06

26 8 1
                                    

Langkah kami terhenti tepat di depan sebuah kolam ikan dengan beberapa tanaman hias yang tertata rapi di sampingnya.

Ia terdiam untuk sejenak, lalu membalikkan badannya menghadapku namun tanpa memandangku.

"Apa masih kurang jelas? Untuk apa lagi kamu ke sini?" Tanyanya to the poin.

Aku mendongakkan kepalaku untuk bisa menatapnya. "Apanya?" Sahutku tak mengerti. Terlebih dia ini siapa aku saja tak tahu, jadi apanya yang kurang jelas?

"Jawaban saya."

"Jawaban apa? Saya nggak tanya apa-apa kok." Timpaku masih tak mengerti.

"Saya serius."

"Saya juga!" Jawabku semakin lantang.

Ia membuang mukanya dan menghela nafasnya yang terdengar berat. "Astaghfirullah hal adzim." Gumamnya.

"Kenapa istighfar?" Tanyaku cepat.

"Nggak kenapa-kenapa." Jawabnya.

Aku pun menghela nafasku. "Astaghfirullah hal adzim." Gumamku mengikutinya sembari mengelus dadaku.

"Kenapa istighfar?" Tanyanya ganti.

"Ikut-ikutan aja."

Ia tersenyum, senyum kaku yang terlihat sangat ia paksakan. "Sepertinya keputusan saya untuk menolak menikahi kamu sudah sangat tepat." Ucapnya sedikit lirih.

Aku menatapnya lekat, apa maksudnya?

"Maksudnya? Nolak? Nolak apa? Jangan ngadi-ngadi deh."

"Orang aneh." Tambahku lirih takut ia mendengarnya.

"Menolak untuk menikah dengan kamu."

"Haa?" Responku tak paham.

"Siapa yang mau nikah sama kamu? Orang yang dijodohin sama saya itu Kafa. Gus Kafa, bukan kamu." Celetukku sembari bersedekap dada dan menatapnya semakin tajam.

"Saya Kafa." Timpanya yang sontak membuatku mematung.

Tadi yang ku temui juga Kafa kan? Lalu, dia juga Kafa? Kafa ada dua? Atau bagaimana? Sekarang kepalaku terasa akan mengepul. Aku tidak bisa mengerti dengan semua ini. Tempat ini benar-benar anehh, Ya Allah tolong hambamu ini, jangan buat hamba gila seperti mereka.

"Kafathan Shaka Makareem." Sambungnya yang membuat kedua alisku bertautan.

Apa ini prank?

Aku mengamati ke sekeliling kami, tak ada kamera ataupun alat perekam lain di sini.

"Kalau kamu Kafa, terus yang tadi siapa? Kafa gadungan? Jangan ngaco ah,," Gumamku semakin pusing memikirkannya.

"Yang jelas sekarang saya minta kamu untuk segera pulang, karena saya tidak akan merubah keputusan saya. Apapun alasannya." Ucapnya yang membuyarkan isi kepalaku.

"Tunggu! Kalau kamu memang Kafa, atas dasar apa kamu menolak untuk menikah denganku?" Timpaku sebelum ia melangkah meninggalkanku di sini.

"Tidak ada alasan."

"Tapi perjodohan ini kan udah diatur dari dulu. Jadi nggak ada alasan buat menolak."

"Kalau memang dirasa tidak cocok ataupun tidak suka, perjodohan bisa dibatalkan."

"Nggak cocok? Apanya yang nggak cocok? Cocok cocok aja tuh." Timpaku tanpa pikir panjang.

Ia terdiam, menatapku dengan tatapan yang sedikit menakutkan. Menurutku.

"Kamu masih terlalu dini untuk menikah."

"Udah 18 tahun!"

"Usia kita berbeda sangat jauh."

"Sejauh apa? Sejauh surabaya jogja? Atau sejauh bulan dan bintang?" Timpaku tak terima.

Seketika suasana menjadi hening, ia tak mengatakan apapun. Termasuk diriku. Aku berfikir sejenak. Jika bukan karena ucapan ku pada Gus Bara kemarin, tak mungkin juga aku mau menikah dengannya.

"Bukannya dulu kamu ya yang udah janji sama Ummi buat jaga putri kesayangannya?" Ucapku yang berhasil merebut perhatiannya.

"Menjaga bukan berarti menikahi."

"Tapi menikahi berarti menjaga kan!"

Ia menyeringai dan kembali membuang mukanya.

"Oke! Kalau emang kamu nolak perjodohan kita, bisa bebas dong artinya aku." Celetukku.

"Cowok tadi kayaknya oke tuh. Sabi deh kayaknya." Tambahku sembari memutar bersiap untuk meninggalkannya.

"Cowok tadi? Siapa?" Tanyanya spontan.

"Kafa gadungan." Jawabku cepat dan muli melangkahkan kakiku.

"Nggak. Jangan sama dia. Dia bukan orang yang cocok untuk membimbing kamu."

"Terserah dong! Emangnya kamu siapa ngatur-ngatur segala?"

MENGGAPAI RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang