Semakin sore Kaivan semakin dibuat mumet oleh biaya sewa apartemen. Pasalnya besok ia harus sudah melunasi pembayaran sewa apartemen, apalagi dia sudah berjanji untuk melunasi selama satu tahun. Ia sudah mencoba meminta pinjaman pada perusahaan, meski jabatannya sebagai Manager tetap saja pengajuannya ditolak karena situasi keuangan perusahaan yang belum membaik. Perusahaan tempatnya bekerja ini memang belum lama di mulai, jadi wajar saja.
Kaivan menatap para staffnya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya masing - masing dari ruangannya kacanya yang penuh kaca transparan. Tatapannya kosong seperti kehilangan arah.
Melihat salah satu staffnya seorang gadis membawa karton agak besar dengan tumpukan dokumen penuh membuatnya segera berlari keluar. Ia tidak tega melihat gadis tersebut kesusahan membawa karton itu sendirian.
Kaivan langsung menangkap karton tersebut saat gadis itu hampir terjatuh. "Kau tidak apa - apa?" Tanya Kaivan, karton itu sudah berpindah tangan pada Kaivan.
"Aku baik - baik saja manager," mengambil alih karton yang dibawanya namun dicegah oleh Kaivan.
"Biar aku saja yang membawanya. Kau mau pergi kemana?"
"Ke ruang arsip."
"Baik, ku antar ke sana."
Seeikit berjalan membuat pikiran dan hati Kaivan agak tenang, ia kembali ke ruang kerjanya. Daniel sudah menunggunya di dalam, duduk di bangkunya sambil melipay kedua tangannya di atas perut.
Daniel menggelengkan kepalanya sambil berdecak. "Ck! Ck! Ck!"
"Pahlawan dari mana ini? " Sindir Daniel karena melihatnya bak pahlawan yang sigap dan siaga membantu staffnya saat kesusahan.
"Menyingkirlah aku masih banyak pekerjaan." Tentu saja Kaivan mengelak, ia menarik tubuh gemuk Daniel dari bangkunya agar segera menyingkir.
Kini mereka duduk saling berhadapan, Kaivan duduk di bangku kebesarannya sementara Daniel duduk di kursi di hadapannya yang biasa digunakan untuk menerima tamu.
"Kau terlalu baik pada gadis - gadis, apa tidak takut membuat mereka salah paham."
"Salah paham apanya? Aku ini hanya membantunya, memangnya dimana salahnya." Tanya Kaivan dengan santainya sambil membuka dokumen pekerjaan yang dibawa oleh Daniel.
"Coba pikirkan, kau ini seorang atasan. Pekerjaan sepele seperti ini tidaklah pantas turun tangan langsung."
"Hanya masalah sepele, kenapa dibesar - besarkan."
"Terserah kau saja," Daniel yang sudah lelah memberitahu Kaivan. "Yang jelas aku sudah memberitahumu, kedepannya jika terjadi sesuatu jangan menyesal atau merengek padaku."
Kaivan langsung menghentikan pekerjaannya, menatap Daniel dalam - dalam.
"Ada apa?" Tanya Daniel bingung. "Apa kau sudah menyesal?"
Kaivan menggeleng, ia melihat staffnya di luar. Mereka masih sibuk dengan pekerjaan masing - masing. "Apakah aku bisa meminjam uang?" Tanyanya lirih.
Daniel menyipitkan matanya, dahinya juga mengerut sampai kedua alisnya hampir menyatu. "Ada apa? Kenapa kau tiba - tiba jatuh miskin?"
Kaivan menghela nafas. "Tabunganku telah habis untuk melunasi hutangnya lagi."
Daniel sudah paham hutang siapa yang dia maksud, sebab mereka sudah berteman lama. Tak jarang dulu Daniel juga sering memberi pinjaman uang pada Kaivan saat kuliah, kedua orang tuanya ekonominya memang cukup baik.
Tanpa berpikir panjang atau bertanya - tanya lebih dalam lagi, Daniel mengeluarkan dompetnya. Ia memberi sebuah kartu ATM untuk Kaivan. "Gunakan ini."
Kaivan menggeleng, mengembalikan ATM tersebut pada Daniel. "Kau transfer saja, aku tidak membutuhkan banyak uang."
Kaivan tidak menerima ATM yang diberikan oleh Daniel karena ia tahu di dalam ATM tersebut sudah pasti ada uang yang cukup banyak. Sementara ia tidak mau meminjam uang terlalu banyak pada Daniel, ia hanya tidak ingin membebani Daniel secara terus menerus.
"Kau gunakan saja," Daniel berusaha membujuk.
"Sungguh aku hanya membutuhkan beberapa ribu dollar saja."
"Aku juga serius gunakan saja kartu ini, keperluan mu pasti sangat banyak."
Mereka saling bertatapan, beradu tatapan sejenak. Akhirnya Daniel mengalah, ia kembali memasukkan ATM nya ke dompet. Pasalnya jika Daniel terus membujuknya pasti Kaivan malah justru tidak jadi pinjam, ia malah justru merasa bersalah jika bersikap seperti itu.
"Baik akan ku transfer sekarang."
Sementara itu Jasmine sudah ada di tempat kerja. Mengambil motor listrik dan juga jaket seragamnya. Beberapa staff lain juga berangkat bersama Jasmine. Mereka masih berkumpul di halaman depan gedung perusahaan, sambil bersiap.
"Sepertinya bulan ini bonus tidak akan masuk ke kantongmu." Ucap salah seorang rekan Jasmine pada rekan lainnya. Kedua laki - laki itu langsung menatap Jasmine yang sedang mengenakan jaket.
"Tidak tahu trik licik apa yang ia gunakan."
Salah satu dari mereka menghampiri Jasmine. "Hei anak baru, tidak bisakah kau bersikap lebih sopan pada senior?"
Jasmine menoleh kanan dan kirinya. "Kau sedang berbicara padaku?" Tanya Jasmine bingung, ia merasa tidak berbuat sesuatu yang merugikan orang lain apalagi ia baru beberapa hari bekerja.
"Tentu saja, memangnya siapa lagi kalau bukan dirimu."
"Memangnya apa yang aku lakukan sehingga menyinggung senior?"
"Aku tidak tahu, trik apa yang kau gunakan sehingga bisa mendapatkan pelanggan yang banyak. Sepertinya kau ingin sekali ya merebut bonus bulanan Edo."
Jasmine tertawa miris. "Aku tidak menggunakan trik apapun, pelangganku memang banyak karena aku bekerja dengan baik. Tidak pernah mengulur waktu saat bekerja dan menyelesaikan tepat waktu. Jika temanmu itu." Ia melirik ke arah Edo yang hanya menyaksikan mereka di MB belakang Ricky. "Mau bonusnya tetap bertahan, katakan padanya agar bekerja dengan baik jangan menyalahkan diriku."
"Kau." Kesal Ricky, tangannya sudah mengepal seperti bersiap untuk menghajar Jasmine. Tapi tidak dilakukan mengingat Jasmine adalah perempuan. Meski begitu Edo menghampiri Ricky dan berusaha menenangkannya.
"Aku tidak menyangka, wajahmu yang cantik dan lembut itu tidak sesuai dengan sikapmu." Edo pada Jasmine.
"Memangnya sikapku bagaimana?" Jasmine memang tidak ada takut - takutnya dengan kedua senior laki - laki tersebut. "Apakah sikapku sangat buruk? Aku hanya mengatakan hal yang sesungguhnya. Memangnya salah?"
"Lihatlah!" Ricky yang merengek pada Edo. "Dia memang benar - benar kurang ajar."
"Sikapku tergantung bagaimana sikap kalian padaku." Tegas Jasmine.
Salah seorang rekan Jasmine, perempuan yang usianya sudah dewasa darinya mencekal tangan Jasmine. "Jangan berdebat dengan mereka."
"Tapi dia mulai duluan kak, aku tidak pernah menyenggol mereka tapi mereka menyenggol ku. Memangnya salah jika aku membela diri."
"Jangan membuat masalah pada mereka." Marry berbisik pada Jasmine.
Jasmine menatap Edo dan Ricky dengan tatapan yang tajam. Menggulung kedua lengan jaketnya, ia sangat ingin sekali memukul keduanya. "Bahkan aku sangat ingin memukul mereka." Ucapnya lirih pada Marry.
"Masalahnya akan sangat panjang jika kau membuat masalah dengan mereka. Lebih baik kau segera berangkat dan bekerjalah dengan baik. Usahakan jangan pernah berkomunikasi lagi dengan mereka."
Edo tidak menyangka Jasmine akan seberani itu, ia juga menyeret Ricky mengajaknya untuk segera berangkat bekerja. Ia sudah tidak ingin ribut lagi dengan Jasmine, pasalnya apa yang dikatakannya memang benar adanya. Ingin mengelak bagaimana pun pasti Jasmine juga akan menyuarakan pikirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MULAI UNTUK DI AKHIRI
RomanceJasmine 15 tahun jatuh cinta dengan teman kakak laki - lakinya yang usianya 22 tahun, Kaivan. Karena kelembutan hati dan perhatian Kaivan membuatnya jatuh hati saat pertama kali bertemu. Jasmine dewasa rela berjuang di ibu kota hanya untuk mengejar...