04

33 8 5
                                    

Setelah menempuh perjalanan lebih kurang dua jam, akhirnya aku sampai juga di kota Surabaya.

Tentu aku tak sendiri, aku datang bersama dengan salah satu santriwati kepercayaan Mbah Yai yang siap menjaga dan melindungiku bahkan dari serangan badai dan halilintar sekalipun.

Terlalu lebai bukan? Ya, aku hanya bercanda. Jangan terlalu serius saat membaca cerita ini. Karena tidak ada yang serius di dunia ini.

"Niki langsung ten ndalem e Gus Kafa ning? Nopo ajenge ten pundi riyen?" Tanya Shofi padaku.

Aku berfikir sejenak. Bisa dibilang aku bahkan tidak tahu dimana rumah si Kafa itu.

Ya,, benar, Abi dan Mbah Yai tak memberiku alamat pasti rumah si Kafa. Mbah Yai hanya memberitahuku nama sebuah pondok pesantren saat beliau mengantarku ke stasiun tadi.

"Ponpes Mamba'ussalam. Kita ke sana." Jawabku setelah berpikir panjang.

Akupun segera mencari alamat ponpes itu di go*gle m*ps, lalu segera memesan taksi online untuk mengantarku ke sana.

Tak butuh waktu lama aku dan Shofi sampai tepat di depan gerbang masuk dengan plakat besar bertuliskan Pondok Pesantren Mamba'ussalam.

Kami bergegas menuju pos penjaga, dan benar saja kami tak diperbolehkan untuk masuk.

"Sebentar aja masak nggak boleh sih pak?" Tanyaku melas.

"Sudah aturan dari sananya mbak, hari ini juga bukan jadwalnya sambang, jadi orang asing nggak boleh masuk." Jelas lelaki paruh baya dengan baju koko biru dan sarung bergaris abu-abu dengan sangat serius.

"Saya cuma mau ketemu sama Gus Kafa sebentar."

"Walah ya ini, udah banyak yang bilang gini. Udah fix modus ini." Timpa pak penjaga.

"Saya udah jauh-jauh kesini loh pak, dua jam naik kereta setengah jam naik taksi. Bapak nggak kasian apa?"

"Kalau neng nggak ada janji dan bukan bagian dari keluarga ponpes ini ya mau kasihan yang gimanapun juga tetep nggak bisa masuk neng."

Aku menghela nafas beratku sejenak dan menatap Shofi yang juga mencoba untuk merunding pak penjaga.

"Mana surat izinnya?" Tanya pak penjaga pada seorang santri di dalam sana yang sepertinya akan keluar.

"Mungkin ini kesempatanku." Batinku dengan senyum licik yang otomatis tersurat di wajahku.

Santri itu mengeluarkan sebuah surat dari saku bajunya dan bersamaan dengan itu aku meraih tangan Shofi bersiap untuk menyelinap ketika santri itu keluar.

Gerbang itu perlahan dibuka, dan dalam hitungan tiga, dua, satu. "Wahh ada cicak terbang!" Pekikku dan segera berlari menyelinap meninggalkan pak penjaga yang fokusnya padaku teralihkan.

"Ning pelan-pelan ning!" Pinta Shofi yang tangannya masih ku genggam dengan erat.

Aku tidak mau sampai penjaga botak itu berhasil menangkap kami. Aku harus berbicara dengan Kafa sekarang juga dan bagaimanapun caranya.

Sesekali aku menoleh ke belakang, mengawasi pak penjaga yang agaknya masih mengejar kami.

"Bazingann,,, gede amat sih ini, lari ke mana lagi coba?" Gerutuku karena tak kunjung menemukan rumah utama yang ditempati keluarga Kafa (ndalem) meskipun sudah mengelilingi bangunan-bangunan yang saat ini tak terlalu ramai dengan aktivitas para santri.

"Berhentiii!!!" Pekik pak penjaga yang sudah semakin dekat.

"Kemana nih shof?" Tanyaku pada Shofi yang sudah terengah-engah.

"Kita sembunyi dulu aja ning!" Jawab Shofi cepat dan langsung menarikku memasuki sebuah ruangan yang berada tepat di sebelah kami.

Aku mulai mengatur nafasku, berharap pak penjaga itu berlalu tanpa menemukan kami di sini.

Dan tanpa sadar netraku menelisik setiap sudut dari ruangan ini.

Perpustakaan. Mungkin ini perpustakaan ponpes ini, karena banyak sekali buku dan kitab-kitab yang tersusun rapi di sini.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan ruangan ini. Aku kembali mengintip dari sela-sela kelambu jendela yang sedikit terbuka. Memastikan bahwa penjaga itu sudah melalui ruangan ini.

"Siapa kalian?" Tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang kami.

Aku dan Shofi hanya saling pandang, tersenyum kaku lalu segera memastikan siapa yang kini berada di belakang kami.

"Siapa? Kita?" Tanyaku balik sembari menunjuk diriku sendiri.

"Siapa lagi? Hanya ada kalian di sini." Jawab lelaki dengan ekspresi datar itu yang sontak membuat kami senam jantung.

Kami terdiam untuk sesaat, berfikir apa yang sebaiknya kami katakan sekarang.

"Kami dari—" ucap Shofi yang tanpa pikir panjang langsung ku potong karena takut Shofi akan berkata jujur pada lelaki ini.

"Sales tabungan haji dan umrah!"

"Barangkali bapak mau membuka tabungan haji." Sambungku lagi dengan senyum kaku yang masih mengembang di wajahku.

Lelaki dengan kaus oblong berwarna putih, sarung hijau, dan berkepala plontos itu mengernyitkan keningnya, seolah tak percaya dengan apa yang ku katakan. Meskipun yahh memang benar aku berbohong.

"Kami tadi tersesat saat akan menemui kepala ponpes." Tambahku agar ia semakin yakin.

"I—iya, kami tersesat." Sahut Shofi dengan tangannya yang gemetar.

Dengan tatapannya yang penuh selidik  ia mengamati kami untuk beberapa saat sampai akhirnya,

"Oke, ikuti saya." Ucapnya yang kemudian langsung melenggang keluar dari ruangan ini.

"Mau ke mana?" Tanyaku penasaran sebelum kami mengikuti langkahnya.

"Kalian bilang mau bertemu dengan kepala pondok kan?" Jawabnya masih dengan ekspresinya yang menjengkelkan itu.

"O—oh i—iya." Jawabku dan langsung mengikutinya tanpa bertanya apapun lagi.

Berhasil? Dia percaya dengan apa yang kukatakan? Hahh? Yang bener aja? Rugi dong udah capek-capek lari-larian!

Langkah kaki kami terdengar di sepanjang lorong yang kami lewati.  Sampai tak terasa kami sudah tiba di depan ruangan dengan plakat kepala yayasan yang terpasang rapi di atas pintu itu.

Lelaki itu mulai mengetuk pintu itu perlahan sampai ada sebuah jawaban yang mengizinkan kami untuk masuk.

Aku menghela nafasku sesaat, mempersiapkan diri untuk bertemu salah satu keluarga Kafa, entah siapa itu aku pun tak tahuuu,,,

Tepat setelah kami masuk lelaki itu segera menutup pintu dan menguncinya.

"Hari ini ada sales haji dan Umroh Buya." Ucap lelaki itu pada seorang lelaki dengan rambut dan jenggotnya yang sudah memutih yang saat ini duduk di depan sana.

Lelaki yang dipanggil Buya itupun tersenyum dan menatap kami dengan senyumnya yang terasa sangat damai.

"Kalian bisa duduk dulu." Titahnya yang langsung kami angguki, begitupun dengan lelaki itu yang saat ini berdiri tepat di sebelah kanan  Abuya.

"Reena? Dan Shofi?" Ucap Abuya yang sontak saja membuat kedua mata kami membelalak.

Bagaimana bisa? Apa Abuya itu bisa meramal?

"Benar Buya." Jawabku tanpa basa-basi.

Shofi menatapku lekat.

Terukir senyum di wajah Abuya, begitupun dengan lelaki plontos itu yang sedari tadi tak mengeluarkan ekspresi apapun.

"Reena? Fareena Meeza Ar Rayyan?" Sahut lelaki itu yang langsung ku angguki meskipun aku tak tahu bagaimana bisa ia mengetahui namaku sedetail itu.

Ia kembali menatapku, dari atas sampai ujung dengan kepalanya yang mengangguk-angguk, "Cantik juga. Bwoleh bwolehh,,," Tambahnya yang seketika membuatku curiga.

Jangan-jangan,,,,"Kamu Kafa?" Tanyaku tanpa basa-basi. Yang bener aja, masa Ummi mau jodohin anakknya sama laki-laki modelan begini? Rugi dong!

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang