RUMAH SAKIT

133 5 1
                                    

Suasana di malam hari yang begitu sunyi serta hembusan angin dingin yang membuat Dipta membawa motornya dengan kecepatan penuh. Mukanya dipenuhi kecemasan terhadap apa yang ia dengar. Suara rintihan kecil itu membuat hati dan pikirannya tak terkendali.

Sesampainya di rumah sakit, ia langsung turun dari motornya, tak lupa untuk mencabut kunci kontak yang terpasang pada motornya. Ia berlari kecil menuju pintu masuk utama yang berada di depan ia memarkirkan kendaraan.

Dipta menuju ruang pendaftaran dan administrasi, yakni ruang pertama yang terlihat setelah melewati pintu masuk. Dipta yang melihatnya lantas pergi menghampiri petugas yang sedang berada di ruangan tersebut. Dipta menanyakan di mana kamar sang ibu dirawat, setelah mendengar jawaban dari petugas, ia lantas pergi meninggalkan ruangan tersebut. Sesekali pandangannya mengarah pada lalu-lalang orang. Menatap kerumunan manusia penunggu nama mereka dipanggil, duduk berdesakan di kursi panjang dengan lubang-lubang berdiameter seukuran diameter pensil.

Saat banyak orang bergembira di luaran sana, ternyata ada sedikit banyak insan merintih merana. Ketika sekumpulan anak bermain-main dengan teman-temannya di sekeliling rumah, pada waktu yang sama pula beberapa anak menunggu orang tuanya membawakan obat. Betapa banyak Dipta menjadi tahu, bahwa kesehatan adalah satu hal yang amat penting.

Beberapa saat kemudian, akhirnya Dipta menemukan kamar yang ditujunya. Terlihat tulisan besar dengan berlabel nama IGD. Ia bertemu dengan ayah dan adik kecilnya. Tak tega melihat adiknya menangis, ia menghampiri untuk memeluk badan yang mungil itu. Lalu ia berjongkok untuk menyetarakan tingginya, melihat pipi gembul sang adik sudah penuh dengan air mata, ia mengusap sisa-sisa air mata itu perlahan dengan ibu jarinya.

Dipta membelai lembut kepala adik kesayangannya. "Bunda pasti baik-baik saja," ucap Dipta yang membuat adiknya berhenti menangis.

"Yah, apa yang terjadi pada bunda?" tanya Dipta yang tak menerima jawaban dari Ayahnya. Bertepatan dengan dokter yang keluar dari dalam ruang IGD.

"Bagaimana dengan keadaan bunda saya, Dok?" tanya Dipta, dengan muka penuh cemas menunggu jawaban sang dokter.

"Kondisi ibu Nayana saat ini sudah membaik, tetapi untuk saat ini beliau membutuhkan istirahat yang lebih, agar tidak memperburuk kondisinya."

Dipta yang mendengarnya lantas melepas napas lega. "Bolehkah saya melihat kondisi bunda, Dok?" setelah diperbolehkan untuk melihat bundanya, Dipta segera masuk keruangan IGD. Lantunan suara elektrokardiogram terdengar sangat nyaring di telinganya, mata yang melihat ibundanya tertidur lemah di ranjang rumah sakit, dengan selang infus yang terpasang ditangannya. Lalu ia menghampiri seraya memegang tangan yang sangat pucat milik Nayana.

Tanpa disadari Dipta meneteskan air matanya, setelah melihat kondisi Bundanya saat ini. Tidak pula dengan adiknya menangis dengan kencang yang membuat seisi ruangan dipenuhi suaranya.

Perlahan bulu mata pekat itu terbuka. Menampakkan iris kecokelatan yang membiaskan keteduhan. Senyuman perlahan tersungging, sejalan dengan gurat tipis di sisi-sisi bibir perempuan yang usianya tak lagi muda itu. Pelan ia berkata pada si sulung. "Bunda gak apa-apa, Dipta. Jangan khawatir begitu." Tangan wanita yang senantiasa memberikan dekapan hangat pada Dipta sedari kecil mengelus pelan punggung tangan pemuda itu, memberikan ketenangan.

Lalu matanya beralih pada anak keduanya yang berdiri dengan linangan air mata. "Nala, jangan nangis gitu, ah. Jadi jelek, tahu." Senyuman simpul masih terpatri di wajahnya. Betapa hati Dipta tak terenyuh melihat ketegaran sang bunda, padahal di tangan kanan wanita itu terpasang selang infus yang menjuntai.

"Ih, Bunda. Aku tuh cantik tau. Iya 'kan Kak?" tanya Shaynala terhadap sang Kakak dengan nada manjanya, serta memperlihatkan wajah cemberutnya.

Dipta yang melihat tingkah laku Adiknya membuat senyuman tipis terukir di wajah yang sendu menjadi ria. "Iya, Kyomi Shaynala, gadis yang paling cantik sedunia." Balasnya dengan pujian yang membuat adik kecilnya tersenyum seraya memperlihatkan gigi putihnya.

Terdengar suara pintu yang terbuka secara perlahan diiringi suara langkah kaki. "Permisi." Seorang perawat masuk kedalam ruangan yang diikuti oleh Ayah Dipta.

"Bunda sudah sadarkan diri?" tanya Aldeen terhadap anak sulungnya.

"Iya, Yah. Bunda sudah sadar," ucap Dipta.

"Ayah. Bunda kenapa bisa jadi begini? Apa Bunda sakit, Yah?" rintih Shaynala terhadap Ayahnya.

"Bunda baik-baik aja, Bunda hanya kecapean." Aldeen mengelus lembut rambut sang anak. Pandanganya teralihkan kearah perawat yang sedang mengecek kondisi Nayana. "Bagaimana Suster dengan hasilnya, apakah istri saya boleh pulang atau harus menginap disini?" tanya Aldeen.

"Untuk saat ini kondisi Ibu Nayana sudah membaik, tetapi masih belum diperbolehkan untuk pulang. Setidaknya membutuhkan tiga hari disini untuk memperbanyak masa pemulihan."

"Terima kasih banyak, Sus," balasnya Aldeen.

"Baik, sama-sama. Untuk ruangan Ibu Nayana saat ini sedang di persiapkan." Selesai dengan tugasnya ia pergi meninggalkan ruangan tersebut.

"Bunda, Nala pengen nemenin Bunda di sini." Shaynala memajukan bibir bawahnya.

"Cup ... cup, anak kecil harus sekolah, besok katanya ada tugas, udah dikerjain belum tugasnya?" tanya Dipta.

"Hehehe, belom. Tapi ini mau dikerjain kok, asalkan Kak Dipta bantu kerjain yaaa. Please." Balas Shaynala dengan nada manja yang membuat mereka tertawa dan seisi ruangan penuh dengan suaranya.

"Iya, Cantik. Kak Dipta pasti bantuin kamu." Dipta memegang tangan Nala. "Bun, Yah. Dipta pulang dulu ya sama Nala. Besok kita kesini lagi pas pulang sekolah." Dipta menarik tangan Nala untuk mengajak pergi dari ruangan tersebut.

"Dadah Ayah, dadah Bunda!" teriak Nala terhadap kedua orang tuanya. Mereka keluar dari ruangan IGD, serta menuju ke tempat parkir untuk mengambil motor Dipta. Ekspresi wajah yang sangat bahagia terpancarkan dari keduanya, senyuman sumringah terlihat begitu jelas untuk menunjukan rasa yang amat senang, setelah mengetahui kondisi dari wanita yang telah melahirkan mereka.

Setelah beberapa saat membelah jalanan yang lengang kedua anak manusia itu akhirnya sampai di rumah. Sesuai apa yang dijanjikan oleh Dipta kepada sang adik untuk membantu menyelesaikan tugasnya. Tugas yang amat mudah bagi Dipta, dia memang murid yang sangat pandai. Gelar itu tak cuma omongan belaka, walau memang dia memiliki geng yang ditakuti, tetapi dia sangat tekun dalam melakukan hal yang sangat dia sukai.

Dipta yang melihat adiknya tertidur lelap setelah menyelesaikan tugasnya. Wajar saja dia sudah nangis begitu lama yang membuat tubuh anak itu merasa lelah. Dipta yang membawa adiknya ke kamar, dia juga kembali ke kamarnya sendiri untuk mengistirahatkan tubuhnya.

Thunder WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang