Kebahagiaan tiada tara bagi Lily ialah makan bersama orangtuanya. Meski papanya tidak hadir dengan cerita tawa di restoran, Lily tetap mengabadikan momen tersebut dengan berfoto bersama mamanya. Bengkak pada ujung mulutnya yang tersenyum menghadap layar ponsel bertemankan wajah mamanya yang ikut tersenyum manis walau pada kenyataan dua-duanya menaruh perasaan miris.
"Kamu betah di Jakarta?" Ista membuka suara setelah makanan dalam mulutnya habis.
"Walaupun Lily suka diganggu atau dianiaya seperti kemarin, Lily betah, kok." Anaknya justru tersenyum tanpa beban.
"Jangan bohong, ah. Mama nggak suka."
"Beneran. Masih banyak peluang buat daftar untuk nyakitin aku yang mentalnya sebesar baja." Lily mengatakan itu dengan yakin, untuk meyakinkan mamanya dan dirinya sendiri. "Lily udah besar, Ma. Mama jangan khawatir. Lagian sebesar-besarnya masalah, pasti bisa terselesaikan. Seperti kemarin, para pem-bully pasti gak akan berani ganggu aku lagi karena temen-temenku ngehajar habis mereka."
Tahu-tahu mata Ista memanas. Berkaca-kaca. Situasi yang teralami Lily sangat jarang dialami oleh remaja perempuan lainnya, tapi mengapa anaknya tetap kuat di depannya. Anak perempuannya seakan menjelma menjadi sosok lelaki yang kuat atas situasi. Tanpa tahu serangan-serangan yang ditempuh sangat menyakitkan, sebagai bukti dirinya kembali mengalirkan air mata. Betapa bodohnya ia di mata anaknya sekarang.
"Mama kenapa nangis? Cantiknya jadi hilang, tuh ...." Lily tertawa.
"Apa Mama kasih tahu papa saja soal ini. Agar kamu bisa keluar sekolah."
Lily tersenyum lalu menggeleng. "Nggak usah, Ma. Tanggung. Tinggal satu semester lagi," katanya seraya meraih tisu dan mengusap pipi mamanya yang berlinang air mata. "Nangis boleh. Tapi kalau setiap saat nangis seperti Mama ini namanya cengeng."
"Kamu anaknya kuat banget, ya? Mama gak nyangka," Ista tersenyum tipis, "sampai-sampai kamu elak omongan Mama sama ketenangan. Padahal hidup kamu sedang tidak baik-baik."
Lily terdiam, perkataan mamanya seperti menyindir dirinya yang selalu membohongi keadaan.
"Mama gak bisa janji soal itu. Mama gak bisa diam anak Mama dianiaya. Orang tua lain pasti akan emosi anaknya ditempatkan tidak layak. Termasuk Mama. Kamu tau kan Mama balas dendamnya bagaimana?"
"Sabar, supaya dapat pahala dan orang yang aniaya Lily dapat dosa di akhirat. Itu, kan?" Lily tersenyum simpul. Matanya menengadah ke atas langit tak peduli sinar matahari menerpanya langsung dari arah samping. Yang jelas, hatinya sangat berterima kasih pada Yang Maha Kuasa. Mendadak ia merasa bersalah telah merusak pencernaannya dengan minuman berkafein seperti kopi.
Pagi bergerak menuju siang. Tapi dua perempuan itu tidak menunjukkan keletihan dalam melakukan jalan-jalan dengan senyum tak pernah lenyap. Mereka berdua tetap setia menjelajahi kota Jakarta.
Sesekali menuju mall untuk membeli tas sekolah Lily. Memasuki perpustakaan Jakarta dengan buku-buku berjajar, mereka menghabiskan waktu lama untuk membaca dan membagi ilmu.
Lily kembali menjelajah buku-buku dan tanpa sengaja Lily menangkap buku bersampul putih dengan objek robot. Ia membuka halaman demi halaman yang ditulis bahasa Inggris itu. Matanya terhanyut ke dunia buku tersebut, tak lama kemudian ia berucap lirih. "Nggak akan mungkin."
Ista melirik anaknya sekilas yang membaca buku bersampul robot itu, tentu saja ia tahu maksud perkataan anaknya. Sebersit rasa bimbang karena anaknya sudah bukan lagi bocah kecil yang bisa ditenangkan dengan kebohongan-kebohongan berupa harapan palsu. Jujur saja, dirinya tidak begitu menggubris cita-cita Lily dengan serius, hanya main-main. Tetapi Lily justru menseriusi cita-cita tersebut, membuatnya menjadi teringat penyebab kematian paman Yasim—orang yang menginspirasi Lily dalam seni merangkai.
"Mungkin saja, Ly," ujar Isna tersenyum menenangkan sambil membawa dua buku perpustakaan untuk dipinjam, hendak berlalu, "tapi untuk sekarang kamu pokus dulu belajar, ya. Jangan mengecewakan papa. Masalah pekerjaan lebih baik dipikirkan nanti saja."
Mendengar mamanya mengutarakan belajar dan jangan mengecewakan membuat Lily terusik, terlintas di benaknya tentang kesalahpahaman keluarganya antara hubungannya dengan Ryan yang dianggap berpacaran. Namun, terlambat, keluarganya sudah memercayai kesalahpahaman tersebut dan hukuman tak boleh pulang ke Bandung sudah menjadi konsekuensi dirinya sendiri.
"Mama percaya kalau Lily pacaran?"
"Tidak." Mamanya menjawab seraya berhenti berjalan, wanita itu berbalik dan sesekali menyeka rambutnya yang tergerai. "Makanya Mama sangat sangat kecewa kamu berani dekat-dekat cowok di sekolah sampai mau diajak bolos."
Lily terpaku, mencerna balik segala ungkapan bagaikan pisau itu. "Ma ...."
"Sudahlah, Ly. Ayo kita pergi, sudah lama loh kita di perpustakaan," mamanya gesit mengganti topik baru sambil tersenyum manis, "Mama gak punya banyak waktu, kita isi waktu ini baik-baik, ya?"
Lily masih terpaku, matanya tak lepas menangkap punggung mamanya yang menjauh menuju meja peminjaman buku.
"Malang amat jadi manusia. Belajar sama kerja bisa lo lakuin secara bersamaan dari sekarang," ketus seseorang dari belakang, tepatnya orang tersebut sedang berdiri di samping Lily yang bersandar di rak buku.
Lily menengadah ke samping. "Ryan? Lo gak sekolah?"
Ryan tersenyum sinis. "Gak mau ketahuan lo bolos, ya? Suratnya sakit, ini malah main. Dusta!" ketusnya lagi sambil menjajah buku-buku pelajaran yang dirasa penting.
Lily berdiri dari duduk serta sandarannya. Menatap lelaki itu agak panik. "Lo ... kenapa tahu? Kita kan beda kelas."
"Mau satu kelas, beda kelas, beda sekolah, semuanya pasti gua tahu."
"Lo intai gue?" Pertanyaan pelan Lily tak terjawab sebab Ryan sudah pergi menuju meja yang sedang didekati mamanya untuk meminjam buku.
Sementara itu, tak disangka-sangka, Ryan tanpa pamrih melempar senyuman manis kepada mamanya Lily. "Hai, Tante, ibunya Lily, ya?"
"Iya," Ista lalu menoleh ke arah Lily yang berjalan mendekatinya setelah itu menatap Ryan kembali, "tahu dari mana, ya?"
"Wajahnya mirip. Saya Ryan, dekat dengan Lily." Ryan mengatakan itu seraya membungkuk sedikit sebagai penghormatan.
Lily mengernyit. Dari gelagat Ryan yang sopan plus ramah di depan mamanya, Lily pantas merasa curiga.
Mama terlonjak. "Ryan? Oooh dia yang namanya Ryan?" tanyanya kepada Lily.
"I-iya, Ma." Lily takut-takut menjawab, jelas nama ‘Ryan’ tidak asing di benak mamanya. Selain menganggap Ryan sebagai tuduhan pacar, tapi Lily sempat mengakui Ryan yang melindungi dirinya ketika bullying kemarin.
"Oh. Terima kasih ya Ryan sudah menjaga anak saya." Mama berucap seadanya, Mama sempat mengamati Ryan yang berseragam rapi bagaikan anak bersih tanpa cela. Mendadak ia merasa tertarik pada anak itu. "Kamu pacarnya Lily?"
"Iya."
"Nggak!" Lily menyusul berbicara sembari mengoreksi ucapan Ryan.
Ryan menoleh ke arah Lily sembari tersenyum manis, senyuman yang dirasa penuh ancaman di mata Lily.
"Nggak, maksudnya iya," Lily menunduk lirih, dalam hati tengah merutuki lelaki itu. Demi Kaze aman, dirinya memilih mengikuti alur kemauan iblis itu.
Entah dari mana, Ryan merasa paling puas sekarang.
Ista ber-oh panjang sambil tersenyum cerah. "Tante titip, Lily jangan sampai terluka," ia merangkul anaknya agar mendekat, "Tante pecaya sama kamu, Ryan ...."
Lily angkat bicara. "Ma, itu berlebihan. Lily sama Ryan cuma—"
"Iya, Tant, saya pasti menjaganya. Tidak akan ceroboh seperti kemarin." Ryan memotong sembari menyeringai samar kepada Lily. "Ngomong-ngomong saya boleh bicara dua mata dahulu pada pacar saya?"
Menarik. Itu yang diambil dari sikap Ryan. Mama kira yang bernama Ryan itu anak jalanan yang mencari-cari masalah. Sekarang giliran dirinya yang bertanya-tanya mengapa Lily bolos dengan lelaki berperawakan baik itu. Mungkin ada sedikit masalah yang tak bisa dirinya ikut campur, bila begini suaminya sudah berlebihan menghukum anaknya.
Lumayan menguras waktu ketika berpikir, Mama akhirnya mengangguk setuju dan melangkah pergi keluar perpustakaan. "Mama tunggu kalian di kedai teh depan, ya ...."
Lily menatap gusar lelaki itu ketika mamanya sudah pergi. "Lo mau apa sih sebenarnya? Gue gak terima ya pembohongan ini. Pokoknya lo harus akui kebohongan tadi!"
"Hm?" Ryan berdeham sok gemas sembari mengangkat alis, ditambah memajukan wajahnya agar mendekat ke gadis pendek itu.
"Gua serius, Yan!"
Ryan tersenyum manis sembari menyipitkan kedua matanya. "Kok, Yan? Tambah 'g'-nya dong di belakang, jadi Yang. Sayaang."
Wajah Lily merah padam merasa dipermainkan. Tapi dirinya balik tersenyum manis sampai lesung pipinya terlihat. "Oke, Yang, gue bakal panggil lo Kuyang. Dengar, ya? KUYANG!" Setelah itu Lily berbalik dan mengubah raut menjadi penuh emosi.
Ryan tertawa puas melihat Lily yang emosi. Lelaki itu tetap cekikikan mengekori Lily di belakang.
Lily mengembuskan napasnya kasar. Patut ia herankan atas sikap iblis itu yang sedikit berubah, biasanya lelaki itu akan marah jika ia menyentil harga dirinya.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Lily Kacamata - [ COMPLETED ]
Genç Kurgu"Gimana rasanya bebas? Gue gak tau ... yang gue tahu, gue selalu dikekang. Dan setiap hari rasanya kayak dicekik pelan-pelan." Hidupnya diatur. Langkahnya diawasi. Suaranya diredam. Sampai di satu titik, ia bertanya, "Kalau semua ini gak berubah...