Aku mengikuti langkah Kafa.
Sesaat setelah aku dan Shofi pamit untuk pulang, Kafa meminta untuk berbicara denganku lagi. Hanya kami berdua.
"Ada apa? Bisa langsung ke intinya aja?" Tanyaku karena ia hanya diam dan menundukkan kepalanya setelah kita sampai di ruang makan rumah ini.
"Kamu benar-benar ingin menikah dengan saya?" Tanyanya yang sontak membuat kedua alisku saling bertaut.
"Dengan mengenyampingkan perasaan masing-masing?" Tambahnya.
Aku pun menyeringai, apa aku harus menjawab pertanyaan tidak logis ini? Untuk apa aku datang ke sini untuk membujuknya agar menikahiku jika aku sendiri tidak ingin menikah?
"Bisa lihat wajah cantik ini bentar nggak?" Tanyaku padanya.
Tanpa jawaban yang keluar dari mulutnya, kedua netranya menatapku lekat.
Deg
Aku terpaku pada sosoknya untuk beberapa saat. Sebelum aku sadar apa yang harus ku katakan selanjutnya.
"E—emangnya ada wajah-wajah slengekan di sini?" Tanyaku gugup sembari menunjukkan wajahku yang menurutku sudah terlihat serius padanya.
"Ada, dikit." Jawabnya yang kemudian kembali menundukkan kepalanya.
"Yang bener ajeee,,," timpaku tak habis thinking dengan jawabannya. Susah-susah aku berusaha untuk terlihat serius di hadapannya, tapi malah seperti itu jawaban yang ia berikan.
Apa iya wajahku terlihat seperti anak yang suka slengekan? Mana mungkinn!!!
"Kalau nggak serius, mana mungkin tak bela-belain ke sini naik kereta berdua doang sama si Shofi sih Gus Kafathan Shaka Makareem!" Jawabku mulai habis kesabaran, padahal yahh... Kalian tahu lah aku ini sesabar apa...
"Lagian, kalau tentang perasaan. Mau kita saling suka, saling nggak suka, it's okay. Itu bisa nyusul seiring berjalannya waktu. Semua cuma tentang waktu aja." Tambahku percaya diri.
"Tapi hati saya sudah ada yang mengisi. Dan jikalau kita menikah nantinya, saya takut akan menyakiti kamu karena hati saya tidak bisa saya berikan untuk kamu." Sahutnya yang seketika membuat suasana terasa sunyi.
Aku terdiam, mencoba untuk mencerna apa yang Kafa katakan.
Jadi sudah ada wanita lain di hatinya? Lalu apa itu jadi masalah? Toh tujuan awalku menikah dengannya kan hanya karena Ummi, plus karena si Gus Bara syalann ituu!
"Kita bisa jadi sahabat kan!" Jawabku tak memikirkan perasaannya terlebih dahulu.
"Banyak kok yang awalnya menikah tanpa ada rasa satu sama lain, suami istri tapi rasa sahabatan " tambahku lagi dengan senyum yang mulai mengembang di kedua sudut bibirku.
"Lalu? Apa tujuan akhir dari pernikahan kita?"
"Setiap apa yang dimulai pasti akan ada akhirnya. Apa kita akan menemukan bahagia jika kita menikah? Bukankah itu artinya sama saja dengan kita membelenggu satu sama lain dengan kedok perjodohan ini?" Lanjutnya dengan tatapannya yang dipenuhi tanda tanya.
Aku kembali terdiam, bukan hanya aku, tapi kami. Kami terdiam dan tenggelam dalam suasana sunyi ini.
"Mungkin terdengar egois, tapi ya. Dengan pernikahan ini kita akan sama-sama terbelenggu. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu." Ucapku.
"Seorang laki-laki bisa menikahi lebih dari satu perempuan kan." Tambahku tanpa pikir panjang, toh sejak awal aku tak mengharapkan cinta darinya. Jadi mungkin itu tidak akan jadi masalah ke depannya kan.
Ia terdiam, dahinya berkerut dengan kedua alisnya yang bertautan, tanda jika ia tak mengerti apa yang ku maksudkan.
"Dalam pernikahan kita nantinya, aku akan membebaskan perasaan kamu, kamu bisa menikah dengan perempuan yang sudah mengisi hati kamu selama ini. Izinku akan terbuka lebar untuk itu." Ucapku memperjelas apa yang tadi ku katakan padanya.
"Tapi, tolong beri waktu, jika bisa sedikit lebih lama, sampai orang-orang percaya kalau pernikahan kita bahagia." Tambahku lagi.
"Apa kamu sudah gila? Pernikahan macam apa ini? Kamu bahkan ingin saya melakukan poligami? Astaghfirullah...." Sahutnya seakan tak percaya dengan apa yang ku katakan padanya.
"Bukankah dengan cara ini kita akan mendapat keinginan kita berdua meskipun kita menikah? Kita akan sama-sama diuntungkan dalam hal ini."
"Tapi ini akan menyakiti hati salah satu pihak." Timpanya masih tak terima.
"Aku? Hatiku?" Tanyaku dengan tatapanku yang melekat padanya.
"Dari awal aku memutuskan untuk datang ke sini, aku sudah menutup hatiku rapat-rapat, tujuanku hanya satu, menikah dan menyelesaikan apa yang Ummiku inginkan."
"Tapi saya tidak segila itu. Saya masih punya hati. Saya tidak ingin menyakiti siapapun hanya untuk kebahagiaan saya! Dan untuk tujuan apapun itu!"
Aku terdiam, menatap sosoknya yang sangat gigih menolak pernikahan ini. Mungkin aku memang egois, tapi aku harus sampai pada tujuan akhirku datang ke sini.
Tidak ada kata gagal di kamusku!
"Kalau begitu, tidak bisakah kita memulainya terlebih dahulu? Hasil akhir akan ada setelah kita memulainya kan." Ucapku menantangnya.
Lagi-lagi ia terdiam, raut wajahnya benar-benar terlihat bimbang, lebih bimbang dari sebelumnya bahkan.
"Atau, istikharah. Kamu bisa melakukan shalat istikharah. Jikalau hasilnya baik kita akan menikah secepatnya." Tawarku padanya.
Sebenarnya bukan apa-apa, aku hanya ingin mengulur waktu agar aku bisa merayu umminya agar ummi mau memaksa Kafa untuk menikah denganku.
Karena hanya itu jalan terakhir yang bisa ku pikirkan agar Kafa mau menikah denganku.
"Kafa,,, Reena,,,, sudah selesai belum nak?" panggil Ummi dari arah ruang tamu.
"Iya Ummi." Jawab Kafa. Kami pun bergegas kembali menuju ruang tamu, dan duduk di tempat kami masing-masing.
Saat ini terlihat jelas raut wajahnya yang bimbang, berbeda denganku yang hanya cengengesan mendengar cerita tentang masa kecilnya dari Ummi yang kini duduk tepat di sampingku.
Yahh, semoga saja dia terbujuk oleh ucapanku tadi, jadi aku masih punya waktu beberapa hari untuk membujuk Ummi. Meskipun malam ini juga aku akan pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENGGAPAI RASA
Romancekalian pernah bertemu dengan Nuaiman? Jika belum artinya kita sama. Tapi, Mbah Yai pernah berkata jika aku adalah Nuaiman, tapi versi perempuannya. Kalian percaya? Jika tidak artinya kita sama lagi, hehehe. Tapi cerita ini bukan tentang Nuaiman. Me...