05

29 7 2
                                    

Kedua mataku membelalak, yang benar saja?

Ku perhatikan lelaki ini untuk kesekian kalinya, rasanya benar-benar sosok yang berbeda dengan sosok anak kecil dalam foto yang kemarin ku lihat.

Jadi, modelan sepertinya yang sudah menolakku?

Lelaki itu hanya tersenyum, sementara Abuya berusaha untuk menahan tawanya.

Tapi bagaimana lagi, aku benar-benar membutuhkannya.

Kami saling terdiam untuk beberapa waktu. Tak ada sepatah kata apapun yang keluar dari mulut kami.

"Bawa mereka ke rumah, terus panggil Abi mu, bilang ada tamu penting." Titah Abuya padanya.

Ia pun segera memandu kami menuju ndalem. Dan yah, aku hanya mengikutinya tanpa mengatakan apapun,

"Jauh sanget ning kalau dibandingaken kale Gus Bara. Bagaikan langit dan bumi." Bisik Shofi yang berjalan di sampingku memecah keheningan.

Aku hanya tersenyum, bingung harus memberikan respon seperti apa karena memang itu kenyataannya.

"Kafa!" Panggilku yang sontak menghentikan langkahnya.

"Hemm?" Jawabnya dengan senyumnya seolah ada sesuatu yang ia sembunyikan di belakangnya.

"Iya? Ada apa?" Lanjutnya karena aku tak kunjung mengatakan sesuatu.

"Waras kan?" Tanyaku tanpa pikir panjang.

"Of course!" Jawabnya cepat.

"Terus kenapa nolak?"

"Nolak? Nolak apa?" Tanyanya balik.

"Nolak Fareena Meeza Ar Rayyan!" Sahutku agak kesal. Entah kenapa hanya dengan melihat tampangnya saja bisa membuatku merasa sangat kesal. Dan aku harus menikah dengannya.

"Lagi nggak mood kali." Jawabnya yang tentu saja membuatku bingung.

"Nggak mood?" Gumamku semakin kesal, jika bisa aku ingin menoyor kepala plontos nya itu sekali saja. Bisa-bisanya dia memberikan alasan konyol seperti itu.

Ku hela nafas beratku, mencoba mengatur nafasku, menahan diriku sendiri agar tak menoyor kepalanya itu.

Ceklekk,,,

"Udah, silahkan masuk. Lanjut nanti lagi curcan nya." Ucap Kafa setelah membuka pintu di hadapannya.

Benar, saat ini kami sudah berada di ndalem. Tempat tinggal Kafa dan keluarganya.

"Curcan?" Gumam Shofi tak paham.

Kafa menyeringai, "Curhat cantikkk,,," Sahutnya dengan nada yang menggelikan.

Seketika bulu kudukku merinding. Apa sosok aslinya memang seperti ini? Jika memang iya, Mengerikan.

"Kalian di sini dulu, tak panggilin Abi bentar." Pamitnya lalu segera melenggang meninggalkan kami di ruangan yang terlihat hampir dipenuhi oleh lukisan-lukisan dan kaligrafi di dindingnya.

Rasanya seperti berada di museum. Setiap lukisan di tata rapi sedemikian rupa.

Semuanya terlihat sangat indah dengan perpaduan warna yang dapat memanjakan mata siapapun yang melihatnya.

Beberapa kali aku melihat jam tanganku. Rasanya sudah sangat lama Kafa keluar untuk memanggil Abinya. Apa dia sengaja? Agar aku gagal membujuknya?

"Wonten nopo ning?" Tanya Shofi begitu mendengar helaan nafasku yang terasa sangat berat.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa Shof, bosen aja nunggu di sini nggak ngapa-ngapain." Jawabku sembari beranjak dari dudukku.

Shofi menganggukkan kepalanya mengerti, sementara aku mulai menjelajah ke setiap sudut ruang tamu ini.

Mengamati setiap barang yang terpajang di sini.

Sampai netraku mendapati sebuah foto seorang pemuda berkalung medali lengkap dengan senyum bangganya.

"Kakaknya Kafa? Mending nikah sama dia daripada sama Kafa." Gumamku asal, toh tidak ada yang akan mendengarnya kan.

"Atau dia Abinya Kafa ya?" Tambahku menyadari sesuatu. Tapi sepertinya hal itu tidak mungkin, karena pemuda ini masih terlihat muda dan bahkan usianya seperti tidak jauh berbeda dengan Kafa.

Ceklekk,,,

Pintu kembali terbuka, dengan cepat aku membalikkan tubuhku, menatap sosok yang kini berdiri diambang pintu itu.

Ia lelaki yang sama dengan sosok yang tergambar dalam bingkai itu. Namun kali ini tak ada senyum di wajahnya. Tampan, tapi suram. Hanya itu yang ada di benakku saat ini.

"Siapa pemilik nama Reena di antara kalian?" Tanyanya tanpa basa-basi.

"Saya." Jawabku sedikit ragu. Apa semua orang di sini sudah tahu namaku? Seterkenal itukah aku di sini? Belum apa-apa aku sudah jadi seleb pondok di sini. Mengagumkan.

Ia menatapku dengan tajam, dan menghela nafas beratnya. "Ikuti saya." Ucapnya lalu segera melenggang keluar tanpa menunggu respon dariku.

Memang terkesan tidak sopan untuk ukuran orang yang baru bertemu. Tapi aku hanya bisa mengikutinya seperti anjing yang mengekor pada tuannya. Mengingat aku hanya orang asing di sini.

Dasar keluarga aneh! Semua orang yang ada di sini aneh!

Termasuk diriku?

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang