Sepertinya memang benar penyesalan selalu datang paling akhir. Contohnya sepertiku saat ini yang menyesal karena bilang akan menikah sama seperti Gus Bara sialan itu.
Tapi bisa dibilang aku juga tidak menyesal karena bisa melihat ekspresi Gus Bara yang terlihat terkejut dan tak percaya. Intinya aku menyesal tapi juga tidak menyesal.
Sampai tanpa sengaja aku teringat pada anak ompong yang berfoto dengan Ummiku.
Maksudnya laki-laki yang sudah dijodohkan denganku bahkan sebelum aku lahir dan merasakan pahitnya dunia ini.
Lagian bisa-bisanya Ummi menjodohkanku dengan anak ompong itu, apa Ummi pikir aku tidak bisa mencari calon suami sendiri? Ahh tapi sudahlah, itu juga sedikit menguntungkanku sekarang.
"Abi." Panggilku pada Abi yang berada tepat di sebelahku.
"Hemmm?" Responya yang masih foukus menikmati alunan shalawat yang mengiringi haul malam ini.
"Reena mau nikah." Bisikku agar tak ada yang mendengarnya selain kami berdua. Oh, maksudnya selain kami berdua dan Allah, hehehe.
Sontak Abi menatapku lekat dengan kedua bola matanya yang membulat. Dan tanpa aba-aba Abi meletakkan telapak tangan kanannya di jidatku, memastikan jika tak ada yang salah denganku.
"Hahaha, makan dulu sana, kamu laper ya?" Jawab Abi yang membuatku tersenyum ramah, saking ramahnya mungkin jika saat ini ada bayi yang lewat dia akan menangis karen senyumanku yang menawan ini.
"Bukan laper Abi, tapi mau nikah." Ucapku srius.
"Oh." Jawab Abi tanpa melihatku sedikitpun kembali fokus pada para pemain hadrah di depan sana.
"Serius Abi." Tekanku karena tak puas dengan respon Abi yang hanya seperti itu.
"Abi juga serius."
"Tapi kok kayak nggak serius gitu sih bi!"
"Terus Abi harus gimana? Teriak-teriak bilang setuju gitu? Atau bilang setuju sambil kayang?" Jawabnya yang hanya bisa ku terima dengan lapang dada.
Yah, memang seperti inilah Abiku. Pohon tidak jauh dari buah jatuhnya?
Buah jatuh tidak pohon jauhnya?Yahh intinya seperti itulah. Kalian pikir saja sendiri. Kepalaku pusing.
*****
Dua hari berlalu semenjak aku mengatakan setuju untuk menikah dengan lelaki ompong itu, dan hari ini Abi dan Mbah Yai datang menemui keluarganya yang ada di Surabaya untuk menanyakan perihal perjodohan yang pernah Ummiku dan Umminya lakukan dulu. Terlebih sudah delapan belas tahun berlalu, takutnya keluarga lelaki itu sudah membatalkan rencana perjodohan mereka.
"Kafa nolak. Dia nggak mau nikah sama kamu katanya." Ucap Abi yang sontak membuat kedua bola mataku membelalak lebar.
"Nggak mau nikah sama Reena? Yang bener aja dong Bi!" Tanyaku memastikan pada Abi yang memang baru saja kembali dari rumah laki-laki bernama Kafa itu.
"Ngapain Abi bohong?" Sahut Abi lalu menyeruput secangkir teh yang ku bawakan untuknya.
Akupun segera beralih pada Mbah Yai yang juga sedang menyeruput teh nya.
"Bener mbah yai?" Tanyaku ganti, karena aku tahu jika mbah Yai tak akan mungkin berbohng padaku. Pada cucu kesayangannya.
"Bener. Katanya karena kamu masih kecil."
"Yang bener aja dia nolak bidadari kayak Reena gini! Biar Reena datengin sendiri aja kalau gitu!" Celetukku tak terima dan langsung di tahan oleh abiku.
"Kamu itu perempuan, harusnya kamu cuma nunggu, bukan malah yang ngejar kayak gini. Harga diri girls." Ucap Abi yang sontak membuatku mengernyitkan dahiku.
"Nunggu tapi kalau yang ditunggu jalan ditempat sama aja dong Bi. Nggak bakal sampai ke tujuan." Jawabku dan langsung melenggang menuju kamarku untuk mengambil tas selempang kesayanganku.

KAMU SEDANG MEMBACA
MENGGAPAI RASA
Romancekalian pernah bertemu dengan Nuaiman? Jika belum artinya kita sama. Tapi, Mbah Yai pernah berkata jika aku adalah Nuaiman, tapi versi perempuannya. Kalian percaya? Jika tidak artinya kita sama lagi, hehehe. Tapi cerita ini bukan tentang Nuaiman. Me...