39. EDELWEISS

69 6 0
                                    

Terlalu banyak duka yang tertuang dalam kisah keluarga ini, meski sudah mencoba berpura-pura tegar. Nyatanya, rasa penyesalan dan sakitnya terlalu besar.

Girald menghampiri adiknya kemudian mencoba memeluk erat tubuh mungil itu walaupun penolakan keras dari Kirei menamparnya.

"Kiki anak baik nggak boleh ngomong kayak gitu lagi. Kakak minta maaf sama Kiki, ya. Kakak janji nggak bakal kayak gitu lagi. Damai, ya? Kakak bakal sedih kalau Kiki benci Kakak," pinta Girald sembari menahan lengan Kirei yang ingin memukulnya.

"Ternyata selama ini aku salah menaruh harapan kepada kalian, aku pikir selama ini kita saling menjaga dan saling menyayangi ternyata semua itu hanya pura-pura, ya?" Anak itu melepaskan diri dari Girald lalu bangkit dari duduknya. Bersembunyi di balik tubuh Nathan yang sedari tadi diam.

Tubuh Kirei bergetar hebat meski kedua kakinya terasa lemas sebisa mungkin ia mencoba bertahan agar tidak terlihat lemah di hadapan orang-orang.

"Ayo kita keluar," ajak Nathan diangguki pelan olehnya. Sebelum mampu dicegah, Nathan sudah lebih dahulu memberi kode agar Kirei bisa sedikit lebih tenang.

Sesak di dada Nathan kian terasa setelah melihat Kirei masih menangis dalam pelukannya. Ia bahkan tidak tahu sedalam apa luka Kirei, menyesal mungkin sudah terlambat.

Sembari mengusap punggung Kirei pelan, Nathan berkali-kali mengucapkan kalimat penenang. Namun, masih tidak kunjung berhasil. Kesabarannya sudah cukup terkuras. Menempuh jalur memaksa, Nathan melepas pelukannya. Tangannya mendarat tepat di pundak Kirei, menatap mata Kirei yang sudah memerah akibat terlalu banyak menangis.

"Nggak perlu menyalahkan diri sendiri, lo nggak salah apa-apa. Sejak kecil kita sudah berteman, gue tahu gimana sifat lo. Gue nggak mau lo terus-terusan larut dalam kesedihan, sekarang lo punya gue untuk tempat lo bersandar. Seandainya dulu lo nggak nutupin semua rasa sakit ... mungkin gue ... gue nggak ak-." Sebelum dapat menyelesaikan kalimatnya, Kirei lebih dahulu memotong ucapannya.

"Nathan juga berhak bahagia, jangan sama Kiki terus. Kiki ngerti kok, selama ini orang-orang hanya berpura-pura bahagia,'kan? Kiki nggak akan menuntut Nathan yang macam-macam lagi, Kiki bakal ngejauh dari semuanya." Meski matanya kembali ingin mengeluarkan air, Kirei masih tetap bertahan pada posisinya. Pura-pura tegar.

Mendengar kalimat tidak masuk akal itu Nathan menggeleng keras, sudah cukup banyak kebahagiaan yang terbentuk semenjak dirinya bersama dengan Kirei. Menjadi asing kembali bukanlah pilihan yang tepat, selama ini sosok Kirei masih menjadi pemenang dalam setiap kisahnya.

"Lo gila? Segampang itu lo ngomong? Gue nggak mau lo ngomong gitu lagi, gue hanya ingin kita berbagi rasa sakit itu bersama. Seperti yang selalu kita lakuin selama ini, lo lupa sama janji kita?"

Tatapan frustasi terlihat jelas dari wajah Nathan, apalagi saat ini Kirei membelakanginya. Tarikan nafas berat ia keluarkan 'guna melepaskan semua ego dan emosi, Nathan takut kata-katanya akan membuat Kirei semakin hancur.

Setelah semuanya terasa lebih tenang, Nathan mencoba memeluk erat Kirei kembali, tidak ada penolakan sama sekali. Bernafas lega lalu berkata, "kita nggak pernah tahu gimana isi hati orang lain, Ki. Gue juga nggak tahu gimana isi hati lo, karena lo selalu nutupin semuanya dari gue. Gue cuma minta sekarang lo lebih jujur lagi tentang semuanya."

Kirei menaikkan pandangannya tepat di mata Nathan, ia dapat melihat ketulusan dari sorot mata itu. Sedikit mengatur nafasnya, anak itu menghirup udara sebanyak-banyaknya hingga ia merasa sedikit lebih lega dan berpikir lebih jernih.

"Kiki pasti berdosa banget, ya? Karena tadi habis marahin kak Girald. Atan, kasih tahu Kiki bagaimana caranya mengalah dan menerima semua ini seperti yang Atan lakukan." Anak itu bergerak gelisah. Sedikit memandang ke arah keluarganya, sebelum berpaling ke arah lain ketika Girald juga melihat ke arahnya.

Senyum tipis terbit dari wajah Nathan —usahanya untuk membuat Kirei yakin nampaknya sudah berhasil walaupun ia belum bisa sepenuhnya menghapus air mata Kirei.

"Ikhlas. Kunci jawabannya cuma itu, lo nggak perlu berpura-pura jadi orang lain, pura-pura bahagia, lo cukup jadi diri lo sendiri. Lo nggak akan tersesat, ada gue yang akan selalu jadi pemandu agar lo nggak salah ambil langkah," jelas Nathan. Satu tangannya menggenggam erat tangan Kirei saat ia merasakan Kirei menjadi takut dan gugup.

"Apa aku bisa sekuat Atan?"

Senyum terukir indah di wajah Nathan, ia mencoba menyalurkan kenyamanan lewat senyumnya seraya berkata pelan, "nggak selamanya seseorang terlihat kuat, Ki. Gue juga rapuh. Tetapi, gue mencoba untuk ikhlas menerima semuanya. Ada banyak hal yang terlewati selama ini, gue mencoba kuat biar nggak kelihatan lemah sama dunia. Seberisik apa pun gue menyuarakan rasa sakit, nggak sebanding sama perjuangan lo selama ini. Kiki gue hebat, ya? Gue bangga sama perjuangan lo, mulai sekarang kita berjuang sama-sama, ya?"

Kirei takjub dengan Nathan. Tanpa sengaja, air matanya kembali membahasi pipinya. Bukan air mata kesedihan tetapi air mata bangga karena sampai detik ini masih ada seseorang yang mau menemani dirinya. Kirei pikir selama ini ia hanya sendirian melewati rasa sakit.

Anggukan pelan ia beri setelah beberapa saat memangis dengan Nathan yang masih setia menepuk pelan punggungnya.

"Ayo kita masuk! Semuanya harus selesai supaya Kiki bisa senyum lagi, gue kangen senyuman lo, Ki."

***

Girald tidak lagi bersuara begitu juga dengan orangtuanya. Mereka sibuk dengan pemikiran masing-masing —seperti enggan mengalah satu sama lain.

Setelah cukup lama berperang dalam keegoisan, emosi, amarah serta saling menyalahkan. Ketiganya tampak terkejut akan kedatangan Kirei yang tiba-tiba saja memeluk mereka satu persatu.

Tanpa bisa dibendung lagi, air mata kembali menghiasi keluarga kecil ini. Tidak dapat banyak bicara lagi, Kirei hanya bisa memeluk Girald dengan erat.

"Kak Girald minta maaf, Ki. Kakak ngaku salah, maaf udah bikin Kiki sakit," gumam Girald lirih.

Kirei melepaskan pelukannya, kini ia berada di tengah-tengah ruang tamu. Tatapannya menatap satu persatu orang di dalam ruangan ini disertai senyuman.

Sedikit menarik nafasnya sebelum memulai bicara, kelopak matanya menutup kemudian kembali tersenyum seakan menguatkan dirinya sendiri agar tidak kembali menangis.

"Kiki mau kalian semua damai supaya Kiki bisa tidur dengan tenang di kamar. Kiki nggak mau denger kalian bertengkar lagi, bukannya keluarga itu harus saling komunikasi agar tidak memulai kesalahpahaman? Mulai sekarang, Kiki tidak akan menuntut kalian agar bisa tetap di sisiku. Walaupun ada sedikit rasa ingin memiliki keluarga yang utuh ...." Kirei menoleh ke arah Nathan yang masih terdiam di dekat pintu, ia mencoba mencari kekuatan dari Nathan.

"Papa sama Mama harus berdamai, Kiki memang tidak tahu bagaimana kalian di masa lalu. Tapi, Kiki sungguh berharap jika kalian berdamai. Untuk kak Girald, Kiki mohon jangan marahin Papa atau Mama lagi. Semua ini terjadi karena kehendak Tuhan. Kita tidak bisa melawan takdir."

Ketiganya bangkit dari duduknya kemudian berjalan menghampiri Kirei. Pelukan hangat mereka beri agar Kirei tidak merasa sendirian lagi. Ungkapan kata maaf menjadi melodi dari keluarga kecil ini.

- T B C -

EDELWEISS [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang