FOREVER WINTER

102 16 0
                                    

Panasnya sinar matahari di luar sana sama sekali tidak memberiku kekuatan untuk mencari sandaran untuk bertahan sampai sejauh ini. Meskipun lemah, kakiku masih bisa menopang tubuhku meski setiap langkah terasa begitu menyakitkan. Setiap udara yang kuhirup terasa menyesakkan seperti sedang berdiri tengah-tengah keramaian manusia yang gemar berebut kekuasaan. Telingaku masih dapat mendengar suara meskipun terkadang sulit untuk menerima ocehan dari sembarang orang yang mengeluhkan hal-hal kecil. Atensi yang dulunya untuk bersenang-senang, kini berubah untuk memenuhi kedamaian batin. Aku akan tersenyum dengan lebar, tertawa dengan keras, dan bersikap ramah bak seorang anak kecil di depan mereka semua. Tapi saat lampu mulai temaram dan suara detak jantungku sendiri mulai terdengar jelas, aku akan mematung di atas tempat tidurku dan berpikir untuk mati. Bahkan anjing peliharaanku tahu bahwa majikannya sedang dalam kekalutan yang luar biasa.

Untuk apa aku dihadirkan di dunia ini jika tidak ada seorangpun yang menginginkan? Bahkan diriku sendiri tidak menginginkan kehadiranku. Tidak ada lagi tujuan pasti untuk membuatku mempertahankan kehidupan yang membuatku harus menenggak racun keabadian setiap hari yang hanya akan menyiksaku tanpa membuatku mati meskipun aku memohon kepada siapapun untuk mencabut nyawaku. Kedua orang tuaku memang baik dan sangat mengerti aku sebagai seorang manusia tapi aku tidak tega jika harus berbagi semua bebanku pada mereka. Usia mereka tak lagi muda dan rapuh. Meskipun tampak baik-baik saja, keduanya menyimpan sebuah brankas raksasa yang berisi seluruh permasalahan hidup yang tak berujung. Aku hanya bisa mengandalkan diriku sendiri.

"Aku lelah." Ucapku tatkala seseorang di sampingku sibuk mengutak-atik mainan Lego.

"Tidurlah. Aku akan membangunkanmu jika mereka sudah tiba." Katanya tanpa mengalihkan pandangan dari susunan balok warna-warni itu.

Aku hanya tersenyum dalam diam. Dia benar-benar tidak mengerti maksud ucapanku. Salahku memang karena selalu terlihat baik-baik saja kepada dunia yang berperan penting dalam kerapuhan diri. Aku lantas menurutinya, bukan untuk tidur tapi memejamkan mata. Di dalam kamar yang dingin tanpa banyak perabot di dalamnya, aku menarik nafas dalam dan tidak terasa bahwa mataku berhasil menjadi lebih berat. Terima kasih karena pada akhirnya aku bisa tidur tanpa harus menenggak lima butir pil setiap hari.

Suara samar memanggil namaku, terdengar seperti sebuah teriakan namun terkesan lirih. Air mengalir dari sudut mataku dan perlahan aku tidak bisa merasakan apapun, termasuk mendengar suara deru nafasku sendiri. Untuk sesaat, aku merasakan kedamaian yang untuk pertama kalinya bisa kurasakan tanpa adanya pikiran-pikiran miring tentang ketidakadilan di dunia ini. Aku yakin aku sudah tertidur pulas cukup lama, sekitar dua atau tiga jam mungkin? Perasaanku menjadi jauh lebih tenang dari sebelumnya dan siap untuk menjalani hari ini.

"Dia bangun!" Pekik seseorang di sampingku.

"YA! DO KYUNGSOO! Astaga! Bagaimana bisa kau nekat memotong urat nadimu sendiri?! Jika kau ada masalah, ceritakan pada kami! Kau pikir dengan mati semua masalahmu menghilang begitu saja? Jangan bercanda dengan kematian! Aku bersumpah jika kau mengulanginya sekali lagi, aku tidak akan pernah memaafkanmu!" Katanya dengan air mata yang tidak berhenti mengalir di pipinya.

Aku baru menyadari bahwa saat ini aku tidak sedang berada di kamarku. Kamarku memiliki dinding usang berwarna kekuningan sedangkan tempat ini memiliki dinding kokoh yang dicat dengan warna putih tulang. Tubuhku belum mampu untuk diangkat meskipun hanya untuk duduk. Aku terlalu lemah untuk menopang massa tubuhku sendiri.

Pandangan kuedarkan ke seluruh penjuru ruangan dan mendapati salah seorang dari mereka duduk sambil menatapku nanar. Saat matanya yang bagai obsidian itu menyapa tatapanku, tubuh jangkungnya dibawa berlari untuk memelukku yang bahkan masih belum mampu untuk mengeluarkan satu kata apapun. "Maafkan aku karena tidak berhasil menerjemahkan isyaratmu. Aku mohon jangan secara mendadak pergi tanpa berpamitan dengan layak."

Entahlah, seperti ada sesuatu yang sangat besar dalam diriku yang akhirnya meluber melalui air mata yang secara mendadak keluar dari pelupuk mataku. Ah! Aku baru ingat jika orang ini adalah Park Chanyeol, laki-laki yang telah menjadi temanku sejak belasan tahun yang lalu. Kemudian seseorang yang menyumpahiku tepat setelah aku membuka mataku adalah Byun Baekhyun, seorang sahabat lama yang tidak akan pernah berkhianat.

Chanyeol baru melepaskan dekapannya saat seseorang dengan jas putih datang. Sial! Aku baru saja menyadari bahwa tempat ini adalah kamar rumah sakit. Semua peralatan mengerikan yang tertempel di tubuhku. Tolong untuk semuanya yang ada disana, jangan ada yang mengeluarkan setetes air mata pun. Aku tidak ingin menjadi pelaku utama dalam kesedihan yang berlarut untuk mereka.

"Semuanya baik. Saya akan memberi rujukan ke klinik kejiwaan untuk penanganan trauma." Kata dokter.

Chanyeol kembali merengkuh tubuhku. Aku ingin meneriakan namanya dan menghambur dalam pelukannya, berharap tidak akan pernah terlepas lagi. Sayup-sayup terdengar Baekhyun, Sehun, dan Jongin yang menangis. Ini pertama kalinya dalam hidupku melihat ketiganya menangis. Mungkin karena ketiganya adalah sosok humoris yang menjadi panutan banyak orang? Bolehkah aku bersyukur sekarang karena dianugerahi orang-orang yang memanusiakanku? Setidaknya aku tidak lagi merasa hanya punya diriku seorang diri saja yang bisa diandalkan.

TIGA TAHUN KEMUDIAN (Third Person POV)

Semburat keunguan terlukis gamblang di langit senja, menghantar sang fajar pulang. Kyungsoo duduk bersandar di kursi panjang sebuah taman yang biasa dikunjungi saat masih sekolah menengah. Kedua mata dengan kacamata yang bertengger apik di jembatan hidungnya itu sibuk mengeja setiap kata isi dari sebuah buku Harry Potter yang belum sempat ia selesaikan sejak dirinya sibuk mengejar gelar sarjana delapan tahun yang lalu. Seseorang datang dengan dua es krim di tangannya. Ia menyerahkan es krim berwarna mint pada Kyungsoo yang dengan senang hati diterimanya.

"Kurasa kau tidak akan pernah bosan memakan es krim rasa pasta gigi." Kata Chanyeol yang sekarang sudah duduk tenang di samping kekasihnya yang baru dilamarnya tiga bulan yang lalu.

"Jangan hiraukan aku. Nikmati saja es krim mu." Balas Kyungsoo tanpa peduli dengan Chanyeol yang sudah menertawakan ucapannya tadi.

"Aku tidak menyangka kita berdua sudah berhasil sampai sejauh ini. Terakhir kali aku berada disini saat kelulusan sekolah dan kau memberiku sekotak kimbab karena aku belum makan sedari pagi." Kata Chanyeol, menjabarkan setiap kenangan yang dialaminya saat masa mudanya masih berjaya.

"Ya. Aku juga masih sangat ingat kau pulang dengan seragam lusuh karena menumpahkan kuah odeng." Kata Kyungsoo.

"Hei! Itu bukan kesalahanku. Orang aneh itu yang menabrakku." Sangkal Chanyeol.

"Ya ya ya... lagi pula siapapun yang salah aku tidak peduli. Pukul berapa sekarang?" Tanya Kyungsoo sambil meraih pergelangan tangan Chanyeol yang terpasang sebuah jam tangan dengan harga ratusan juta won. "Pukul lima. Baiklah ayo kita pulang. Aku takut Zzar dan Meokmul akan mengacau dengan perabotan."

Kyungsoo berdiri lebih dulu untuk merapikan bajunya. Saat akan melangkah, Chanyeol menahan tangan Kyungsoo. Diraihnya tangan yang jauh lebih kecil darinya itu dan dan diusapnya bekas luka yang sangat ketara meski sudah tiga tahun berlalu. Chanyeol menatap dalam mata tunangannya itu sambil berkata, "Terima kasih karena sudah bertahan sampai sejauh ini. Aku tidak akan pernah berhenti merapalkan rasa syukur setiap saat karena kehadiranmu di dunia ini. Aku tahu aku bukan sosok sempurna untukmu tapi percayalah, aku akan memberikan seluruh hidupku hanya untukmu dan selalu akan seperti itu. Aku mencintaimu, Do Kyungsoo."

THE END

LITTLE THINGS THEY DO - SHORT STORY COMPILATION OF CHANSOOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang