Samar-samar suara debur ombak terdengar dari kejauhan. Pertanda jarak mereka dan laut semakin terkikis. Jalan yang semula berupa bebatuan kini perlahan-lahan berubah menjadi butir-butir pasir. Udara malam bercampur dengan aroma asin dari lautan. Suara gemuruh motor terdengar memasuki area villa yang terlihat begitu mewah dari kejauhan.
Kini satu persatu seluruh anggota Thunder Wolves menaruh motornya di tempat parkir yang berada di depan villa tersebut. Villa itu merupakan bisnis milik orang tua Erlangga, sejal awal ia berencana ingin mengajak teman-temanya berlibur di sini, walaupun esok hari tetap sekolah, tapi mereka semua sudah siap membawa seragam sekolahnya masing-masing.
Setelah semuanya dirasa sudah siap, para anggota melepas sepatu mereka dan menginjak butiran halus pasir pantai yang putih itu. Dipta telah berdiri di depan anggotanya dan memberikan perintah setiap anggota dikelompokkan menjadi empat. Kelompok pertama ditugaskan membuat bumbu penyedap rasa, kelompok kedua menyiapkan alat pembakaran, kelompok ketiga menyiapkan berbagai daging, dan yang terakhir menyiapkan minuman serta tempat yang akan dijadikan dudukan dan sandaran di bibir pantai yang sejuk.
"Bantalnya ditaruh di mana?" Dari ujung pantai Radit berteriak. Di tangannya terdapat dua bantal tidur dengan pembungkusnya yang bermotif garis-garis persegi.
Erlangga terbahak. "Woy, lo mau mengasingkan diri apa gimana?" Tangannya menunjuk ke pasir yang tengah dia gali bersama beberapa anggota Thunder. "Sini! Di sana mau ngobrol sama setan lo?"
Radit menggerutu, dia kembali meletakkan bantal yang dipegang ke keranjang, di mana terdapat kumpulan bantal yang akan dijadikan sandaran empuk saat nanti mereka menyantap barbeque. Sampainya di samping Erlangga, Radit tak berhenti menggerutu, membuat dia mendapat timpukkan di bahunya.
"Udah, gak usah banyak ngomel. Bantuin menata bantalnya." Erlangga mengarahkan jari telunjuknya pada pasir yang telah digali membentuk cekungan melingkar dan memiliki bagian berundak. Bagian tengahnya disisakan lingkaran pasir lumayan tinggi sebagai meja.
Tanpa menggerutu lagi, Radit menata bantal ditangan mengelilingi bagian tingkat yang membentuk undakan menurun. Tempat yang pas untuk menyandarkan kepala. "Udah, nih. Gue gak ada tugas lagi?" Mata pria itu melirik ke arah Erlangga.
"Bawa dagingnya ke sini."
"Orang udah dibawa, kok. Noh, enggak tahu dibawa sama siapa." Dagu Radit terangkat lalu diarahkan pada beberapa anggota Thunder di sisi lain pantai yang tengah menyiapkan daging untuk dipanggang. Ada yang tengah menusuk daging, ada juga yang tengah memberi bumbu. Erlangga memberikan cengiran singkat.
"Oh, sorry berarti gue gak lihat. Tinggal nunggu mereka membawa dagingnya ke sini. Panggangannya juga udah siap."
Radit mengangguk sembari mengangkat ibu jarinya.
***
Cerita mengalir tanpa henti dari setiap mulut para anggota Thunder. Mereka saling menyahut memberi respon. Tawa mereka melambung dan berbaur dengan debur ombak. Hangat, padahal udara di pantai berembus kencang. Aroma daging panggang tercium lezat di hidung mereka.
"Enak, nih. Jangan pada _maruk_, ya. Biar buat gue aja semuanya." Ucapan dari Radit membuat semua mata tertuju tajam ke arahnya. Namun, setelah beberapa saat derai tawa datang bersamaan.
"Siap. Nanti lo makan aja semua sama panggangannya sekalian. Kita ngeliatin aja _it's oke_, kok," balas Erlangga. Sedang Dipta di antara teman-teman yang dia anggap saudara hanya menyunggingkan senyuman tipis.
Mahendra berucap, "Habis makan-makan kita ngapain, Pak Bos?" Tatapannya mengarah pada Dipta yang tengah memperhatikan teman-temannya, tapi terkadang tatapan pria itu entah mengapa seperti kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thunder Wolves
Ficção Adolescente{UPDATE SETIAP HARI SABTU} ******* Sebuah cerita yang menceritakan seorang remaja pada masa-masa sekolah yang berisi tentang pertemanan, penghianatan, percintaan dan kerusuhan yang ada. PRADIPTA MULYA SAMUDRA kerap disapa Dipta merupakan ketua geng...