Mendengar kalimat yang diucapkan adiknya, Dipta tampak sedih serta membuat dia terdiam sejenak tak bisa mengeluarkan kata-kata di mulutnya. Walaupun dalam lubuk hatinya dia tak terima dengan sikap teman sekolah Nala. Semua kekesalan dipendamnya. Tak pernah sekalipun pria itu menampakkan raut marah, entah kapan dan di mana pun ia berada. Dingin, kesan yang nampak pada wajah pria beralis tebal itu.
Di dalam benaknya hanya memikirkan bagaimana ia bisa membuat adiknya kembali senang. Terlintas di pikirannya untuk membelikan sesuatu kepada adiknya. Dipta memutuskan untuk mampir ke minimarket, karena ia ingin membelikan es krim kepada Nala, sekaligus buah-buahan untuk bundanya. Tak lupa juga ia membeli minuman kesukaannya.
********
Kini Dipta sedang memilih buah-buahan yang nampak segar di matanya, lalu ia menaruh semua buah pilihannya itu ke dalam keranjang belanja yang ia bawa. "Nala boleh, kok. Ambil es krim yang kamu suka."
"Kak Dipta, Nala mau es krim ini. Boleh?" Nala menunjuk sebuah es krim yang berwarna hijau menandakan rasa matcha di dalamnya.
"Boleh, sekalian ambilkan minuman kesukaan Kak Dipta," ujarnya Dipta menyuruh Nala untuk mengambil minuman rasa jeruk, untuk menyegarkan dahaganya di sore hari.
Keduanya pun selesai berbelanja dan menuju ke kasir untuk membayar belanjaan mereka. Kasir pun mulai menghitung total belanjaan Dipta, semuanya berjumlah tujuh puluh ribu. Pria itu lantas meminta sang kasir untuk menaruhnya pada tote bag yang dia beli. Guna dipakai membawa belanjaan pengganti dari kantong plastik.
Walaupun kantong plastik sudah menjadi barang keseharian yang dibutuhkan oleh banyak orang, terkait pembungkus dan alat bawaan yang mudah dan murah. Nyatanya kantong plastik memiliki kekurangan, karena tidak mudah diurai oleh tanah. Oleh karena itu tote bag menjadi pilihan alternatif bagi Dipta.
*******
Dipta serta adiknya pun keluar dari minimarket, dan melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit dimana bundanya dirawat. Terdengar deruman motor yang meluap-luap ke atas awan. Nampaknya sore itu jalanan dipenuhi oleh kendaraan yang lalu-lalang.
15 menit berlalu akhirnya mereka telah sampai di rumah sakit, mereka langsung berjalan masuk ke ruangan bundanya, dan mereka sampai di dalam ruangan VIP. Terlihat bundanya sedang tertidur lelap di atas kasur serta selimut yang menutupi setengah dari badanya.
Dipta mendudukkan diri pada kursi sebelah ranjang bunda. Mengusap lembut tangan wanita itu tatkala kedua kelopak mata sang bunda terbuka. Senyuman simpul tampil pada wajah pemuda berbaju hitam yang kini menatap dengan penuh kelembutan pada wanita yang melahirkannya. "Dipta bawain buah buat Bunda." Tangannya lalu menunjuk pada tote bag berisi buah di atas nakas.
Bundanya melirik ke meja sebelah, lalu menatap pada anak gadis di sebelah Dipta. "Oh iya, Bun, tadi Nala sekalian kubawa."
Bunda Dipta mengangguk. "Kebetulan ayah juga mau ke sini, nanti biar Nala pulang bareng ayah aja." Suara bunda begitu lembut. Suara yang selalu terdengar sama di telinga anak-anaknya kapan pun masanya.
Tak berselang lama setelah beberapa perbincangan ibu dengan dua anaknya itu, pintu kamar rawat terbuka. Memperlihatkan sesosok pria dengan kaca mata yang bertengger anteng di batang hidung pria dengan sedikit uban itu.
"Itu ayah, kalo gitu. Dipta pamit dulu, ya, Bun." Dipta berdiri, lalu menyalami bundanya takzim.
Saku celana Dipta terasa bergetar diiringi dengan suara panggilan dari ponselnya, Dipta yang mendengar suara itu langsung mengambil ponsel yang berada di sakunya. Lalu dia mengangkat panggilan telepon yang menayangkan nama 'Erlangga' di layar ponsel miliknya.
"Dip, lo lagi di mana? Kita udah nunggu di markas," ucapnya.
Balasnya Dipta, "gue bentar lagi sampe." Lalu Dipta mematikan ponselnya, dia lantas pergi dari lingkungan rumah sakit, dan bergegas menuju tempat anggotanya kumpul.
********
Di lokasi markas Thunder Wolves berkumpul, sudah ada lima puluh orang berserta Radit, Mahendra, dan Erlangga.
"Gimana Lang? Dipta udah sampe mana?" tanya Mahendra yang sedari tadi lalu-lalang di depan Erlangga.
"Dia bilang bentar lagi sampe," sahut Erlangga.
Dari luar markas terdengar suara yang tak asing di telinga mereka, suara motor yang sedang dikendarai oleh Dipta. "Nah, itu Dipta udah dateng," celetuk Radit.
Dengan waktu yang berdekatan setelah Radit menceletuk, pintu markas terbuka. Menampilkan Dipta yang datang mengenakan kaus hitam, lalu dia masuk.
"Tumben telat Pak Bos?" Erlangga yang sedang duduk di kursi bertanya, ada nada sindiran di kalimatnya.
Dipta menghela napas lalu menjawab, "Biasa." Sesingkat itu memang. Erlangga melambaikan tangan, sudah tahu apa yang menjadi kebiasaan Dipta.
"Kirain habis apel sama ayang." Dipta melotot mendengar ucapan Radit. Sedang yang dipelototi hanya melempar sebuah cengiran.
"Berapa yang udah dateng?" Dipta lalu bertanya pada Radit, membuat pria itu langsung menghitung jumlah anggota yang telah hadir di markas.
Seluruhnya merupakan murid SMA Pandhega. Markas yang digunakan oleh mereka berada tak jauh dari rumah Dipta, merupakan tempat berkumpulnya mereka selama tiga tahun ini, dan juga menjadi tempat pertama yang mereka kunjungi ketika bolos sekolah.
"Pas, udah dateng semua." Radit mengangkat ibu jarinya ke udara dan tersenyum ke arah Dipta, sedangkan pria yang dilempari senyuman hanya mengangguk.
Dipta melambaikan tangan, menyuruh anak buahnya mendekat. Lalu seluruh anggota Thunder Wolves yang sedang berbaris di hadapan Dipta, sudah tidak sabar untuk diberi perintah oleh ketua mereka.
"Kalian ingat acara kita malam ini? Semua barang yang diperlukan sudah terkumpul, 'kan? Kalau gitu, ayo sekarang pergi. Ingat tidak ada yang mencari keributan, ini perintah!" Dipta memandang satu persatu anggota Thunder Wolves. Pria itu berdiri tegap di depan anak buahnya.
Setelah semua dirasa siap, anggota motor itu lantas keluar markas, menyalakan motor mereka masing-masing dan melaju meninggalkan markas beriringan.
***
Jakarta, malam hari. Tampak lampu-lampu yang menghiasi tiap sudut ibu kota. Kendaraan pun tak sedikit yang berlalu lintas. Dinginnya malam terasa hangat dengan adanya pantulan lampu-lampu bangunan pencakar langit di setiap pinggiran jalan.
Lampu merah, menandakan semua harus menghentikan laju kendaraan. Dipta dan anggotanya meminggirkan motor, khusus pada area pemberhentian kendaraan.
Dipta mengangguk, mengangkat satu tangannya ke arah semua anggota. "Siap? Harus rata, ya." Pria itu mengangkat kantung besar yang telah ia bawa dari markas ke pinggiran jalan, ke gang-gang, dan tempat di mana anak-anak serta para tunawisma berkumpul.
Beberapa orang tua berjejer, duduk bersandar pada tembok yang berlumut. Betapa teriris hati Dipta, melihat kondisi mereka yang seharusnya hidup nyaman menikmati masa tua malah harus merasakan dingin tanpa perlindungan di luar. Banyak sekali diantara mereka yang masih tidur dengan selembar kardus, menggunakan pakaian yang sudah tidak layak pakai, dan ada pula anak-anak yang kurang mendapatkan makanan-makanan sehat.
"Tuhan yang kirim semua barang ini ke Bapak dan Ibu lewat kita, semangat terus ya, Pak! Semoga menjadi berkah. Terima kasih telah berjuang." Dipta memberi makanan, serta beberapa kain dan pakaian ke tunawisma diikuti para anggotanya.
Bermacam-macam orang yang terduduk beralaskan kardus itu tersenyum menerima barang yang Dipta serahkan, berterima kasih. Bukankah menebar kebaikan tak harus saat siang hari dan tampak oleh mata orang lain? Bukankah menebar kebaikan boleh dilakukan oleh siapa saja? Bukankah tak semua anak geng motor itu buruk akhlak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thunder Wolves
Fiksi Remaja{UPDATE SETIAP HARI SABTU} ******* Sebuah cerita yang menceritakan seorang remaja pada masa-masa sekolah yang berisi tentang pertemanan, penghianatan, percintaan dan kerusuhan yang ada. PRADIPTA MULYA SAMUDRA kerap disapa Dipta merupakan ketua geng...