Damian tidak berhasil membujuk Jasmine untuk diajak pulang, meski begitu Damian tidak mengadu pada kedua orang tuanya jika Jasmine telah berkencan. Dia memang percaya dengan ucapan Jasmine jika telah berkencan.
Sebagai kakak tentu saja Damian memiliki rasa khawatir tersendiri, ia takut adik perempuan satu - satunya itu berkencan dengan orang yang salah sehingga nantinya akan menyakiti hati Jasmine.
Sepulang dari rumah, Damian menghampiri Jasmine ke apartemen Kaivan. Untung saja Jasmine hari ini mengambil libur, dia memang sengaja libur bekerja karena tidak ingin Kaivan maupun Damian curiga Jasmine pergi di hari minggu. Jasmine hanya menghabiskan waktunya keluar sebentar berbelanja dan sisanya ia mengurung diri di dalam kamar sementara Kaivan dia sangat sibuk. Ia menghabiskan sehari penuhnya di ruang kerja, entah apa yang sedang ia kerjakan namun ia terlihat sangat sibuk bahkan Jasmine tidak berani menyapanya.
Mereka makan malam bersama di restaurant hot pot yang tak jauh dari apartemen. Karena bukan makan malam yang istimewa, Jasmine berpakaian biasa - biasa saja. Hanya menggunakan atasan kaos putih polos, celana jeans dan cardigan cream. Rambutnya di biarkan terurai.
Mereka duduk di meja kotak yang terdiri dari empat bangku, Jasmine duduk di sebelah Kaivan sementara Damian duduk di hadapannya.
"Aku mau memesan bir dulu," pamit Damian.
Hidangan sudah tersedia, Kaivan juga sudah mulai memanggang lembaran daging tipis. Jasmine masih diam, padahal Kaivan sudah memberikan beberapa lembaran daging yang sudah matang untuknya.
"Kenapa belum makan? Apa mau menunggu bir dulu?" Tanya Kaivan.
Jasmine menggeleng. "Aku tidak bisa minum bir jawabnya."
Jasmine mulai mengambil sumpitnya, tangan kirinya memegang perutnya nampak ia tidak nyaman. Kaivan paham, ia langsung pergi dan membawa segelas air putih hangat untuk Jasmine. "Minumlah!"
"Hah?"
"Mendapat tamu bulanan memang kurang nyaman, minumlah air itu selagi masih hangat." Ucap Kaivan.
Jasmine menatap Kaivan keheranan, tidak habis pikir mengapa Kaivan tahu apa yang sedang ia alami. "Aku melihatmu tadi pagi membeli pembalut." Jawaban dari tatapan yang diberikan Jasmine.
"Bir datang," Damian membawa beberapa kaleng bir. Ia membuka satu kaleng dan diberikan kepada Kaivan. "Hei bocah, apakah kau mau minum?" Tanya Damian pada Jasmine.
Jasmine menggelengkan kepalanya. "Aku tidak suka minum," jawabnya. "Aku permisi ke toilet dulu." Pamit Jasmine.
Damian memperhatikan langkah Jasmine, memastikan Jasmine benar - benar hilang dari pandangannya. Setelah Jasmine tak terlihat, ini adalah kesempatannya untuk berbicara pada Kaivan. Sudah menahannya sejak kemarin.
"Ada apa??" Tanya Kaivan, sudah paham dengan gelagat Damian.
Damian meneguk birnya, membasahi mulutnya yang kering itu. "Aku dengar adikku mulai berkencan."
Kaivan langsung terkekeh. "Memangnya kenapa, bukankah dia sudah dewasa? Apa yang perlu kau khawatirkan?"
Damian meneguk birnya kembali, agak sungkan membicarakan hal ini pada Kaivan namun ia juga sangat peduli dengan adik semata wayangnya tersebut. "Aku tahu dia juga sudah dewasa. Tapi sebelumnya dia tidak pernah berpacaran dan dia hidup di kota. Aku sebenarnya hanya takut jika ia salah berpacaran. Aku tidak ingin ada laki - laki yang menyakitinya."
Kaivan membuka kaleng birnya, mengajak Damian untuk bersulang. "Aku tahu kekhawatiranmu."
"Jadi ku mohon bantu aku jaga dia, jangan sampai ia di sakiti pria bajingan di luar sana."
"Baik, aku janji akan menjaganya. Bagaimana pun juga kita adalah keluarga."
Mereka kembali bersulang dan tertawa bersama, rasa khawatir Damian sedikit berkurang. Hatinya berada sedikit lebih lega sekarang.
Jasmine sudah kembali, melihat kakak laki - lakinya dan Kaivan tertawa bersama membuatnya ikut tersenyum. "Apa yang kalian bicarakan, kenapa terlihat asyik sekali?" Tanya Jasmine.
"Laki - laki akan senang jika sudah bertemu dengan bir." Jawab Damian sembarang membuat Jasmine mengerucutkan bibirnya, sebenarnya ia juga penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Namun kemudian Jasmine memilih acuh.
Mereka kembali menyantap makanannya, kali ini Kaivan memberi pelayanan penuh pada Jasmine. Ia memanggang dan memotongkan daging untuk Jasmine, ia bahkan melarang Jasmine menyentuh pemanggang itu. Kaivan juga melarang Jasmine memakan kuah hot pot yang pedas itu, khawatir pada Jasmine perutnya akan bertambah tidak nyaman.
"Kenapa kau tidak ikut makan kak?" Tanya Jasmine pada Kaivan, karena sejak tadi Kaivan hanya makan sedikit. Malah justru sibuk melayaninya, ia sudah menghabiskan setengah porsi daging yang mereka pesan.
"Aku juga ikut makan," memberi sepotong daging terakhir dari panggangan. "Makanlah perlahan aku mau menjawab telpon dulu." Pamit Kaivan.
Kaivan pergi keluar mengangkat telepon, sementara itu tinggal Damian dan Jasmine saja. Damian sejak tadi tidak banyak bicara karena ia sudah setengah mabuk, sudah menghabiskan beberapa kaleng bir sambil makan. Mungkin saja ia nanti pulang harus menyewa supir pengganti.
"Kak," panggil Jasmine.
"Hmmmm." Jawab Damian malas.
Jasmine terdiam, nampak ragu untuk bertanya pada Damian. Namun ini adalah kesempatan baik baginya pasalnya Damian sudah setengah mabuk, ia bisa bertanya - tanya dengan leluasa. Jasmine meneguk segelas air putihnya, mempersiapkan dirinya untuk bertanya.
"Ada apa bocah?" Tanya Damian mulai kesal.
"Kau sudah mengenal kak Kaivan sejak lama kan?"
"Tentu saja kami adalah teman baik sejak dulu, bahkan orang tua kita sudah menganggapnya seperti anak sendiri." Tiba - tiba Damian bercerita, padahal Jasmine belum bertanya - tanya hal yang mendalam. "Sewaktu dia kuliah itu adalah masa sulitnya, ia harus bekerja paruh waktu untuk biaya kuliah dan melunasi cicilan hutang ayahnya."
"Hutang ayahnya?"
Damian mengangguk, ia masih terus meminum bir padahal ia sudah hampir mabuk berat. "Ayahnya dulu seorang penjudi yang tidak mau bertanggung jawab dengan keluarganya, sejak SMA dia harus bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri dan ibunya sampai ibunya jatuh sakit dan meninggal. Setelahnya ayahnya di bunuh orang karena tidak bisa membayar hutang - hutang karena berjudi. Hutang itu masih terus berlanjut, semua hutang ayahnya di limpahkan pada Kaivan. Ia masih muda harus menanggung beban seberat ini sendirian. Ia juga pernah berhutang pada mama dan papa nominal yang cukup besar karena sudah dikejar - kejar para lintah darat itu. Makanya Kaivan sangat dekat dengan keluarga kita, karena dia merasa berhutang budi pada kita."
"Kasihan sekali hidupnya." Jasmine mendengarkan baik - baik cerita Damian membuatnya sangat iba.
"Jadi kau harus berbuat baik padanya. Jangan terus menerus merepotkan dia. Kau sudah menumpang padanya jadi kau harus tahu diri dan mandiri."
"Aku tahu." Jawab Jasmine. "Apakah dia memiliki pacar?" Tanya Jasmine.
Padahal ini adalah kesempatan yang sangat baik untuk bertanya karena Damian sudah mabuk berat, namun Jasmine terlambat. Kepala Damian sudah tergeletak di atas meja, sudah tidak bisa di tanya - tanyai lagi.
"Pacar?" Tanya Kaivan yang baru saja tiba, ia sudah selesai menelepon.
Jasmine langsung gugup, melirik ke arah kakaknya namun kakaknya sudah tak berdaya membuatnya lega. Tidak ada kemungkinan Damian mengadu pada Kaivan. "Itu," Jasmine sambil berpikir mencari alasan.
Pandangan Kaivan langsung beralih pada Damian. "Astaga anak ini," keluhnya melihat Damian sudah tak berdaya.
"Ayo kita pulang saja agar kakakmu bisa beristirahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
DI MULAI UNTUK DI AKHIRI
RomanceJasmine 15 tahun jatuh cinta dengan teman kakak laki - lakinya yang usianya 22 tahun, Kaivan. Karena kelembutan hati dan perhatian Kaivan membuatnya jatuh hati saat pertama kali bertemu. Jasmine dewasa rela berjuang di ibu kota hanya untuk mengejar...