"Berisik!" Pekikan keras dari seorang siswi yang membuat seisi ruangan terdiam sejenak. Mata mereka tertuju pada arah suara tersebut. "Bisa gak sih, kalo lagi main basket jangan pake kekerasan? Lagi pula kalian cuma main have fun aja. Liat semua orang ketakutan melihat kalian berantem!" ketusnya.
"Gak usah ikut campur lo!"
Serentak Dipta dan kapten musuh membuka suara bersamaan.
"Ngapain lo ngikutin gue?"
"Eh, bangsat. Lu yang ngikutin omongan gue!" balas Dipta.
"Gue bilang cukup, ya cukup. Kenapa masih pada ribut sih," ucap Aruna.
Keributan yang terjadi membuat beberapa anak berlari menuju ruang kepala sekolah. Mereka melaporkan bahwa ada perkelahian di lapangan basket saat ini. Mendengar itu, sang kepala sekolah langsung bergegas menuju tempat kejadian.
Mukanya langsung merah padam sebab marah sewaktu melihat dua anak manusia sedang adu jotos di tengah kerumunan orang-orang. Bahkan emosinya semakin menjadi, saat melihat tak ada satu orang pun yang melerai.
Kepala sekolah berjalan cepat, menarik Dipta dari perkelahian. "Apa-apaan kalian ini? Dipta, kamu adalah murid pandai, kenapa kamu seperti ini? Kamu mau membuat nama sekolah ini kurang baik?" Nada sang kepala sekolah penuh tekanan. Begitu juga dengan cengkeramannya di lengan Dipta.
"Kamu juga Devano. Kalian itu satu team, seharusnya kalian itu mendalami kerja sama team basket, untuk pertandingan di semifinal nanti. Tinggal tiga hari lagi tournament tingkat SMA." Pandanganya teralihkan ke pria yang terlihat darah segar di hidungnya. "Kalian berdua saya hukum, kelilingi lapangan sebanyak dua puluh kali," ucap Pak Salim.
"Tapi Pak. Masa dua puluh kali, sih!" balas Devano. "Gara-gara lo, gue jadi kena hukum juga." Pria itu menarik kerah baju basket milik Dipta.
"Bapak gak mau tahu, kalian harus cepat akur gimanapun caranya," ucap Pak Salim. "Pak Dandang, liatin mereka berdua. Tidak ada yang namanya toleransi buat murid yang berkelahi di lingkungan sekolah." Lalu Pak Salim pergi meninggalkan kerumunan tersebut untuk kembali ke ruangan kepala sekolah.
Para murid kelas satu, dua, dan tiga yang melihat raut wajah kepala sekolah yang dipenuhi oleh emosi yang bergema, terlihat pucat dan merasa ketakutan setelah mendengar kalimat yang dilontarkan oleh kepala sekolah.
Dipta bergumam pelan, hampir tak terdengar. Ia menepis tangan Devano yang mencengkeram kerah bajunya. "Kalo lo gak mau hukumannya lebih buruk, terima aja terus laksanakan. Gak usah banyak omong." Mata cokelatnya memandang Devano tajam, setajam sebilah pisau.
Devano menarik napas dan membuangnya kasar. "Oke. fine," sinisnya. Dia mulai menggerakkan kaki mengelilingi lapangan, dan disusul oleh Dipta.
Guru olahraga, dan para murid seluruh jenjang sekolah menengah atas, memperhatikan dua orang yang sedang mengelilingi lapangan dengan penuh antisipasi. Tak senjang dengan Aruna. Tatapannya fokus pada Dipta, di mana pria itu beberapa kali tampak mengusap hidung.
Aruna yang melihat Dipta merasa kasihan terhadapnya. Tiga menit berlalu setelah percekcokan terjadi, kedua pria di lapangan sana telah berkeliling tujuh kali rupanya. Satu persatu murid mulai membubarkan diri. Sudah tak penasaran dengan apa yang terjadi. Demikian Aruna. Gadis dengan rambut tergerai sebahu itu berjalan menuju kantin.
*******
Kantin lumayan ramai diisi para penikmat segelas es teh dan mi. Entah berapa banyak anak duduk di kursi yang memanjang dengan meja tak kalah panjang, Aruna tak sempat menghitung. Dia lebih memilih langsung menuju ke arah kulkas, mengambil sebotol air mineral. Sejenak dia terdiam di depan kulkas. Pikirannya melayang pada Dipta di lapangan.
Aruna berbisik, "Anak itu pasti capek banget. Gak apalah, satu lagi." Dia meraih sebotol air mineral dingin lagi. Lalu dibawanya menuju tempat pembayaran. Tak lupa, dia juga meminta sekotak tisu.
Aruna menyerahkan selembar uang, setelah mengambil kembalian, dia berjalan menuju lapangan kembali. Sembari menenteng kantung berisi barang belanjaannya.
Hanya memerlukan beberapa saat saja untuk dirinya kembali berasa di area lapangan. Tertangkap penglihatannya Dipta tengah duduk di tepian lapangan sambil mengibas-ngibaskan baju. Keringat pria itu menetes di dahi. Membasahi kulit bercorak kuning langsatnya. Aruna terdiam sejenak, mematung menatap Dipta beberapa detik. Entah mengapa, sekarang pria di depan sana tampak tampan.
Aruna menggeleng. Dia kembali melangkah. Setibanya di samping Dipta, gadis bergigi rapi itu mendudukkan diri. Tangannya mengulurkan sebotol air mineral dingin. "Gerah, 'kan? Gak usah nolak, gue cuma kasian ngeliat lo kayak kecapean gitu." Pandangannya lurus ke arah lapangan. Bukan karena sombong tak mau menatap Dipta, tapi dia tak ingin terpikat pesona pria di sampingnya.
Dipta melirik Aruna. Ragu-ragu mengambil botol dari tangan Aruna. Pada akhirnya, dengan menekan gengsinya yang setinggi langit, dia menerima. Membuka tutup botolnya dan menenggak isi botol itu hingga separuh habis.
Sedangkan Aruna melirik sekilas, berdecak dalam hatinya. Ya elah, udah dikasih bukanya makasih, kek, atau apa gitu. Hanya saja, ia begitu enggan untuk berucap. Saat melirik wajah Dipta, dia menyadari ada noda darah hidung mancung itu. Bahkan beberapa lebam tercetak di sebagian kulit wajahnya.
"Hidung lo ada luka, tuh. Gak mau diobatin dulu gitu?" tanya aruna.
"Iya, gue tau. Buat gue gak masalah, udah biasa," ujarnya sembari menatap Aruna, "gak, gue tarik ucapan yang tadi. Ayo, lo harus ikut. Lo yang mau ngobatin, 'kan?" Dipta menarik pergelangan Aruna, membuat gadis itu berdiri dan membawanya menuju ruang UKS.
"Lah, kok gue sih?" Aruna memberhentikan kakinya yang membuat Dipta menoleh ke arahnya. Dipta tak memedulikan perkataan Aruna, ia langsung melanjutkan perjalanannya serta menarik tangan Aruna tepat di pergelangannya.
Beberapa saat Dipta dan Aruna telah sampai di dalam ruangan UKS. "Duduk dulu aja, atau gak tiduran buat melemaskan otot-otot lo." Aruna terlihat amat sibuk mencari obat antiseptik di kotak P3K, terlihat banyak sekali tumpukan obat-obat yang lainnya.
Setelah menemukan obat tetes antiseptik, tak lupa juga ia mengambil satu bongkahan kapas dan sebotol alkohol medis. Aruna kembali ke tempat Dipta yang mengistirahatkan ototnya, menatap fokus ke arah wajah tampan pria tersebut. "Tahan, ya. Cuma sedikit sakit, sih," ujar Aruna.
Tangan Aruna perlahan-lahan mulai membersihkan kotoran yang berada pada luka-luka Dipta, ia amat bingung melihat Dipta tampak seperti tidak merasakan apa-apa, bahkan Dipta tampak sedang melamun melihat dirinya. Aruna dari tadi tak sadar jika Dipta memperhatikannya.
Sejenak, Aruna terpaku. Matanya yang sedari tadi fokus menatap lebam di wajah Dipta, kini teralih pada mata pria itu. Hening, dua pasang mata itu rupanya saling merasuki. Berkelana pada masing-masing sudut hati lewat tatapan. Entah mengapa, bagi keduanya sekarang, keheningan pun terasa seperti instrumen musik yang merdu.
Aruna terkesiap. Begitu juga dengan pria yang ia tatap. Dua anak manusia itu sekarang sama-sama membuang pandangan dari satu sama lain. Antara enggan dan canggung. Untung saja, Aruna sudah menyelesaikan acara mengobati luka kebiruan di wajah Dipta. Gadis itu berdiri, menenteng kotak obat setelah meletakkan kembali apa yang ia ambil dari sana. Lantas diletakkannya kotak obat itu di rak UKS. Tempat semestinya peralatan medis sekolah ditaruh.
Aruna berdehem. Sebenarnya itu hanya akal-akalan supaya kecanggungan mereda. "Udah selesai. Lo gak mau ngucapin terima kasih, gitu? Untung gue ngobatin, coba kalo gak. Muka lo pasti bakalan jelek."
Di atas ranjang, Dipta melotot mendengar ucapan Aruna. "Gue udah tampan dari lahir. Luka kecil ini gak bakal bikin gue sejelek itu." Rupanya ia tak terima dengan ejekan kecil yang Aruna lontarkan. Sebab, hanya gadis itu yang bisa mengatakan dirinya buruk rupa.
"Udah, lah. Gue mau ke kelas dulu bentar lagi pelajaran terakhir dimulai," ujar Aruna.
Mata elang Dipta menatap sinis, gadis yang baginya begitu menyebalkan. Bagaimana tidak? Dengan entengnya Aruna pergi setelah mengejek muka lebam akibat pukulan Devano. Bahkan, Aruna pergi sama sekali tanpa beban. Seakan-akan Dipta memang makhluk yang tepat untuk dicemooh saat ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thunder Wolves
Teen Fiction{UPDATE SETIAP HARI SABTU} ******* Sebuah cerita yang menceritakan seorang remaja pada masa-masa sekolah yang berisi tentang pertemanan, penghianatan, percintaan dan kerusuhan yang ada. PRADIPTA MULYA SAMUDRA kerap disapa Dipta merupakan ketua geng...