37. EDELWEISS

38 5 0
                                    

"Kenapa Mama ninggalin Kiki sama Kak Girald?"

Pertahanan Amina runtuh sejak Kirei terang-terangan bertanya apa alasannya pergi. Air matanya lolos begitu saja tanpa mau dicegah, begitu banyak rasa takut yang ia pikirkan. Dirinya juga takut jika nantinya Kirei akan salah paham dan semakin membenci dirinya.

"Mama minta maaf sama Kiki, terlalu banyak kenangan buruk yang terjadi di masa lalu. Mama nggak mau Kiki sampai kepikiran hal itu. Mama juga nggak mau Kiki sakit," ucap Amina lirih, air matanya diusap pelan oleh Girald seraya memeluk dirinya. Mencoba menenangkan.

Akan tetapi, Kirei yang keras kepala tetap tidak mau dibantah. Ia kembali menuntut penjelasan hingga air mata kembali mengenang di pelupuk matanya. Sembari mencengkram kuat bajunya, Kirei mencoba memberanikan diri menatap Mamanya yang juga sama-sama terluka.

"Kiki capek sama semua kebohongan kalian, kalian sendiri yang udah ngerusak kepercayaan itu. Selama ini Kiki cuma bisa diam, Kiki juga udah jadi anak yang penurut. Tapi, apa yang Kiki dapat selama ini?" Menjeda ucapannya, Kirei mengusap kasar air matanya. "Kiki siap menerima fakta apapun meski sangat sakit, lagipula rasa sakit yang Kiki hadapi selama ini sudah mampu membuat Kiki mati rasa."

Amina mengangguk, dia juga sangat paham apa yang terjadi pada Kirei. Di saat Andre membawa pergi bayinya, Amina tidak sekalipun diperbolehkan melihat anaknya sendiri. Bahkan, setelah Girald memasuki masa remaja. Girald sendirilah yang mencari keberadaan Amina tanpa sepengetahuan Andre.

Memangkas jarak antara dirinya dan Kirei, Amina mencoba menenangkan sembari memeluk putrinya. Berulang kali ia lontarkan kata maaf, tetapi tetap saja Kirei masih keras kepala.

"Mama bakal jelasin semuanya asalkan Kiki mau maafin Mama dan berjanji untuk sembuh, setiap hari Mama selalu khawatir tentang Kiki. Meskipun Mama takut untuk bertemu langsung, di hati kecil Mama selalu merindukan Kiki." Mendengar ungkapan hangat dari ibu yang mengaku sebagai ibu kandungnya, pikiran Kirei mulai terbuka dan mau menerima Amina meski rasa takut akan kebohongan masih terasa di benaknya.

Amina tersenyum lega setelah mendapatkan anggukan kecil dari Kirei, anggukan itu membuat semangat baru dalam dirinya semakin timbul. Apa pun risikonya, ia mau bersama Kirei sepanjang waktu.

***

Di sela kegiatan bimbingan belajar tambahan di sekolah, Nathan tidak henti-hentinya memikirkan Kirei. Bahkan, beberapa kali ia kehilangan fokus dan berakhir ditegur karena ketahuan melamun. Untungnya, otak Nathan masih berfungsi dengan baik ketika guru menyuruhnya mengerjakan soal di papan tulis.

Pukul empat sore kelas dibubarkan, Nathan keluar kelas tergesa-gesa. Tidak lupa ia mampir ke kantin sebentar untuk membeli beberapa makanan kesukaan Kirei. Meski Nathan tahu Kirei sudah pulang ke rumah, akan tetapi hatinya masih saja khawatir.

Baru hendak melajukan motornya pulang ke rumah, Nathan tidak sengaja melihat Neysha di ujung jalan sendirian padahal kelas sepuluh tidak ada kelas tambahan hari ini. Dalam hati Nathan bertanya,  Neysha kenapa belum pulang?

Menepis semua ego dan gengsi Nathan terpaksa menyapa duluan, sejujurnya ia masih tidak paham kenapa hatinya masih saja peduli terhadap Neysha begitu pula dengan Kirei. Dirinya tidak bisa memilih.

"Kenapa belum pulang?" tanya Nathan kemudian membuka helm yang ia pakai.

Tidak mau berharap apapun, Neysha memilih pergi daripada menanggapi pertanyaan Nathan. Neysha masih kecewa kepada Nathan.

Sebelum sempat pergi pergelangan tangan Neysha lebih dulu ditahan oleh Nathan. Lewat dari tatapannya, Neysha merasakan jika Nathan masih peduli kepadanya.

"Lepasin kak, aku mau pulang. Tadi habis kerja kelompok makanya baru pulang," ungkapnya tanpa sadar memberi penjelasan. Sontak Neysha menggerutu dirinya sendiri karena ceroboh.

EDELWEISS [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang