[𝟙𝟛] 𝓟𝓮𝓻𝓽𝓸𝓵𝓸𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓣𝓪𝓴 𝓣𝓮𝓻𝓭𝓾𝓰𝓪

24 2 0
                                    

Perasaan Jasmine sudah tenang karena mendengar cerita kejadian saat ulang tahun Eric kala itu. Kaivan sangat khawatir pada Jasmine dan nampak tidak menyukai Eric, Jasmine berpikir cintanya tidak bertepuk sebelah tangan. Ia tinggal menunggu Kaivan memberi pengakuan cinta padanya. Jadi sudah tidak ada yang ia khawatirkan.

Kehidupan kembali seperti semula, Jasmine mulai bekerja seperti biasanya menjadi pengantar makanan sementara Kaivan juga bekerja lembur di kantor.

Malam ini ada pesanan untuk mengantarkan makanan ke sebuah hotel. Dengan perasaan senang ia pergi ke hotel tersebut tanpa rasa curiga sedikit pun.

Hotel itu tidak terlalu besar yang ada di kota Matahari. Ia meletakkan motor listriknya di samping sebuah mobil sedan yang nampak mewah. Jasmine lumayan terpikat dengan mobil berwarna hitam tersebut. Ia berhenti sejenak sambil menatap mobil tersebut sambil tersenyum, membayangkan kapan akan memiliki mobil tersebut.

Senyuman manisnya memikat pemilik mobil tersebut, Jasmine tidak menyadari jika di dalam mobil tersebut ada pemiliknya pasalnya kaca mobil itu sangat gelap.

Sebuah senyuman tipis menghiasi pemilik mobil. Kesannya begitu baik pada Jasmine, meski Jasmine hanya mengenakan celana jeans panjang, jaket seragam berwarna kuning dan helm yang senada dengan jaketnya.

Tak berlama - lama berkhayal dengan pikirannya, Jasmine tersadar untuk segera mengantarkan makanannya. Jasmine berjalan santai memasuki loby hotel. Namun langkahnya terhenti melihat siluet laki - laki yang nampak tak asing baginya. Jasmine buru - buru berlari dan bersembunyi di balik pilar besar dari hotel tersebut.

Jasmine memperhatikan kembali laki - laki tersebut, memastikan dugaannya benar atau salah. Matanya membulat sempurna setelah melihat laki - laki tersebut membalikkan badannya.

Tangan Jasmine gemetar, jantungnya juga berdegup kencang. Jasmine mengeluarkan kembali ponselnya dan melihat siapa yang memesan makanannya.

"Gawat! Tamat riwayatku!" Gumamnya.

Jasmine tak berani beranjak, ia tetap bersembunyi. Tanpa ia sadari sejak tadi pemilik mobil di depan mengikuti dan memperhatikan dirinya.

"Aku harus bagaimana ini, aku tidak mungkin mengantarkan makanan ini pada kak Damian secara langsung."

Pemilik mobil tersadar Jasmine sedang bersembunyi dari Damian karena setelah Damian pergi, Jasmine baru berani menampakkan diri.

Pemilik mobil itu menghampiri Jasmine. "Apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya pada Jasmine, membuat Jasmine terkejut. Beberapa paper bag yang dibawanya terjatuh.

Jasmine sangat gugup memandang orang yang menegurnya. Ia segera mengambil kembali barangnya yang terjatuh, bersiap untuk kabur. Dia memilih mendapatkan sanksi tidak mengantarkan makanan dari pada harus menemui Damian.

"Tunggu!" Cegah pemilik mobil tersebut ketika Jasmine hendak kabur, namun Jasmine tak mempedulikannya. Baginya sekarang lebih baik segera pergi dari tempat ini.

Sang pemilik mobil masih penasaran dengan Jasmine, ia berlari mengejar Jasmine keluar. "Tunggu!" Cegahnya.

"Maaf aku buru - buru harus mengantarkan makanan," jawab Jasmine. Jasmine langsung menaiki motor listriknya bersiap untuk pergi.

Pemilik mobil tersebut tak menyerah, ia menghadang Jasmine. "Apa kau sedang menghindari Damian?" Tanyanya.

Mata Jasmine membulat sempurna. "Apa kau mengenal kak Damian?"

Pemilik mobil tersebut mengangguk, menyodorkan tangannya pada Jasmine untuk mengajak berkenalan. "Perkenalkan aku  Alden, kolega Damian."

Jasmine menunduk memohon. "Tolong jangan katakan pada kak Damian aku ada di sini mengantarkan makanan!"

"Apa kau adiknya?"

Jasmine mengangguk. "Iya aku adiknya, aku mohon jangan katakan padanya." Jasmine kembali memohon pada Alden, laki - laki tampan pemilik mobil yang usianya seumuran dengan Damian tersebut.

"Baik, aku janji tidak akan mengatakannya."

Jasmine terus menatap gedung hotel tersebut dengan panik, benar - benar takut jika Damian tiba - tiba muncul di hadapannya.

Benar saja tak lama Damian keluar dari hotel berjalan sambil bermain ponsel, Jasmine langsung panik ketakutan. "Gawat, apa yang harus ku lakukan."

Alden ikut panik, namun pikirannya selalu berjalan. Alden membuka pintu mobilnya dan menarik Jasmine masuk ke mobilnya. "Masuklah dan runggu sebentar, aku akan menanganinya." Ucapnya. Alden juga mengambil alih pesanan yang seharusnya diantarkan kepada Damian.

Damian yang mengetahui kedatangan Alden menghampirinya. "Tuan sudah datang, kenapa tidak langsung masuk. Aku sudah memesankan kamar untukmu."

"Iya, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa terlihat bingung?"

Damian menunjukkan ponselnya. "Aku memesan makanan tapi sejak tadi tidak datang."

Alden menunjukkan paper bag yang ia sedang pegang. "Ini pesananmu."

"Kenapa bisa bersamamu?"

"Oh!" Alden terdiam sejenak sambil memikirkan alasan yang tepat. "Aku tidak sengaja tadi bertemu dengan pengantar makanan itu bertanya di loby nampak kebingungan jadi aku menawarkan diri untuk membawakan makanannya."

Damian merasa tidak enak hati, ia langsung mengambil makanannya dari tangan Alden. "Huh," kesal Damian. Ia kembali menggulirkan ponselnya. "Dasar tidak profesional, aku akan memberikannya bintang satu."

"Tidak perlu berlebihan seperti itu bukan?"

Damian meringis. "Dia sangat tidak sopan, menitipkan pesanan."

"Tidak masalah. Dia hanya karyawan kecil, jangan menyulitkannya lagi."

"Baik," Damian memasukan kembali ponselnya ke dalam saku. "Mari biar ku antar ke kamarmu!" Ajak Damian.

"Tidak perlu, masuklah dulu. Aku masih harus menelpon seseorang."

Setelah Damian pergi Jasmine segera keluar dari mobil, seperti lolos dari kematian. Jasmine menunduk berulang kali pada Alden. "Terima kasih Tuan kau sudah membantuku." Ucapnya.

"Tidak masalah," Alden tersenyum. Ia menatap Jasmine dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat Jasmine ikut menatap dirinya sendiri. "Apa keluargamu bangkrut?" Tanya Alden tiba - tiba membuat Jasmine kebingungan.

"Hah?"

"Apa keluargamu bangkrut, sehingga kau bekerja paruh waktu seperti ini. Setahuku Damian dulu pernah bercerita memiliki adik perempuan yang masih kuliah."

Pertanyaan itu baru dipahami Jasmine dan membuatnya terkekeh. "Tidak," jawabnya. "Ekonomi keluarga kami masih baik - baik saja. Hanya saja aku ingin bekerja, aku hanya takut jika kak Damian tahu aku bekerja sebagai pengantar makanan dia akan merasa cemas."

"Tentu saja dia akan cemas. Kau ini seorang gadis, bagaimana mungkin seorang kakak laki - laki melihat adik perempuannya malam - malam seperti ini bekerja di luar sebagai kurir pengantar makanan. Banyak bahaya yang mengintai mu."

Jasmine menghela nafas. "Mau bagaimana lagi, hanya ini pekerjaan yang bisa ku kerjakan. Tadinya saat di pagi hari aku masih harus mengikuti kelas, sekarang jadwal kelasku sudah berkurang. Akhir - akhir ini aku sudah melamar di beberapa perusahaan tapi tak satu pun yang menerimaku karena aku masih berstatus mahasiswi." Jelas Jasmine.

Alden merogoh sebuah kartu nama dari saku jasnya dan memberikannya pada Jasmine. "Bekerjalah di perusahaan ku."

Jasmine membacanya. "Direktur WLS Group?"

Alden mengangguk, namun Jasmine hanya menatap Alden tak menanggapi. "Tenang saja, Damian tidak bekerja di perusahaan ku. Kami hanya mitra kerja, sekaligus teman lama."

Inilah jawaban yang ditunggu oleh Jasmine. "Sungguh?" Jasmine meyakinkan kembali.

"Tentu saja."

Jasmine kembali menunduk. "Terima kasih!" Ucapnya penuh semangat. "Aku tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikanmu."

Alden tersenyum. "Cukup bekerja dengan baik, setelah mendapat gaji kau bisa mentraktirku makan."

DI MULAI UNTUK DI AKHIRITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang