap, matur nuwun Din." Sahutku dan langsung melenggang menuju taman.

Jika kalian bertanya siapa Gus Bara itu. Bisa dibilang dia adalah sosok yang sudah lama aku kagumi.

Bagaimana tidak, dia seorang hafidz sedari usianya yang baru menginjak sepuluh tahun, dia sangat sopan pada orang-orang di sekitarnya, dia sangat sabar, dia sangat pandai di setiap mata pelajaran, dan point plusnya adalah dia sangat tampan.

Yahh, karena bisa dibilang dia memiliki darah campuran Indonesia, Arab, dan juga Turki. Jadi bayangkan saja betapa indahnya ciptaan Tuhan yang bernama muhammed Bara As Siddiq itu.

Dari kejauhan aku sudah bisa melihat sosoknya yang menungguku di sana.

Setiapkali aku melihatnya jantungku langsung berdegup dengan kencang, seolah ingin memberiku isyarat bahwa separuh jiwaku ada padanya.

"Assalamualaikum Gus." salamku lengkap dengan senyum yang masih mengembang di wajahku, terlebih ketika aku melihat sebuah buket bunga di tangannya.

Iapun menatapku dan tersenyum dengan senyumnya yang manis seperti biasa. "Waalaikumussalam." Jawabnya yang berhasil membuat jantungku semakin berdebar tak karuan.

"Udah lama nunggunya Gus?" Tanyaku berusaha biasa saja meskipun sebenarnya hatiku tidak baik-baik saja. Tapi tentu aku tidak boleh terlihat salting brutal di hadapannya.

Ia hanya tersenyum dan menatap buket dan sesuatu yang ada di tangannya. "Belum, aku juga baru dateng kok." Jawabnya yang kemudian terdiam untuk sesaat. "Oh iya, gimana wisudanya kemarin? maaf ya karena kemarin aku nggak bisa secara langsung ngucapin selamat." lanjutnya sembari menyodorkan buket bunga itu padaku. 

"Selamat untuk wisudanya dan selamat ulang tahun." Ucapnya lagi yang semakin membuatku berdebar, bahkan mungkin saja saat ini pipiku sudah memerah saking senangnya.

"makasih Gus." Jawabku dengan senyumku yang mengembang sempurna.

"Oh ya, ada satu lagi untuk kamu."

Aku menatapnya untuk sesaat dengan kepalaku yang dipenuhi tanda tanya, apa masih ada kejutan lagi untukku? Sepertinya aku benar-benar tidak salah  memilih  mencintai seseorang. "Apa ini Gus?" Tanyaku setelah menerimanya.

"Undangan pernikahan."

Deg,,,

Sontak senyumku memudar perlahan. "Pernikahan?" Gumamku tak percaya.

"Siapa yang akan menikah Gus?" Tanyaku  dengan ekspresi yang sangat serius sekaligus penasaran.

"Aku."

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang