SMA PANDHEGA

135 5 0
                                    

Pagi hari terasa begitu dingin bagi Aruna, di kamarnya ia sudah bersiap dengan seragam sekolah yang lengkap. Bau masakan menyerbu indra penciumannya. Sesaat setelahnya, suara bundanya terdengar. Memanggilnya untuk sarapan sebelum berangkat menuju sekolah barunya. Gadis itu bergegas turun menuju ruang makan setelah meraih tasnya yang tergeletak di atas meja belajar.

Setelah duduk, Aruna langsung disuguhi sepiring penuh makanan oleh bundanya. Membuat bola matanya membulat nyaris keluar. "Bunda, ini kebanyakan, deh," gerutunya memandang setumpuk nasi lengkap dengan lauk di piring kaca itu. Bundanya hanya terkekeh pelan.

Wanita berkepala hampir empat menanyai perihal kesiapan anaknya untuk berangkat. Menanyakan alat yang yang dibawa apakah sudah lengkap atau belum, dan pertanyaan-pertanyaan sederhana lainnya. Si anak mengangguk, lalu menyalami bundanya. Berpamitan untuk memulai perjalanan dengan ayahnya menuju sekolah, lalu bunda-anak itu saling melambai. "Sudah siap, Sayang?" tanya Bunda Aruna.

"Sudah, Bunda." Aruna langsung berdiri sembari menggendong tasnya.

"Oke, hati-hati dijalan ya, Sayang!" ucap Bunda Aruna.

"Siap, Bunda," balas Aruna yang tak lupa untuk mencium kening Bunda nya. "Dadah, Bunda," pamit Aruna.

"Dadah, Sayang," balas Aleena Beryl.

"Ayo, Nak!" teriak Rayn dari luar rumah.

"Iya, Ayah," balas Aruna bergegas menuju halaman rumahnya. Keluarga Aruna memiliki rumah mewah bertingkat dua dengan halaman yang cukup luas serta ditanami bunga-bunga yang indah.

******

"Ayo, Ayah!" seru Aruna lalu masuk ke dalam mobil Ayahnya.

"Gass, meluncur!" balas Ayah Aruna yang membuat Aruna terkekeh kecil.

Kini mobil yang dikendarai oleh Ayah Aruna telah sampai di depan gerbang sekolah SMA Pandhega. Sekolah yang begitu mewah dengan fasilitas yang lengkap. Gedung yang bertingkat-tingkat dengan halaman yang sangat luas.

SMA Pandhega yang merupakan salah satu sekolah internasional ternama yang memiliki murid-murid berprestasi, serta menciptakan generasi emas. Yang selalu menerapkan program pendidikan STEAM ( Science, Technology, Engineering, Arts, And Math).

SMA Pandhega memiliki Fasilitas seperti laboratorium sains berteknologi tinggi, perpustakaan multimedia, ruang kelas digital, serta ruang musik, hingga memiliki fasilitas olahraga seperti kolam renang, lapangan futsal, dan lapangan basket outdoor maupun indoor.

Banyak siswa dari SMA Pandhega yang diterima di perguruan-perguruan tinggi terkemuka di seluruh dunia seperti. University of Cambridge, University of Oxford, dan lainnya.

Namun terlepas dari semua itu, tetap saja SMA Pandhega memiliki segerombolan anak muda pada umumnya yang memiliki geng motor untuk melindungi serta pasang badan jika ada sekolah lain yang mengganggu kenyamanan sekolah dan siswa siswinya.

********

"Mau Ayah anter gak, nih?" tanya Ayah Aruna.

"Gak usah, Yah. Aruna 'kan bisa sendiri," jawab Aruna.

"Belajar yang rajin ya," ucap Ayah Aruna.

"Siapp, Komandan!" Aruna seraya menirukan gaya hormat.

Ayah Aruna yang melihat itu hanya tersenyum. "Ayah duluan," ucap Ayah Aruna seraya melesat pergi dengan mobil nya menuju ke arah kantor.

Aruna berjalan dengan santai, pandangan semua orang melihat Aruna yang terlihat begitu natural dan cantik.

"Ih, dia anak baru? Cantik banget sumpah!"

"Gue jadi insecure deh, mana natural banget."

"Keliatan banget cewek natural nih."

Ujar murid-murid yang terpanah akan kecantikan natural Aruna.

Disisi lain..

Terlihat sosok pria tampan dan keren, yang sedang berjalan tergesa gesa. Jam di pergelangan tangan pria itu menunjuk ke arah angka tujuh dan pertengahan angka tujuh.

"Aduh, udah jam segini lagi. Gue telat, gak, ya?" lirih Dipta di tengah-tengah ia melangkah. Karena tak fokus, pria itu menabrak seseorang.

"Aauww, sakittt," rintih Aruna.

"Sorry. Gue lagi buru-buru," ucap Dipta yang merasa bersalah.

"Iya, gak apa-apa, kok," balas Aruna sembari terbangun.

"Kalo gitu, gue mau lanjut ke kelas dulu," ucap Dipta.

"Tunggu!" cengah Aruna dengan nada lembutnya. Gerakan Dipta yang hendak mengambil langkah terhenti mendengar ucapan Aruna. "Gue mau nanya, ruang kepala sekolah ada di mana, ya?" tanya Aruna.

"Tanya aja sama yang lain, gue lagi sibuk!" Lagi-lagi Dipta menjawab nya dengan nada dingin.

"Kalo gue maunya sama lo, gimana?" pinta Aruna.

Dipta menghela napasnya kasar, dengan berat hati akhirnya ia mengantarkan Aruna ke ruang kepala sekolah.

Para gadis yang melihat Dipta pergi bersama murid pindahan mejadi heboh.

"Ih, itu siapa sih? Berani-beraninya deketin Dipta!"

"Kenapa milih murid baru, sih?"

"Cantikan juga gue!"

Begitulah ucapan para cewe di sana. Seperti tidak senang dengan kejadian yang mereka lihat.

Dipta dan Aruna sampai di depan pintu ruangan kepala sekolah. Dipta mengetuk pintu ruangan kepala sekolah. "Permisi, Pak," sapa Dipta.

"Iya, silahkan masuk." Dipta mengangguk, lantas menarik ujung baju Aruna.

"Maaf, Pak. Saya kesini mau nganterin murid baru," ungkap Dipta.

"Kamu Aruna, 'kan? murid pindahan dari Bandung?" tanya Pak Salim yang dijawab anggukan oleh Aruna. "Baik kamu tunggu saya disini. Untuk Dipta, kamu bisa ke kelas, karena pelajaran akan segera dimulai," tutur pak Salim.

"Baik, Pak." Dipta pun segera pergi dari ruang kepala sekolah dan menuju ke kelasnya. Sesampainya didepan kelas, ternyata kelas tersebut sudah memulai pembelajaran.

Ketukan pintu yang terdengar begitu nyaring di telinga Bu guru, ia menolehkan pandanganya ke arah pintu yang sedikit terbuka dikarenakan dorongan tangan Dipta.

"Silahkan masuk," sahut seorang guru yang sedang mengajar di kelas XII A.

"Diptaa ... Dipta. Minggu lalu kamu datang telat, dan sekarang telat lagi. Untuk kali ini saya maafkan, minggu depan kalo kamu telat lagi silahkan berdiri di lapangan sampai jam saya habis. Paham? Silahkan duduk," gerutu Bu Sari. Yang merupakan guru matematika di SMA Pandhega.

Dipta kemudian menuju ke tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

*****

Bel berbunyi dua kali, tanda jika jam pelajaran praistirahat usai dan para murid diperbolehkan keluar kelas.

"Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini kita cukupkan sampai di sini. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya. Dan untuk Dipta ingat pesan Ibu." Guru matematika itu pamit undur diri, sembari membereskan buku pelajaran. Sedangkan Dipta hanya membalas dengan deheman singkatnya.

"Woi, Dip. Kok lo bisa telat lagi, sih? Padahal tadi jam enam udah gue telpon." Mahendra menghampiri kursi yang diduduki oleh Dipta.

"Biasa," jawab Dipta yang masih setia dengan muka temboknya.

"Lo capek enggak sih, tiap hari kek gini? Gue aja yang dengerin capek," keluh Mahendra.

Muka datar milik Dipta berubah menjadi sendu setelah mendengar ucapan Mahendra. "Kalo dibilang capek ya capek, Dra. Tapi, semuanya demi bunda!" balas Dipta.

"Sabar, semuanya pasti ada jalannya. Intinya lo harus tetap semangat! Ingat ada gue!" Mahendra merangkul pundak Dipta guna memberi semangat.

"Thanks." Dipta membalas dengan senyuman samar di bibir.

"Udah ah, ngapain sedih-sedih mending makan. Ingat sedih juga butuh tenaga." Ajaknya Mahendra menarik baju Dipta. Akhirnya dua sahabat tersebut pergi ke kantin untuk mengenyangkan perutnya.

Thunder WolvesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang