02

36 10 2
                                    

"Pernikahan?" Tanyaku memastikan. "Siapa yang akan menikah Gus?" Tanyaku lagi dengan ekspresi yang sangat serius sekaligus penasaran.

"Aku." Jawabnya singkat dengan senyum di wajahnya.

Apa aku salah dengar? "Gus Bara?" Tanyaku lagi masih tak percaya, terlebih ia pernah bilang padaku jika ia masih belum memikirkan pernikahan di usianya yang baru menginjak dua puluh satu tahun ini. Jadi bagaimana mungkin ia akan menikah.

"Iya." Jawabnya lengkap dengan anggukan kepalanya.

"Sama siapa Gus?" Tanyaku tanpa basa-basi.

"Naila, dia wanita yang dulu pernah aku ceritain, wanita yang nggak sengaja kopernya ketuker sama aku di bandara dulu. Dia baru nyelesaiin pendidikannya di Tarim minggu lalu, jadi sekalian aja aku silaturahmi sama mengkhitbah dia, aku nggak mau sampai ada yang mendahului karena aku sangat mencintainya." 

"Naila?" Beoku masih tak percaya dengan apa yang sudah ku dengar. Jadi dia mencintai wanita itu? Wanita yang bahkan hanya ia temui dua kali itu? Dia mencintainya? lalu, bagaimana denganku?

"Aku ingin memberikan undangan pertama ini untuk kamu, karena kamu sudah aku anggap sebagai adikku sendiri, oh ya, dan Naila ingin bertemu dengan kamu besok—" Ucapnya yang sontak membuatku menatapnya lekat untuk beberapa saat dan mengabaikan ucapannya.

Adik? Jadi selama ini dia hanya menganggapku sebagai adiknya?

Terbit senyum di sudut bibirku, senyum yang ku gunakan untuk menutupi rasa sakit dan kesedihanku malam ini.

"Selamat ya Gus." Ucapku dengan tatapanku yang masih melekat padanya.

Dia pun tersenyum, senyum yang memancarkan kebahagiaan yang saat ini ia rasakan.

Rasanya ingin sekali aku menangis dan memukulinya sampai ia babak belur dan jika perlu sampai pingsan, biar saja dia tidak jadi menikah dengan Naila itu karena harus dirawat di rumah sakit, atau jika perlu biar Naila ilfil sekalian karena wajahnya yang babak belur dan membatalkan pernikahannya. Pokoknya jika bisa jangan sampai ia menikah dengan si Naila itu.

"Gus." Panggilku setelah bergelut dengan pikiran dan perasaanku sendiri.

"Ya?"

"Kayaknya aku nggak bisa dateng deh, maaf ya Gus."Ucapku tanpa pikir panjang.

Namun tak sesuai dengan harapanku, dia justru tak menggubisku dan sibuk pada ponselnya yang berdering.

Aku menhela nafas beratku, beberapa menit aku menungunya menerima telepon itu.

"Gus Bara!" Panggilku tepat ketika melihatnya memasukkan ponselnya ke dalam sakunya.

"Ehh,, ya? Kamu bilang apa tadi?" Tanyanya yang entah mengapa membuatku sedikit kesal.

"Kamu udah ada acara ya tadi?" Lanjutnya lagi.

"Iya." Jawabku sedikit ketus.

"Kalau acaranya nggak penting sih mending batalin ya, emangnya kamu nggak mau lihat aku nikah apa?" Sahutnya yang spontan membuatku meringis menatapnya.

"Acaranya nggak bisa dibatalin! Soalnya aku juga mau nikah." Jawabku enteng, dan tentu saja mendengarku menjawab demikian Gus Bara membelalakkan kedua bola matanya, dan kedua alisnya saling bertaut.

"Nikah?" Tanyanya tak percaya.

"Sama siapa? kamu kan masih kecil Ree." Tambahnya terlihat tak terima.

"Eitsss,,, udah delapan belas tahun nih boss, udah baligh juga." Jawabku cepat.

"Jangan bercanda!"

"Siapa yang bercanda?"

"Tapi kamu mau nikah sama siapa Ree? emangnya ada yang mau nikah sama anak delapan belas tahun yang baru lulus aliyah kayak kamu? kamu itu masih kecil Ree, masih bocah, masa depan kamu masih panjang."

"Kafathan Shaka Makareem." Jawabku yang langsung membuatnya terdiam. "Emangnya masa depan bakal berhenti ya kalau nikah? enggak kan?" Sahutku serius.

Kami saling terdiam untuk beberapa saat, sampai aku mengembalikan buket bunga pemberiannya kepadanya.

"Kasih buket ini ke CALON ISTRINYA GUS BARA!" Ucapku lalu segera melenggang meninggalkannya tanpa sepatah kata apapun lagi.

Jika terus di sana bersamanya bisa-bisa aku benar-benar akan memukulinya sampai babak belur.

"Oh iya, undangan nikahanku nanti nyusul ya. Ada yang spesial buat Gus Bara!" Ucapku lantang agar ia bisa mendengarnya meskipun jarak kami sudah lumayan jauh. Dan tanpa menunggu jawaban darinya aku segera melanjutkan langkahku menuju Aula.

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang