Siang itu diisi dengan keributan kecil. Tatapan sinis mengarah kepada Dipta yang tengah berdiri santai memandang lelaki di depannya. "Jadi, lo terima gak tantangan gue?" tanya pria itu. Tatapannya masih menembus tajam ke netra cokelat milik Dipta.
Pria yang ditatap terkekeh. Balas menatap dingin orang yang menantangnya. "Oke, gue terima. Kita lihat, siapa yang akan jadi bahan tertawaan dan siapa yang akan menjadi sanjungan." Tangannya mendorong tubuh pria itu keras. Membuat topangan kakinya sedikit limbung.
Dipta lalu berjalan ke arah gudang sekolah, mengambil bola basket yang disimpan. Setiap langkahnya selalu dalam pantauan pria tadi.
"Dra, panggil anggota basket kita ke sini. Ada kutu yang menantang kita siang ini." Mahendra mengangguk. Lalu berlari menuju kelas dan memanggil seluruh anggota basket yang diketuai oleh Dipta.
Setelah beberapa saat, mereka datang. Berbondong-bondong seperti segerombol serigala yang berjalan dengan langkah ringan. Satu anak menaruh lengannya di kantung celana. Sedang satu yang lain mengeratkan hoodie yang dikenakannya. Tak jarang ada pula yang tebar pesona, sebab para gadis-gadis sudah berkumpul bersiap menyaksikan pertandingan basket juara mereka.
Mereka satu persatu menempatkan diri di lapangan. Dipta memandang bola berwarna oranye dengan garis hitam yang membentuk pola linier oval di sekujur bulatannya. Sedetik kemudian barulah tatapannya beralih pada pengecut yang mencoba bermain-main dengannya. "Kalau kalah, jangan nangis, ya," sinisnya dingin. Suaranya yang dalam membuat sedikit tekanan atmosfer di udara.
Ketua dari pihak lawan berdecak. Lalu menjawab dengan nada tak kalah sinis, "Lo pikir gue apa, hah?" Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menatap pada Dipta dengan tatapan meremehkan. "Gue gak lemah, tim kami juga gak seburuk itu." Kakinya beranjak mendekat selangkah pada Dipta.
Para gadis yang duduk di tribun, fokus mereka hanya satu. Dipta. Pria dingin yang penuh karisma dan juga berkesan itu membuat gadis manapun penasaran. Tak lain dengan Aruna. Setelah mendengar ada pertandingan basket, gadis itu bergegas menuju lapangan dengan penasaran. Pertandingan seperti apa yang mungkin akan terjadi di sana?
Aruna duduk, di deret paling depan. Dorongan dari mana, ia juga tak tahu adanya. Sebab tiba-tiba saja rasa penasaran merasuki hatinya. Bagaimana tidak? Hampir semua siswi hadir di sana sekarang. Menatap ke arah tengah lapangan dengan antusias yang tinggi.
Aruna penasaran. Bukan kepada pria yang sedang mengejar bola basket yang membuat mereka setertarik itu untuk menonton pertandingan, melainkan dengan jalannya pertandingan di depan mata. Sejenak Aruna terdiam. Menatap pada Dipta, agaknya pria itu sangat fokus dengan bola basket yang memantul di lantai.
"Cakep, sih. Tapi terlalu dingin." Aruna menepuk bibirnya pelan. Menyadari ucapan ngasal yang keluar dari mulutnya itu. Dia lalu melirik ke sekitar, berharap tak ada yang mendengar. Sepertinya memang tidak, semuanya kini tengah fokus menyaksikan persaingan sengit antara tim Dipta dan lawan. Setelah dirasa tak ada yang curiga, ia mengembuskan napas lega.
Dipta mengangkat tangannya. Meminta salah satu anggota tim melemparkan bola ke arahnya. Lalu dengan gerakan cepat, dia berhasil menangkap, menggerakkan kakinya secepat mungkin, mendribel bola menuju ring lawan. Para penonton menahan napas, saat pihak lawan berjalan cepat, hendak menerjang Dipta. Hampir saja pekikan terlepas dari mulut yang menyaksikan aksi itu, sebelum akhirnya Dipta melangkah lebih cepat, mendorong kakinya melambung ke udara, lalu membuat gerakan seakan-akan hendak melakukan teknik jump shot. Padahal, itu hanya tipu daya. Saat orang-orang menatapnya dengan awas, saat itu juga ia memutar tubuh, mengayunkan lengan melengkung dan melakukan lompatan tinggi, serta mendorong bola ke arah ring. Teknik slam dunk berhasil dilakukan dengan sempurna. Seruan-seruan meriah langsung memecah suasana. Tepuk tangan langsung menggema di seluruh sudut lapangan.
Tim Dipta berhasil mencetak angka pertamanya. Dua-kosong. Hal itu membuat pihak lawan tak terima. Menjadi semakin ambis untuk mendapatkan angka.
Sepanjang permainan, semuanya berjalan sesuai keinginan Dipta. Gerakannya yang lihai mampu melenakan para penonton. Bahkan berhasil membuat lawan tercengang dengan setiap gerakan tiba-tiba. Sekarang skor lawan tertinggal jauh di bawah.
Decakan frustasi semakin sering terdengar dari mulut ketua lawan. Sering kali tangannya mengacak rambut dengan kasar. Menatap anak timnya dengan tatapan sebal. "Bisa lebih serius lagi gak? Kita bisa jadi bahan olok-olokan kalo kalah!"
Beberapa anggota menunduk. "Emang bukan lawan kita, Bos. Lo aja yang terlalu ambis buat menang." Ucapan itu membuat darah ketua semakin mendidih.
"Apa lo bilang? Kita bisa menang! Lo aja yang terlalu pesimis!" Pukulan keras mengenai pipi anggota yang protes. Lalu si ketua menempatkan diri lagi di lapangan.
Sepanjang kompetisi berlangsung, suasana semakin memburuk bagi pihak lawan. Gerakan Dipta tak pernah lengah sedikitpun. Sedangkan satu persatu anggota lawan mulai kehilangan minat untuk melanjutkan pertandingan.
"Kalo gue gak maju, semuanya gak selesai." Ketua maju, berhasil mengambil bola basket dari tim Dipta. Bukannya menggiring bola menjauh, dia malah melemparkan bola itu keras-keras ke arah Dipta. Persis mengenai kepalanya. Membuat tubuh pria itu tersentak terjatuh.
"Dipta!" Teriakan penonton yang syok dengan peristiwa tiba-tiba itu melambung ke langit-langit lapangan. Di mana lapangan basket sekolah mereka memang dibangun di dalam gedung. Satu persatu turun, berlari tergopoh-gopoh mengerubungi Dipta.
Selama itu juga, ketua tim lawan tersenyum puas. Seakan-akan telah berhasil mendapatkan hadiah besar dari usahanya. "Lo bisa menang, tapi gue bisa curang, Dipta."
Dipta memegang kepalanya, pening. Lelaki itu lantas menatap tajam pada sosok berkaus oranye yang berdiri lumayan jauh dari kerumunan. Mata Dipta berapi, menyiratkan ketidakterimaan dari apa yang dibuat ketua lawan.
Dipta yang terbangun dari jatuhnya, dia lantas berlari menuju kapten musuh untuk memberikan balasan apa yang dia perbuat. "Bangsat!" Bogeman keras mengarah ke muka sang kapten musuh yang begitu kencang, serta membuat darah segar keluar dari lubang hidungnya. Para anggota yang lain tidak terima dengan apa yang terjadi di hadapannya. Pekikan keras dari kedua kubu yang terdengar nyaring di lapangan, para siswa dan siswi yang lain melihat adegan itu tercengang, seakan-akan mereka tidak bisa melakukan apa-apa.
Salah satu dari siswa yang ada di sana melaporkan kejadian itu kepada kepala sekolah. Tidak ada yang bisa memisahkan dua tim yang sedang berkelahi satu sama lain.
"Berisik!" Pekikan keras dari seorang siswi yang membuat seisi ruangan terdiam sejenak. Mata mereka tertuju pada arah suara tersebut. "Bisa gak sih, kalo lagi main basket jangan pake kekerasan? Lagi pula kalian cuma main have fun aja. Liat semua orang ketakutan melihat kalian berantem!" ketusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thunder Wolves
Novela Juvenil{UPDATE SETIAP HARI SABTU} ******* Sebuah cerita yang menceritakan seorang remaja pada masa-masa sekolah yang berisi tentang pertemanan, penghianatan, percintaan dan kerusuhan yang ada. PRADIPTA MULYA SAMUDRA kerap disapa Dipta merupakan ketua geng...